Serial Tokoh Wayang: Dewi Amba

 
Serial Tokoh Wayang: Dewi Amba

Laduni.ID, Jakarta - Dewi Amba adalah putri sulung dari tiga bersaudara, putri Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama Dewi Ambika (Ambalika) dan Dewi Ambiki (Ambaliki).

Menurut legenda, sudah menjadi tradisi bagi kerajaan Kasi untuk memberikan putrinya kepada pangeran keturunan Kuru, namun tradisi tersebut tidak dilaksanakan ketika Wicitrawirya mewarisi tahta Hastinapura, padahal ia merupakan pangeran keturunan Kuru. Kerajaan Kasi memilih untuk menemukan jodoh putrinya lewat sebuah sayembara.

Untuk menikahkan Wicitrawirya dengan para puteri Kasi, Bisma datang ke tempat sayembara. Ia mengalahkan semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat tangguh. Bisma memboyong Dewi Amba tepat pada saat Dewi Amba memilih Salwa sebagai suaminya, namun hal itu tidak diketahui oleh Bisma dan Amba terlalu takut untuk mengatakannya.

Bersama dengan dua orang  adiknya yang lain, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Kedua adik Dewi Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati Dewi Amba terlanjur tertambat kepada Salwa. Setelah Dewi Amba menjelaskan bahwa ia telah memilih Salwa sebagai suaminya, Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik untuk menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya ia mengizinkan Dewi Amba pergi menghadap Salwa.

Ketika Dewi Amba tiba di istana Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma, maka Salwa merasa bahwa yang pantas menikahi Dewi Amba adalah Bisma. Maka Dewi Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup menolak untuk menikah dengan Dewi Amba. Ia berkata jika ia salah, hanya gurunya-lah yakni Begawan Parasurama yang bisa menghukumnya.

Akhirnya hidup Dewi Amba terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma. Dalam hatinya, timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang memisahkannya dari Salwa. Kemudian Dewi Amba nekat pergi menemui Begawan Parasurama, ia juga bersumpah bahwa akan membalas dendam pada Bhisma. Dewi Amba mencari bantuan Begawan Parasurama yang tinggal di pegunungan. Ia rela naik bukit sampai jatuh bangun, kulitnya yang halus sampai menjadi kasar berdarah-darah. Akhirnya ia berhasil menemui Parasurama. Namun ternyata Begawan Parasurama setelah mendengar penuturan Dewi Amba, ia menolak untuk menghukum Bhisma karena menurut Parasurama, Bhisma adalah murid yang bisa dipercaya. Begawan Parasurama kembali masuk pertapaan meninggalkan Dewi Amba.

Di dalam hutan, Dewi Amba bertemu dengan Resi Hotrawahana, kakeknya. Setelah mengetahui masalah yang dihadapi Dewi Amba, sang resi meminta bantuan Rama Bargawa atau Begawan Parasurama, guru Bisma. Begawan Parasurama membujuk Bisma agar mau menikahi Dewi Amba. Karena Bisma terus-menerus menyatakan penolakan, Begawan Parasurama menjadi marah lalu menantang Bisma untuk bertarung. Pertarungan antara Begawan Parasurama melawan Bisma berlangsung dengan sengit dan diakhiri setelah para dewa menengahi persoalan tersebut.

Setelah Begawan Parasurama gagal membujuk Bisma, Dewi Amba pergi berkelana dan bertapa. Ia memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera Dewa Sangkara, muncul di hadapan Dewi Amba sambil memberi kalung bunga. Ia berkata bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebut akan menjadi pembunuh Bisma. Setelah menerima pemberian itu, Dewi Amba pergi berkelana untuk mencari kesatria yang bersedia memakai kalung bunganya.

Meski ada peluang keberhasilan karena kalung tersebut diberikan oleh dewa yang dapat dipercaya, tidak ada orang yang bersedia memakainya setelah mengetahui bahwa orang yang harus dihadapi adalah Bisma. Ketika Dewi Amba menemui Raja Drupada, permintaannya juga ditolak karena sang raja takut melawan Bisma. Akhirnya Dewi Amba melempar karangan bunganya ke tiang balai pertemuan Raja Drupada, setelah itu ia pergi dengan marah. Karangan bunga tersebut dijaga dengan ketat dan tak ada yang berani menyentuhnya.

