Muslim Memandikan Jenazah Kafir Bukan Penodaan Agama, Ini Dalilnya

 
Muslim Memandikan Jenazah Kafir Bukan Penodaan Agama, Ini Dalilnya

LADUNI.ID, Situbondo - Sangat mengejutkan "tuduhan penodaan agama" kepada perawat-perawat Non-Muslim (mohon maaf saya menyebut non-muslim) yang telah memandikan mayyit Muslim, yang tentu dilaksanakan dengan ikhlas dan rasa kemanusiaan.

Sesungguhnya tidak butuh dalil untuk mengatakan bahwa tuduhan itu sangatlah tidak tepat dan justru mencoreng wajah Islam sendiri. Namun, karena kita "gila" dengan dalil, maka baiklah akan saya sertakan dalil-dalil dari ulama-ulama ternama yang menegaskan bahwa tuduhan "penodaan agama" kepada non-Muslim  karena memandikan jenazah Muslim tidaklah berdasar, melainkan didasarkan atas kebencian, entah benci kepada siapa.

“Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,” (Q.S. Al-Ma'idah ayat 8).

Muslim Boleh Memandikan Janazah Non-Muslim

Dalam beberapa kitab-kitab Fiqih, seperti kitab al-Majmu' Syarah Muhaddab (23 Jilid), dikatakan bahwa Umat Islam boleh Memandikan janazah kafir, apalagi jika ia berstatus kafir dhimmiy, bahkan juga mengkafani dan memandikannya. Dalam kitab al-Majmu' dikatakan:

 وَيَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ وَغَيْرِهِمْ غُسْلُهُ وَأَقَارِبُهُ الْكُفَّارُ أَحَقُّ بِهِ مِنْ أَقَارِبِهِ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَّا تَكْفِينُهُ وَدَفْنُهُ فَإِنْ كَانَ ذِمِّيًّا فَفِي وُجُوبِهِمَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَمُتَابِعُوهُ وَالْبَغَوِيُّ وَآخَرُونَ (أَصَحُّهُمَا) الْوُجُوبُ وَفَاءً بِذِمَّتِهِ كَمَا يَجِبُ إطْعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ فِي حَيَاتِهِ

Artinya: “Boleh bagi umat muslim dan lainnya memandikan jazanah kafir. sekalipun yang lebih utama memandikannya adalah kerabatnya yang kafir ketimbang kerabatnya yang muslim. Adapun mengkafaninya dan menguburkannya, maka ulama berbeda pendapat apakah ia wajib bagi muslim jika janazahnya kafir dhimmi?

Ada dua pendapat. Pendapat yang paling shahih mengatakan, muslim wajib mengkafaninya dan menguburkannya, sebagaimana wajib memberi makan pada mereka kalau lapar, dan memberi pakean ketika telanjang.

Kesimpulan dari teks ini, umat islam boleh memandikan, mengkafani dan menguburkan janazah kafir.

Non-Muslim Memandikan Janazah Muslim

Logikanya, jika Muslim boleh memandikan janazah kafir dan pasti bukan penodaan agama, maka sebaliknya juga boleh dan juga pasti bukan penodaan agama. Kita yang berpikir adil pasti tidak akan membayangkan bahwa non-muslim yang memandikan janazah muslim adalah berniat menodai atau merendahkan ajaran Islam. Dalam kitab yang sama dikatakan,

قَالُوا نَصَّ الشَّافِعِيُّ ان غسل الكافر للمسلم صَحِيحٌ وَلَا يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ إعَادَتُهُ وَنَصَّ فِي الْغَرِيقِ أَنَّهُ يَجِبُ إعَادَةُ غُسْلِهِ وَلَا يَكْفِي انْغِسَالُهُ بِالْغَرَقِ وَمِمَّنْ نَقَلَ النَّصَّ مِنْ الْعِرَاقِيِّينَ فِي الْغَرَقِ صَاحِبُ الشَّامِلِ فَجَعَلَ الْخُرَاسَانِيُّونَ الْمَسْأَلَةَ عَلَى طَرِيقَيْنِ

Artinya: ulama dawuh, Imam Syafi'i menegaskan bahwa, memandikannya kafir kepada janazah Muslim adalah "shahih" (sebab memandikan janazah tidak harus berniat), dan tidak wajib kepada umat Islam mengulangi lagi memandikannya.

Teks ini jelas sekali menyatakan bahwa orang kafir boleh memandikan janasah Muslim, bukan hanya boleh tapi sudah dianggap sah, sehingga umat Islam  tidak perlu mengulanginya lagi. Jadi kalau menurut kitab-kitab Fiqih hal itu boleh dilakukan, maka di mana penodaan agamanya. Kata cak lontong "pikir".

