Membedah Substansi ‘Illat Hukum: Sebuah Kajian Ushul Fiqih Cita Rasa Ushuluddin

 
Membedah Substansi ‘Illat Hukum: Sebuah Kajian Ushul Fiqih Cita Rasa Ushuluddin
Sumber Gambar: wikiart.org, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Satu di antara tiga “ingredients” ilmu ushul fiqih adalah ilmu ushuluddin. Sebagai ingredients, ushuluddin ikut serta menentukan cita rasa ilmu ushul fiqih. Itulah sebabnya, banyak tema-tema penting ilmu kalam ikut juga dibahas secara serius di dalam kitab-kitab ushul fiqih. Darinya, ilmu ushul fiqih kemudian dibangun.

Salah satunya adalah soal ‘illat hukum. Para ulama mengemukakan banyak perbedaan pendapatnya soal ini. Perbedaan ini dipicu oleh beragamnya pemahaman mereka tentang perbuatan dan hukum Allah SWT. Salah satu pendapat disuguhkan oleh ulama berhaluan Asy’ariyah. Mereka memahami perbuatan dan hukum-hukum Allah SWT lepas dari segalam macam yang mengikat atau mengatur kuasa-Nya.

Hemat mereka, Allah SWT bebas melakukan apa saja. Hukum yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya tidak terikat oleh apapun. Tuhan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya. Allah SWT melakukan sesuatu mutlak atas kuasa-Nya.

Allah SWT berfirman:

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُوْنَ

“Dia (Allah swt) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23).

Dari itu, As-Subki, Fakhruddin Ar-Razi, Al-Baidhawi, dan Abu Zaid Al-Hanafi menyebut bahwa ‘Illat sebagai tanda adanya hukum (Mu’arriful Hukmi). Secara fungsional, “tanda” tak kuasa melahirkan hukum secara dzatiyah. ‘Illat juga tidak bisa mengikat perbuatan Allah SWT. Contohnya memabukkan (

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN