Jejak Sejarah Ulama Nusantara Menyebarkan Islam di Afrika Selatan

 
Jejak Sejarah Ulama Nusantara Menyebarkan Islam di Afrika Selatan
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Selain Syaikh Yusuf Al-Makassar, salah seorang ulama Nusantara yang diasingkan di Afrika Selatan adalah Tuan Guru Imam Abdullah ibn Qadhi Abdussalam. Beliau berasal dari Tidore, Maluku Utara.

Imam Abdullah ibn Qadhi Abdussalam (selanjutnya ditulis Tuan Guru) merupakan anak dari seorang Qadhi Kesultanan Tidore, Maluku Utara. Ayahnya bernama Abdussalam, sedangkan ibunya bernama Boki. Beliau lahir pada tahun 1100 Hijriyah atau sekitar tahun 1712 Masehi.

Sejak kecil beliau terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Didikan keluarganya sangat ketat dalam masalah agama. Ketika masih berumur 12 tahun, beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an. Selain itu beliau juga telah banyak memahami berbagai cabang ilmu agama, mulai dari ilmu fikih sampai ilmu tasawuf.

Ketika memasuki usia dewasa, beliau diangkat sebagai seorang Qadhi dan seorang Imam oleh Kesultanan Tidore, menggantikan ayahnya. Meski beliau menduduki jabatan seorang Qadhi di kesultanan, beliau tetap hidup sederhana dan terkenal sebagai seorang sufi dan juga seorang mujahid.

Selain terkenal sebagai seorang ahli agama, beliau juga terkenal sebagai seorang orator ulung yang menentang pemerintahan Belanda. Beliau pernah menjadi panglima perang melawan Belanda dan berhasil membuat para penjajah kewalahan. Sehingga membuat geram Belanda dan menjadikannya musuh utama.

Tapi pada tahun 1763 di Tidore, beliau ditangkap bersama ketiga saudaranya, Abdurrauf, Badaruddin, dan Nurul Imam. Saat itu Belanda bisa saja memberikan hukuman sangat berat kepadanya. Tetapi sepertinya tindakan itu dipertimbangkan bahwa jika dilakukan, tentu perlawan rakyat yang membela Tuan Guru akan semakin menyulitkan Belanda.

Diasingkan Kolonial Belanda di Afrika Selatan

Akhirnya diputuskan untuk mengasingkan beliau ke suatu tempat yang sangat jauh dari para pengikutnya. Pemerintah kolonial Belanda mengirim Tuan Guru ke Cape Town dengan kapal VOC, Zeepard, pada tahun 1780 ketika berusia 68 tahun. Tempat yang sama di mana sebelumnya, pada tahun 1694 Syaikh Yusuf Al-Makassari pernah diasingkan juga.

Belanda membawanya ke Tanjung Harapan atau Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope), di Afrika Selatan dan dipenjara di Pulau Robben (Robben Island) selama dua belas tahun. Di tempat yang sama juga Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan dan tokoh revolusioner antia partheid dipenjara selama dua puluh tujuh tahun.

Selama di penjara itu beliau menghabiskan waktunya dan berhasil menulis Al-Quran dengan tulisan tangan dari hafalannya. Tulisan tersebut terbukti akurat dan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun ketika dibandingkan dengan Al-Quran yang telah dicetak belakangan.

Setelah dua belas tahun dipenjara di Pulau Robben, akhirnya Tuan Guru dibebaskan. Tuan Guru hidup bersama orang-orang Afrika Selatan di Cape Town yang kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang Islam, hanya saja banyak dari mereka adalah budak dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama Islam. Mereka memeluk Islam secara tertutup dan hanya mempraktikkan ajaran agama di rumah, tetapi tidak bisa mempraktikkannya di depan Pemerintah Kolonial.

Hal itu terjadi karena adanya peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang sepihak dan sangat kejam. Pemerintah Kolonial Belanda melarang pelaksanaan ritual keagamaan apapun kecuali kristen. Dan ketika larangan tersebut dilanggar, maka akan ada hukuman yang sangat memberatkan.

Karena itulah tidak terdapat masjid di sana dan tidak dilaksanakan pula shalat Jumat. Hal ini membuat Tuan Guru sangat marah. Dalam hatinya merasa bahwa hal ini salah dan harus diluruskan. Bagaimana bisa salah jumat tidak dilaksanakan, padahal banyak orang Islam di sana.

Sebagai seorang imam yang hebat, Tuan Guru mengerahkan massa untuk melaksanakan salat jumat untuk pertama kalinya di lapangan. Banyak di antara mereka yang ikut, ada pula yang masih merasa takut dan hanya melihat dari kejauhan. Takbir dikumandangkan dan shalat dilaksanakan. Hal ini membuat Belanda tidak nyaman. Polisi dikerahkan untuk menangkapnya dan mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya dilarang menurut hukum.

Tuan Guru dengan entengnya menjawab, “tapi hukum Tuhanku lebih besar daripada hukummu.” Tuan Guru ditangkap dan dipenjara kembali untuk kedua kalinya.

Melebarkan Sayap Dakwah di Bawah Pemerintahan Kolonial Inggris

Setelah Pemerintahan Belanda berakhir, Inggris datang dan memerintah Afrika Selatan. Berbeda dengan Belanda yang melarang pelaksanaan ritual keagamaan secara umum, Inggris memperbolehkan pelaksanaan ritual keagamaan apapun.

