Gerakan Melawan Kolonialisme Belanda dengan Inspirasi Perjuangan Syaikh Nawawi Al-Bantani

 
Gerakan Melawan Kolonialisme Belanda dengan Inspirasi Perjuangan Syaikh Nawawi Al-Bantani
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh ulama besar yang berasal dari Tanara, Banten. Beliau merupakan tokoh yang termasyur di zamannya, sebagai tokoh pemikir dan pendidikan Agama Islam. Hingga saat ini karya-karya pemikirannya masih dikaji dan digunakan sebagai buku di banyak pesantren di Indonesia.

Syaikh Nawawi Al-Bantani bukan hanya merupakan pemikir yang ulung, namun beliau juga tokoh yang menginspirasi kaum pribumi dalam melakukan perjuangan melawan kolonial di Banten.

Pada usia 15 tahun beliau telah menunaikan ibadah Haji bersama kedua saudaranya, sebelum menunaikan ibadah haji, beliau dan saudaranya, Tamim dan Ahmad belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan agama Islam bersama ayahnya K.H Umar. Kemudian Syaikh Nawawi Al-Bantani dan kedua saudaranya tersebut mendapatkan pengajaran dari Haji Sahal, seorang ulama yang cukup masyhur di daerah Banten pada saat itu. Kemudian setelah belajar kepada Haji Sahal, Syaikh Nawawi Al-Bantani dan saudaranya melanjutkan belajar kepada tokoh yang bernama Raden Haji Yusuf yang berada di Purwakarta, Karawang.

Setelah Syaikh Nawawi Al-Bantani mendapatkan pendidikan di tanah kelahirannya, lalu pada usai 15 tahun beliau mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji bersama kedua saudaranya dan bermukim selama tiga tahun di Makkah.

Tiga tahun lamanya beliau belajar di Makkah dengan khazanah ilmu yang telah dimiliki. Beliau memutuskan untuk pulang ke tahan kelahirannya di Banten. Pada saat Syaikh Nawawi pulang ke tanah kelahirannya di Banten pada tahun 1831, beliau melihat kondisi tanah kelahirannya sangat memprihatinkan sebab kolonialisme Belanda. Bahkan para kyai di Banten saat itu dalam tekanan kolonial Belanda.

Kondisi yang demikian itu membuat Syaikh Nawawi Al-Bantani yang memiliki bekal pendidikan, tidaklah diam melihat itu semua. Beliau tetap mengajar dan melakukan dakwah di Banten. Namun karena ruang lingkup Syaikh Nawawi Al-Bantani untuk mengajar di Banten tidak memungkinkan bisa dilaksanakan secara maksimal, karena adanya kaum penjajah, maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah untuk melancarkan strateginya melawan kolonial Belanda dengan melalui murid-muridnya yang belajar di Makkah.

Selain itu kembalinya Syaikh Nawawi ke Makkah adalah untuk melanjutkan pelajaran tingkat mahir di bawah bimbingan sejumlah ulama besar di sana, di antaranya seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Ahmad Nahrawi, dan Syaikh Abd Al-Hamid Ad-Daghistani. Di samping itu, Syaikh Ahmad Dimyati, Sayyid Abdullah Zawawi, dan Sayyid Ahmad Al-Marsafi Al-Masri juga disebut-sebut sebagai ulama yang telah memberikan bimbingan akademik penting kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani. Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Duma Al-Hanbali juga disebut-sebut sebagai dua guru penting Syaikh Nawawi. Namun, setelah itu beliau tidak kembali lagi ke tanah air sampai akhir hayatnya. Meski demikian, perjuangannya dalam melawan kolonialisme Belanda tidak pernah surut. Melalui murid-muridnya dari Indonesia, inspirasi perjuangannya diteruskan dan tak pernah berhenti. (Tihami dan Mufti Ali, Prospografi Syeikh Nawawi (1813-1897), Biografi, Genealogi, Intelektual, dan Karya, hlm. 12).

Di samping membina pengajaran melalui murid-muridnya Syaikh Nawawi juga memantau perkembangan politik di tanah air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan Nusantara, khususnya tanah kelahirannya Banten.

Di Makkah, beliau aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawi. Aktivitas perkumpulan ini mendapat perhatian dan pengawasan dari kolonial Belanda. Sebagaimana dikabarkan oleh Snouck, Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh yang paling sentral, yang menjadi inspirasi bagi para jamaah haji. Karena itu beliau dianggap tokoh yang paling berbahaya bagi Belanda. Sebab dari Makkah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori oleh Syaikh Nawawi.

Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan pemikir yang sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis di zamannya. Beliau bukan hanya pemikir mengenai Islam, namun merupakan tokoh yang berjuang dalam melawan kolonial Belanda di Banten melalui pemikirannya yang kemudian menjadi inpirasi para muridnya.

Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang tersebut, menjadikan beliau dapat memberikan pengaruh kondisi sosial-budaya di Banten. Pemikiran beliau yang paling menonjol dalam pembentukan sosial-budaya di Banten tergambar dalam beberapa karyanya.

Di antara karya tersebut yang sangat populer dan berpengaruh dalam pembentukan sosial-budaya, pertama adalah Kitab Qatr Al-Ghaits. Di dalam kitab ini, sasaran dakwah menurut Syaikh Nawawi terbagi kepada tiga golongan, pertama, orang beriman, kedua, orang kafir, dan ketiga, orang munafik. Bila ditelaah berdasarkan tingkatannya, maka tingkatan bawah diduduki oleh orang-orang kafir, kemudian orang-orang munafik, dan tingkatan mad’u yang paling mulia didasarkan kepada orang-orang beriman.

Orang-orang beriman diperintahkan untuk selalu taat kepada Allah SWT, tentulah akan mendatangkan ganjaran padanya dan mengantarkan mereka ke dalam surga yang disediakan oleh Allah SWT. Sebaliknya untuk orang-orang kafir, munafik, lisan dan hati mereka bertolak belakang dan dipastikan akan kekal di neraka.

Inti pembahasan di dalam Kitab Qatr Al-Ghaits tersebut adalah bahwa dalam usaha Syaikh Nawawi Al-Bantani membentuk aspek sosial-budaya pada masyarakat di Banten, beliau menekankan pada pendekatan berdakwah. Hal ini disebabkan, karena dengan aktivitas berdakwah ini dapat mengajak manusia untuk berada di jalan Allah SWT. Sehingga rakyat Banten dapat bangkit melawan kolonial Belanda, yang merupakan orang kafir yang selalu membuat kesengsaraan terhadap rakyat Banten.

Kedua, pemikiran fikihnya yang dituangkan dalam Kitab Maqasid As-Syari’ah. Di dalam kitab ini Syaikh Nawawi Al-Bantani menekankan pada pembahasan mengenai printah Allah dan larangan-larangan-Nya, baik dalam masalah ibadah maupun mu’amalah. Memelihara agama dengan melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan-Nya disebut taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil’ Amri (ulama dan umara).

Terkait dengan taat kepada pemerintah itu dilaksanakan dalam hal yang tidak bertentangan dengan syariat, tapi jika hal itu bertentangan denga prinsip syariat, maka tak ada kompromi untuk patuh. Seperti halnya Syaikh Nawawi Al-Bantani tidak mau berkerjasama dengan kaum kafir kolonial Belanda, meski ayahnya dan saudaranya yang bernama Ahmad pernah diangkat menjadi penghulu oleh Belanda.

Dalam hal ini Syaikh Nawawi berpegang teguh pada pendirianya untuk tidak mau bekerja sama dengan kaum kafir. Dan karena hal itu, maka beliau kembali ke Tanah Suci Makkah, bahkan Syaikh Nawawi Al-Bantani hanya berminat dalam hal pengajaran untuk murid-muridnya ketimbang harus menjadi pekerja kolonial Belanda.

Ketiga, Kitab Salalim Al-Fudhola. Kitab ini sama halnya dengan Kitab Maqasid As-Syari’ah, yakni mengenai pemahaman tentang perintah dan larangan Allah SWT. Dan di dalamnya juga dijelaskan dasar landasan sikap Syaikh Nawawi yang nyata tidak mau kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Keempat, Tawsikh ibn Qasim Al-Ghozi Qut Al-Habib Al-Gharib. Kitab ini merupakan syarah Kitab Taqrib, yani kitab fikih dasar. Tetapi di dalamnya terdapat pembahasan menarik mengenai Konsep Istislam dan Jihad. Bila dihubungkan dengan peristiwa Geger Cilegon 1888, dalam konsepnya yang tertera di dalam kitab tersebut, maka ditemukan penjelasannya dalam dua kemungkinan untuk melancarkan aksi jihad fi sabilillah. Pertama, secara logistik persenjataan sangat memungkinkan. Kedua, berdamai dengan musuh yang secara penuh telah menguasai daerah perang. Dan dalam hal ini, menurut Syaikh Nawawi Al-Bantani yang paling mungkin ketika suatu wilayah dikuasai sepenuhnya oleh musuh dan penduduk sudah tidak mampu melakukan perlawanan, maka tawaran beliau adalah dengan cara berdamai (Al-Istislam). Tetapi jika kondisinya mendukung dalam hal logistik persenjataan, maka dipilihlah pilihan pertama, yakni melancarkan aksi jihad fi sabilillah.