Dengan kebencian terhadap Bisma, Dewi Amba melakukan tapa dengan keras. Dalam pikirannya hanya ada keinginan untuk melihat Bisma mati. Karena ketekunannya, Dewa Sangkara muncul dan berkata bahwa Amba akan bereinkarnasi sebagai pembunuh Bisma. Sang dewa juga berkata bahwa kebencian Dewi Amba terhadap Bisma tidak akan hilang setelah bereinkarnasi. Setelah mendengar pemberitahuan dari sang Dewa, Dewi Amba membuat sebuah api unggun, lalu membakar dirinya sendiri.

Dalam versi lain, ada informasi berbeda mengenai kematian Dewi Amba. Dewi Amba dan kedua adiknya menjadi puteri boyongan Bisma (Dewabrata), putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi (Dewi Gangga) dari Hastinapura yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Dewi Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Kemudian persoalan mulai timbul karena Dewi Amba ditolak oleh Prabu Citramuka semenjak menjadi puteri boyongan Bisma. Keinginan Dewi Amba ikut ke Hastinapura juga ditolak oleh Dewabarata.

Diceritakan bahwa Bisma mengembara untuk menjauhi Dewi Amba karena menolak menikah, namun Dewi Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma menodongkan panah ke arah Dewi Amba, untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi. Tetapi Dewi Amba tidak takut dan berkata, "Dewabrata, saya mendapat kesenangan atau mati, semua karena tanganmu. Saya malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku ataupun kembali Hastinapura. Dimanakah tempat bagiku untuk berlindung?".

Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Lama ia merentangkan panahnya sehingga tangannya berkeringat. Panah pun terlepas karena tangannya basah dan licin oleh keringat. Panahnya menembus dada Dewi Amba. Dengan segera Bisma membalut lukanya sambil menangis tersedu-sedu. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Dewi Amba berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak Raja Drupada, yang ikut serta dalam pertempuran akbar antara Pandawa dan Kurawa. Setelah Amba berpesan kepada Bisma untuk yang terakhir kalinya, ia pun menghembuskan napas terakhirnya, seperti tidur nampaknya.

Dalam kehidupan selanjutnya, Dewi Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi, yang memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Srikandi adalah anak Raja Drupada dari kerajaan Panchala yang istimewa. Pada saat lahir, ia berkelamin wanita, namun setelah dewasa ia berganti kelamin atas bantuan seorang Yaksa. Srikandi-lah orang yang bersedia memakai kalung Dewa Sangkara sebagai tanda bahwa ia akan membunuh Bisma.

Kisah hidup Dewi Amba antara kitab Adiparwa (buku pertama seri Mahabharata) dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, seperti misalnya nama-nama tokoh maupun kerajaan di India yang diubah agar bernuansa Jawa, namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama.

Referensi

  1. Ensiklopedia Wayang Purwa I, Dirjen Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan
  2. Drs. Sholikin, Dr. Suyanto,S.Kar, M.A, Sumari S.Sn, M.M, Ensiklopedia Wayang Indonesia, Bandung. PT. Sarana Panca Karya Nusa. SENA WANGI
  3. Sumari, Almanak Wayang Indonesia, Jakarta. Prenadamedia Group.
  4. Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.Yogyakarta: Crop Circle Crop.
  6. Guritno,  Pandam.  1988.  Wayang: Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
  7. Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
  8. Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
  9. Marsaid,  A.  2016.  “Islam  dan  Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 tahun 2016. Hlm. 102-130.
  10. Mulyono,   Sri.   1989.   Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
  11. Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan
  12. Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011. Hlm. 18-34.
  13. Sedyawati,    Edy.    1981.    Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
  14. Sunarto.  1989.  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk, ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
  15. .  2006.  “Pengaruh  Islam  dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal Seni Rupa dan Desain. No. 3, November 2006. Hlm. 40-51.
  16. .  2009.  Wayang Kulit Purwa, dalam Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta: Arindo Offset.
  17. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press.