Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX 

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
3.    Perjalanan Hidup Beliau
4.    Peran Beliau Dalam Perjuangan Indonesia
5.    Menjadikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa
6.    Karier-karier Beliau
7.    Peninggalan-peninggalan Beliau
8.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sri Sultan Hamengku Buwono IX lahir di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 12 April 1912. Nama aslinya adalah Bendoro Raden Mas Dorojatun. Beliau adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, adapun ibunda beliau bernama Raden Ajeng Kustilah.

Adapun gelar yang disandang beliu ketika menjabat sebagai Sultan adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

1.2 Riwayat Keluarga

Dari pernikahannya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikaruniai lima belas orang putra dan tujuh orng putri, yaitu :

  1. BRM Arjuna Darpita atau KGPH Mangkubumi atau KGPAA Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono X
  2. BRM Murtyanta atau GBPH Adi Kusuma atau KGPH Adi Kusuma
  3. BRM Ibnu Prastawa atau KGPH Hadiwinoto
  4. BRM Kaswara atau GBPH Adi Surya
  5. BRM Arumanta atau GBPH Prabu Kusuma
  6. BRM Sumyandana atau GBPH Joyokusumo
  7. BRM Kuslardiyanta
  8. BRM Anindita atau GBPH Paku Ningrat
  9. BRM Sulaksamana atau GBPH Yudha Ningrat
  10. BRM Abirama atau GBPH Chandra Ningrat
  11. BRM Prasasta atau GBPH Chakradiningrat
  12. BRM Arianta
  13. BRM Sarsana
  14. BRM Harkomoyo
  15. BRM Swatindra
  16. BRA Gusti Sri Murhanjati atau GKR Anum
  17. BRA Sri Murdiyatun atau GBRAy Murda Kusuma
  18. BRA Dr. Sri Kuswarjanti atau GBRAy Dr. Riya Kusuma
  19. BRA Dr. Sri Muryati atau GBRAy Dr. Dharma Kusuma
  20. BRA Kuslardiyanta dari KRA Ciptomurti; 6)
  21. BRA Sri Kusandanari
  22. BRA Sri Kusuladewi menikah dengan KRT Padma Kusuma Sastronegoro, Keluarga Besar Padepokan Gunung Kidul.

1.3 Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggal pada tanggal 2 Oktober 1988 pada usia yang ke-76 tahun. Beliau  menghembuskan napas terakhirnya ketika berada di Washington, DC, Amerika Serikat.

Untuk mengingat jasa dan perjuangan beliau, maka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 8 Juni 2003.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

Sultan Hamengku Buwono IX adalah sosok sultan yang betul-betul dipersiapkan untuk menjadi sultan besar oleh ayahnya. Dalam upaya mempersiapkan dirinya sebagai sosok sultan hebat, maka ayahnya pun menyekolahkannya hingga ke negeri Belanda. Bahkan, pendidikannya itu dimulai sejak ia masih berusia 4 tahun. Ketika itu, ia bersekolah di HIS Yogyakarta. HIS merupakan singkatan dari “HollandschInlandsche School”, yang berarti “Sekolah Belanda untuk Bumiputera”.

Sekolah ini berdiri sejak tahun 1914 seiring » diberlakukannya politik etis. HIS setingkat dengan Sekolah Dasar atau SD (untuk pendidikan sekarang). HIS khusus diperuntukkan bagi kaum bumiputera, yakni keturunan Indonesia asli. Adapun orang-orang yang bersekolah di HIS adalah mereka yang berasal dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Jenjang pendidikan ini ditempuh selama tujuh tahun lamanya.

Setelah lulus dari HIS, Sultan Hamengku Buwono IX kemudian melanjutkan studinya ke MULO di Semarang. MULO adalah singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat dengan SLTP sekarang. Untuk jenjang setingkat SMA sekarang ditempuh di AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. Kemudian, Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan ke perguruan tinggi di Rijkuniversiteit (sekarang Universitas Leiden) di Belanda.