Bagaimana dengan tidak adanya hubungan "kemahraman" antara yang memandikan dengan janazah yang dimandikan?

Jika ada laki-laki meninggal dan hanya ada perempuan lain yang memandikan, atau ada perempuan meninggal dan disana hanya ada laki-laki bukan mahram, bolehkan ia memandikannya? Ada tiga pendapat. Pendapat kedua menyatakan boleh memandikan dengan syarat menggunakan sarung tangan, dan sebisa mungkin tidak melihat bagian auratnya, kecuali dalam keadaan terpaksa, maka boleh seperti dokter boleh melihat aurat untuk kebutuhan pengobatan. Dalam kitab Majmu' dikatakan:

المجموع شرح المهذب (5/ 141)
إذَا مَاتَ رَجُلٌ وَلَيْسَ هُنَاكَ إلَّا امْرَأَةٌ أَجْنَبِيَّةٌ أَوْ امْرَأَةٌ وَلَيْسَ هُنَاكَ إلَّا رَجُلٌ أَجْنَبِيٌّ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ (أَصَحُّهَا) عِنْدَ الْجُمْهُورِ يُيَمَّمُ وَلَا يُغَسَّلُ وبهذا قطع المصلح فِي التَّنْبِيهِ وَالْمَحَامِلِيُّ فِي الْمُقْنِعِ وَالْبَغَوِيُّ فِي شرح السنة وغيرهم وصححه الرواياتي والرفعي وَآخَرُونَ وَنَقَلَهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْمَحَامِلِيُّ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَصَاحِبُ الْعُدَّةِ وَآخَرُونَ عَنْ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا أَصْحَابِ الْوُجُوهِ وَنَقَلَهُ الدَّارِمِيُّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ لِأَنَّهُ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ شَرْعًا بِسَبَبِ اللمس والنظر فييمم كما لو تعذرحسا (وَالثَّانِي) يَجِبُ غُسْلُهُ مِنْ فَوْقِ ثَوْبٍ وَيَلُفُّ الْغَاسِلُ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً وَيَغُضُّ طَرْفَهُ مَا امكنه فان اضطر الي النظر نظر قَدْرَ الضَّرُورَةِ صَرَّحَ بِهِ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا
كَمَا يَجُوزُ النَّظَرُ إلَى عَوْرَتِهَا لِلْمُدَاوَاةِ وَبِهَذَا قَالَ الْقَفَّالُ وَنَقَلَهُ السَّرَخْسِيُّ عَنْ أَبِي طَاهِرٍ الزِّيَادِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا وَنَقَلَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ وَصَحَّحَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي وَالدَّارِمِيُّ وَإِمَامُ الحرمين وَالْغَزَالِيُّ لِأَنَّ الْغُسْلَ وَاجِبٌ وَهُوَ مُمْكِنٌ بِمَا ذَكَرْنَاهُ فَلَا يُتْرَكُ

Hal kedua yang penting diingatkan adalah bahwa "fasal penodaan agama" dalam Islam masuk dalam kategori "hudud". Dalam Hudud ada prinsip yang sangat terkenal, bahwa kita tidak boleh melaksanakan "hukuman hudud" jika masih ada keraguan sedikit saja bahwa itu penodaan atau bukan. Kasus yang terjadi di salah satu kabupaten di Indonesia, bukan hanya ada keraguan, melainkan sebaliknya, jusrtru dugaan kuat (bahkan saya bisa memastikan) itu bukan penodaan agama. Karena agama membolehkan.

Ketika agama membolehkan, dan kemudian dilakukan, apalagi atas dasar kemanusiaan, maka pastilah ia bukan penodaan agama. Kita wajib bertanya, pada Sahabat kita yang telah memandikan itu, apakah ia bermaksud merendahkan agama? Jika kita tidak bertanya, lalu menuduh, padahal ia melakukannya secara ihlas dan atas dasar kemanusiaan, maka kita telah melakukan kedhaliman besar karena kebencian kita terhadap sesama.

Semoga ini didengar oleh kejaksaan, kepolisian, dan juga hakim yang akan menghukumi peristiwa ini. Semoga Allah senantiasa menuntun kita untuk  cepat dewasa dalam beragama. amin. Wallahu A'lam. (Situbondo, 23/2/2021).(*)

***

Penulis: Dr. KH. Imam Naho'i, M.HI, Komisioner Komnas Perempuan RI, Dosen Ma'had Aly Situbondo.
Editor: Muhammad Mihrob