Adapun dalam aspek pembentukan identitas keagamaan di Banten, pemikiran beliau tergambar juga dalam beberapa kitabnya, yakni pertama, Marah Labib li Kasfi Ma’na Al-Quran Al- Majid. Kitab ini merupakan tafsir Al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat penjelasan bahwa Syaikh Nawawi Al-Bantani tidak menutup diri terhadap gerakan-gerakan pembaharuan yang muncul abad ke-19, khususnya di Mesir dan daerah lainnya di Timur Tengah. Karena pembaharuan pemikiran, khususnya melalui penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan konteks perkembangan zaman dan merupakan cara paling efektif untuk membebaskan umat Islam dunia dari segala bentuk kolonialisme kaum penjajah.

Motivasi intelektual Syaikh Nawawi Al-Bantani tidak luput dari kondisi sosial keagamaan yang demikian marak di Jazirah Arab pada saat itu. Gairah pemikiran pembaharuan Islam dan masifnya jamaah haji yang terus berdatangan, memberi dorongan kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani untuk dapat melakukan kegiatan dakwah intelektual secara kreatif dan inspiratif.

Kedua, Kitab Maraqi Al-Ubudiyyah. Meluasnya penggunaan ajimat di kalangan rakyat Banten, bagaimanapun dipahami tidak lepas dari kenyataan kerasnya tekanan Belanda terhadap rakyat, dan terutama runtuhnya tokoh-tokoh agama yang menjadi pemimpin mereka. Kondisi ini membuat para pemimpin yang tersingkir menempuh prosedur perlawanan melalui penggunaan ajimat-ajimat dan mendorong para pengikutnya melawan Belanda. Lalu kitab tersebut ditulis oleh Syaikh Nawawi sebagai media untuk menjelaskan dan meluruskan banyaknya penyimpangan ajaran tasawwuf kepada pemahaman yang benar.

Walaupun Syaikh Nawawi menghabiskan semasa hidupnya untuk menetap di Makkah, namun semangat membela tanah air sangat terasa dan senantiasa memberikan inspirasi kepada murid-muridnya. Beliau menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme dalam melawan penjajahan kolonial Belanda di Banten, maupun di Nusantara secara umum.

Banyak murid Syaikh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, yang bedatangan pada saat menunaikan ibadah haji. Murid-muridnya tersebut kemudian melanjutkan pengembangan hukum Islam di Banten. Di antara muridnya yang sangat masyhur dan menjadi tokoh penggerak dalam peristiwa Geger Cilegon 1888, tidak lain adalah Haji Wasid, KH. Arsyad bin Alwan, KH. Marzuki, KH. Mas Muhammad Arsyad Thowil dan KH. Asnawi. Inspirasi perjuangan dalam melawan kolonial Belanda itu muncul dari pemikiran-pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Meskipun Syaikh Nawawi Al-Bantani tidak bersentuhan langsung dengan dinamika dan pergumulan perjuangan di tanah air dalam melawan kolonial Belanda secara langsung, namun tidak diragukan sama sekali bahwa beliau memberikan sumbangan semangat dan memberikan penjelasan argumentatif untuk melawan kolonialisme itu.

Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah panutan dan tokoh intelektual bagi para ulama di Banten dalam mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, bahkan juga inspirasi bagi segenap muridnya dari Nusantara. Meski ada sebagian ulama yang berseberangan dengan beliau mengenai konsep perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, tapi hal ini tidak membuatnya surut sama sekali. Ini adalah ijtihad beliau yang juga diikuti oleh para muridnnya. Sebab bagaimanapun, pada dasarnya ijtihad adalah perihal yang dianjurkan oleh agama, jika salah sekalipun tetap mendapatkan pahala satu, dan tentu jika benar maka mendapatkan kelipatannya, yakni dua pahala.

Karena jaringan intelektual yang sangat luas serta karya-karyanya yang banyak dijadikan sumber referensi dalam dunia pendidikan, khususnya pesantren, maka Syaikh Nawawi Al-Bantani patut menjadi teladan bangsa, khususnya kaum santri. []


Penulis: Hakim

Editor: Kholaf