Selama masa menempuh pendidikan itu, dari sejak umur 4 tahun hingga kuliah di Belanda, Sultan Hamengku Buwono IX harus hidup terpisah dan jauh dari keluarganya di Keraton Yogyakarta. Namun, hal itu tidak membuat Sultan Hamengku Buwono IX bersedih. Sebab, beliau sadar bahwa keberadaannya jauh dari keluarga adalah salah satu upaya dari sang ayah untuk mempersiapkan dirinya menjadi pewaris tahta kerajaan yang cakap dan bijak kelak.

Karena itu, ketika sudah sampai waktunya, Sultan Hamengku Buwono IX dipanggil pulang oleh ayahnya untuk diserahi tugas yang lebih besar dari sekadar belajar, yakni menjadi Sultan Yogyakarta. Hal ini terjadi pada tahun 1940, ketika ayah beliau meninggal dunia.  

3. Perjalanan Hidup Beliau

Sultan Hamengku Buwono IX merupakan Sultan yang paling dekat dengan masyarakat Indonesia modern. Betapa tidak, masa pemerintahan beliau merupakan masa transisi Indonesia dari era kolonial ke era kemerdekaan. Adapun Kesultanan Yogyakarta pada masa itu kemudian menggabungkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan hak istimewa khusus, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hak istimewa itu diberikan khusus untuk Yogyakarta mengingat Yogyakarta adalah sebuah kerajaan besar di masa sebelum kemerdekaan, dan juga peranan besar Sultan Hamengku Buwono IX dalam kemerdekaan Indonesia. Itulah mengapa, sosok Sultan Hamengku Buwono IX sangat dekat di hati masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Tengah dan sekitarnya.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah yang paling berjasa bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, beliau memimpin detik-detik terakhir Kesultanan Yogyakarta sebelum akhirnya secara resmi bergabung dengan NKRI. Beliau juga merupakan satu-satunya Sultan di tanah Jawa yang memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan NKRI.

Meskipun Sri Sultan Hamengku Buwono IX banyak menghabiskan waktu di Belanda dan sekolah-sekolah Belanda, namun jiwanya tetap Indonesia (Jawa). Hal itu dibuktikan beliau dengan terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan membebaskan rakyat dari penjajah. Dengan sikap anti Belanda yang dimilikinya itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah sultan yang menentang keras penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia.

Bahkan, ketika Indonesia merdeka, demi kesejahteraan rakyatnya di yogyakarta, beliau juga mendorong pemerintah Indonesia agar memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa’, sehingga Yogyakarta yang tadinya Kesultanan berubah menjadi Daerah Istimewa di bawah kedaulatan NKRI.

Terkait dengan demokratisasi keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan sebuah terobosan baru yang belum pernah dilakukan oleh Sultan-sultan Yogyakarta sebelumnya, yakni mengubah sistem pemerintahan monarki absolut  menjadi sistem demokrasi. Inilah salah satu gagasan atau pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara langsung telah membawa kemajuan bagi Yogyakarta.

Dengan gagasan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadikan Yogyakarta sebagai Kerajaan Demokratis, yang ditandai dengan diterbitkannya surat kawat (telegraf) tertanggal 18 Agustus 1945 yang isinya adalah mendukung dan menyambut gembira Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagai seorang Sultan Yogyakarta yang bertanggung jawab atas wilayahnya, Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah membawa perubahan besar bagi kemajuan daerah Yogyakarta. Perubahan besar itu tidak hanya di bidang politik, ekonomi, pendidikan, tetapi hampir di semua lini.

4. Peran Beliau Dalam Perjuangan Indonesia

Sejak awal memerintah, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah menunjukkan sikap anti terhadap Belanda. Berbagai kebijakan politik yang diambilnya pun semakin mengukuhkan sikap anti-Belandanya itu. Salah satu contohnya adalah penandatanganan kontrak politik yang gagal. Menurut ceritanya, waktu itu, residen atau gubernur Yogyakarta yang diutus Belanda untuk mendesak Sri Sultan Hamengku Buwono IX menandatangani perjanjian baru adalah Dr. Lucien Adams.Namun, sampai 4 tahun lamanya, perjanjian atau kontrak politik itu tidak menemukan titik terang, hingga akhirnya tidak terjadi penandatanganan kontrak politik lagi dengan Belanda.