Selain itu, Pemerintah Kolonial Inggris juga memandang Tuan Guru sebagai pahlawan. Mereka menawarinya hadiah sebagai keberaniannya melaksanakan shalat jumat, dengan memberinya tanah agar dibangun sebuah rumah di atasnya. Tapi tawaran tersebut ditolak, baginya, hal terpenting untuk saat itu adalah masjid, beliau lebih rela tidak memiliki tempat tinggal daripada tidak memiliki rumah Allah. Prinsip kuat yang tertanam dalam hatinya tentang iman tidak bisa digadaikan dengan apapun. Ajaibnya, pemerintah kolonial membolehkan hal itu.

Pada tahun 1793, masjid pun dibangun dan ibadah dilaksanakan di sana. Masjid ini diberi nama “The Auwal Mosque” atau Masjid Auwal atau bisa diartikan lagi sebagai masjid pertama. Dari sisnilah peribadatan umat Islam dilaksanakan dengan bebas dan tanpa ketakutan sedikitpun.

Selain membangun masjid, Tuan Guru juga mendirikan madrasah sebagai tempat masyarakat untuk menempa ilmu dan mendapatkan pendidikan. Tuan Guru tidak pernah membedakan murid di madrasah ini. Siapa saja dan dari latar belakang apapun, semuanya diperbolehkan belajar di tempat ini, bahkan anak-anak non muslim. Karena sistem yang terbuka untuk siapa saja itulah, yang kemudian banyak orang dari kalangan non muslim yang belajar di madrasah ini. Selain itu, juga dikarenakan bahwa budak dan orang-orang kulit hitam pada waktu itu tidak diperbolehkan belajar di sekolah. Dan dari madrasah ini kemudian banyak di antara mereka yang akhirnya memeluk Islam.

Artefak Al-Qur’an sebagai Jejak Sejarah Peninggalan Tuan Guru

Sebagaimana dilansir dari situs resmi www.auwalmasjid.co.za, bahwa selama dalam pengasingan di penjara, Tuan Guru sempat menulis Al-Qur’an dan menulis karya lain pada tahun 1781 yang berupa kitab berjudul Ma’rifatul Iman wal Islam, berisi panduan hukum Islam dan ilmu kalam, setebal 613 halaman. Kitab tersebut yang kemudian menjadi panduan masyarakat Afrika Selatan di Cape Town untuk belajar Islam.

Belakangan ditemukan artefak Al-Qur’an yang merupakan tulisan tangan Tuan Guru pada pertengahan tahun 1980 oleh seorang kuli bangunan yang sedang merenovasi masjid. Al-Qur’an ini merupakan tulisan tangan asli dari Tuan Guru yang ditulisnya saat masa pengasingan, ditaksir usianya lebih dari 200 tahun yang lalu.

Sebagaimana dilansir dari bbc.com, seorang jurnalis Afrika Selatan sekaligus penulis biografi Tuan Guru, Shafiq Morton, meyakini bahwa cendekiawan itu kemungkinan besar mulai menulis salinan pertama Al-Qur'an saat ditahan di Pulau Robben tempat figur anti-apartheid Nelson Mandela juga dipenjara dari era 1960-an hingga 1980-an.

Menurut Shafiq Morton dalam bukunya yang berjudul From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru, bahwa Tuan Guru dipenjara di Pulau Robben dua kali, pertama dari 1780 hingga 1781 ketika dia berusia 69 tahun, dan kedua kalinya terjadi antara tahun 1786 dan 1791. Tuan Guru juga diyakini terus melakukan penulisan Al-Qur’an setelah terbebas dari tahanan, sehingga secara keseluruhan telah berhasil menulis lima salinan Al-Qur'an.

Al-Qur’an yang ditemukan itu kemudian dirapikan dan dipastikan semua halaman yang berisi lebih dari 6.000 ayat Al-Quran ditempatkan dalam urutan yang tepat. Tugas ini dilakukan oleh Maulana Taha Karaan, yang merupakan kepala ahli hukum Dewan Yudisial Muslim yang berbasis di Cape Town, bersama dengan beberapa cendekiawan Muslim setempat.

Al-Qur’an tulisan tangan Tuan Guru itu masih disimpan dan dijaga dengan baik oleh komunitas Muslim Afrika Selatan sampai saat ini. Hal ini menandakan ikatan hubungan yang kuat antara mereka dengan Tuan Guru secara khusus, bahkan secara umum terjalin baik hubungan negara Afrika Selatan dengan Indonesia.

Cahaya Islam yang dibawa oleh Tuan Guru itu semakin terang benderang hingga kini. Meski ratusan tahun yang lalu, beliau diasingkan oleh Penjajah Belanda yang bermaksud memadamkan dakwah dan pengaruhnya, justru di tempat manapun bumi dipijak, di sana Tuan Guru tetap mempunyai pengaruh dan pengikut setia yang membawa cahaya kebenaran dan kebaikan. []

Sumber: Diolah dan dikembangkan dari sumber primer Buku From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru dan berbagai sumber lain yang mendukung.


Penulis: Hakim

Editor: Atthallah Hareldi