Sebelum menggabungkan diri ke dalam NKRI, Kesultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengalami banyak sekali perubahan. Tampaknya, sifat-sifat sang kakek, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, yang anti-Belanda menurun kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang ditunjukkan dengan sikapnya yang sangat anti terhadap Belanda. Beliau sangat berani dan dengan tegas menentang kaum penjajah. Beliau bersemangat memperjuangkan nasib rakyat Yogyakarta agar segera meraih otonomi sendiri.

Masa transisi ini terjadi dua kali, yakni transisi Indonesia dari era kolonial ke era kemerdekaan dan transisi Kesultanan Yogyakarta ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mengalami dua transisi ini, maka posisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mengalami transisi, yakni dari Sultan ke Gubernur. Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menempati beberapa jabatan penting dan strategis, baik di pemerintahan daerah (Yogyakarta) maupun di pemerintahan pusat (Indonesia).

Bahkan, ketika terjadi Agresi Militer Belanda I dan ibukota Jakarta berhasil dikuasai oleh Belanda, Sultan HB IX lah yang mengundang Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta. Sehingga, presiden pun memimpin Indonesia dari Yogyakarta meskipun hal ini tidak berlangsung lama.

Dalam masa perjuangan kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX memiliki kontribusi yang sangat besar bagi eksistensi NKRI. Salah satu bukti peranan Sultan Hamengku Buwono IX adalah ketika terjadinya Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Dalam Agresi Militer II ini, Belanda berhasil menyerang Yogyakarta yang waktu itu menjadi ibukota sementara Indonesia setelah Jakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer I. Dalam peristiwa ini, tepat pada tanggal 22 Desember, Presiden Soekarno, wakil Presiden Moh. Hatta, dan para pembesar lainnya berhasil ditangkap dan diasingkan ke Brastagi dan Bangka.

Satu-satunya pembesar yang waktu itu tidak ditangkap adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Sebab, waktu itu Yogyakarta masih berbentuk kerajaan, tempat ia memiliki kuasa penuh atas Yogyakarta. Sehingga, bila Sultan ditangkap, Belanda takut akan mengganggu keberadaannya di Yogyakarta. Kemudian, untuk mengamankan posisinya, Belanda mengajak Sultan Hamengku Buwono IX untuk bergabung bersamanya. Namun, hal itu ditolak mentah-mentah oleh sultan. Karena waktu itu Yogyakarta sudah dikepung Belanda, maka ibukota dipindahkan ke Sumatra dengan pemimpin Mr. Syarifuddin atas instruksi Presiden Soekarno.

Dalam situasi yang sudah di luar kontrol itu, Sultan Hamengku Buwono IX ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis. Karena itu, Beliau pun melakukan serangkaian diplomasi dengan Belanda melalui forum PBB. Maka terjadilah peristiwa yang dikenal sebagai “Serangan Umum 1 Maret 1949”. Dalam peristiwa ini, Sultan Hamengku Buwono IX meminta bantuan dari komandan gerilya, Letnan Kolonel Suharto. Serangan ini pun berhasil merebut kembali Yogyakarta. Jadi, sekali lagi, Sultan Hamengku Buwono IX memiliki andil besar bagi eksistensi NKRI.

“Dengan kondisi Yogyakarta yang sudah berhasil dikuasai pasukan gerilya itu, maka Belanda pun kemudian menerima resolusi dari dewan keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949. Perjanjian itu kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem Royen. Nama ini diambil dari dua utusan yang berunding, yakni Mr. Moh. Roem dan Dr. Van-Royen. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Adapun isi dari perjanjian ini :

  1. Penghentian tembak-menembak
  2. Penarikan mundur Belanda dari Yogyakarta
  3. Pemimpin-pemimpin republik dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta
  4. Syarat dan waktu diadakan KMB (konferensi Meja Bundar).

Dukungan politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini telah membawa perubahan besar bagi Indonesia, yakni kemerdekaan Indonesia dari penjajah. Selain itu, setelah NKRI berdiri, dukungan politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu direspons positif oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono [X (bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII) sebagai kepala daerah (dan wakil kepala daerah) yang berkuasa penuh atas kedua wilayah setingkat provinsi yang diberi nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

5. Menjadikan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa

Sultan Hamengku Buwono IX juga berjasa besar dalam mengantarkan Yogyakarta menjadi sebuah daerah istimewa. Dalam hal ini, Sultan Hamengku Buwono IX mendukung kemerdekaan Indonesia dan bersedia menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI. Hal ini sebagaimana amanat Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian disetujui oleh pemerintah Indonesia. Berikut inilah isi dari amanat itu.

Pertama, bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah istimewa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.

Ketiga, bahwa hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kemudian, dalam rangka menanggapi amanat tersebut, Presiden Soekarno membuat sebuah piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono [X yang dibawa langsung oleh Menteri Mr. Sartono dan Mr. Maramis.

Adapun isi piagam tersebut adalah sebagai berikut:

Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo, Abdulrachman Sayidin Panotogomo’ Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.

Tertanggal Jakarta, 19 Agustus 1945

Tertanda tangan

Soekarno.

Demikianlah bunyi piagam Presiden Soekarno untuk Sultan Hamengku Buwono IX. Sejak saat itulah, Kesultanan Yogyakarta berada dibawah kedaulatan NKRI dengan nama baru, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun posisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah sebagai Gubernur pertama Daerah Istimewa Yogyakarta.

6. Karier-karier Beliau

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah satu-satunya Sultan yang pernah menduduki jabatan-jabatan penting di NKRI. Adapun jabatan-jabatan penting yang pernah dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak Indonesia merdeka, adalah sebagai berikut:

  1. Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945);
  2. Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947);
  3. Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947-11 November 1947 dan 11 November 1947-28 Januari 1948);
  4. Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949);
  5. Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949);
  6. Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949-6 September 1950);
  7. Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951);
  8. Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951);
  9. Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956);
  10. Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke-11 Panitia Konsultatif Colombo Plan) (1957)
  11. Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  12. Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959);
  13. Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963);
  14. Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966),
  15. Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (11 Maret 1966);
  16. Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968);
  17. Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/ KONI (1968);
  18. Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pacific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968);
  19. Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973-23 Maret 1978);

Itulah beberapa jabatan penting yang pernah dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak awal kemerdekaan hingga puncaknya menjadi Wakil Presiden Indonesia dari 1973 sampai 1978. Dari jabatan-jabatan itu, dapat kita lihat peran besar Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Khusus untuk wilayah kekuasaan beliau sendiri Kesultanan Yogyakarta, beliau menjadi Gubernur Yogyakarta yang pertama. Prestasi lainnya yang didapatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah gelar Pahlawan Indonesia dan Bapak Pramuka Indonesia serta pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

7. Peninggalan-peninggalan Beliau

Adapun peninggalan-peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersimpan rapi di dalam Museum Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Berbagai peninggalan yang masih tersimpan rapi itu berupa; meja tulis, cendera mata, foto, beberapa penghargaan berupa medali, tanda jasa, dan surat keputusan RI (penganugerahan Pahlawan Nasional untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Selain itu, ada juga koleksi mobil-mobilan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ketika beliau masih kecil dan juga peralatan memasak, bumbu dapur, baju, dan masih terdapat benda-benda yang lain milik Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian menjadikan demokrasi budaya sebagai pendidikan multikultural. Perpaduan antara dua budaya berbeda itu kemudian menghasilkan sebuah produk budaya yang sangat fantastis. Adapun salah satu contohnya yang berhasil diperlihatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah perpaduan antara Tari Golek Menak dengan Epos Wong Agung Jayengrana. Keduanya berasal dari dua budaya berbeda.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh penting yang berperan sebagai pelopor berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada. Balai tersebut merupakan cikal bakal lahirnya Universitas Gadjah Mada yang sampai kini menjadi salah satu kampus terbesar dan terfavorit di Indonesia. Jadi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah founding father UGM yang berdiri pada 17 Februari 1946 (masih bernama Balai Perguruan Tinggi UGM) dan resmi pada 19 Desember 1949 (berubah nama menjadi UGM).

8. Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
  6. https://www.kratonjogja.id/
  7. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  8. Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat