Khutbah Idul Fitri: Menyegarkan Kembali Fitrah yang Hakiki

 
Khutbah Idul Fitri: Menyegarkan Kembali Fitrah yang Hakiki
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

KHUTBAH I

أَللَّه أَكْبَرُ ٣×، أَللَّه أَكْبَرُ ٣×، أَللَّه أَكْبَرُ ٣×.

أَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ للهِ حَرَمَ الصِّيَامَ أَيَّامَ الْأَعْيَادِ ضِيَافَةً لِعِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ أَعَدَّ الْجَنَّةَ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ. أَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ.

فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذَالِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Hadirin kaum Muslimin dan Muslimat rahimakumullah,

Mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Mulia, yang keagungan dan kekuasaan-Nya amat sangat kita rasakan, khususnya di hari ini kita dapat masih mendapat kesempatan untuk merayakan Idul Fitri.

Shalawat serta salam mari kita selalu haturkan kepada junjungan kita, teladan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, pemimpin yang seluruh tarikan napas dan ajaran-ajarannya didedikasikan untuk mempersatukan umat dan masyarakatnya yang sangat majemuk, yang terdiri dari beragam suku, kabilah, dan keyakinan yang berbeda-beda.

Kini, ajaran Rasulullah SAW itu telah jauh melampaui zaman, dan melewati batas-batas geografis, hingga sampai di negeri kita yang tercinta, Indonesia, yang jauh lebih majemuk dibanding negeri mana pun di dunia.

Kita pun dapat menyerap nilai-nilai luhur yang disabdakannya, serta meneladani akhlakul karimah yang dicontohkannya dalam menjunjung tinggi harkat dan nilai-nilai kemanusiaan serta dalam menciptakan perdamaian.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُأَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, Jamaah Idul Fitri rahimakumullah,

Pada hari ini kita merayakan Idul Fitri. Kata ‘Id artinya adalah kembali.

سُمِيَ الْعِيْدُ عِيْدًا لِأَنَّهُ يَعُوْدُ كُلَّ سَنَةٍ بِفَرَحٍ مُجَدَّدٍ

Kata ‘Id dinamakan ‘kembali’ karena ia kembali setiap tahun, dengan kebahagiaan yang diperbaharui”.

Adapun Al-Fitr artinya adalah berbuka, serumpun dengan kata Ifthar, yaitu berbuka puasa. Dinamakan demikian karena Idul Fitri adalah hari pertama di mana kita dilarang berpuasa, setelah sebulan penuh kita menjalani ibadah puasa Ramadhan. Dalam sumber literatur Arab, Idul Fitri diartikan sebagai:

اَلْيَوْمُ الْأَوَّلُ الَّذِيْ يُبْدَأُ بِهِ الْإِفْطَارُ لِلصَّائِمِ وَيُحْرَمُ الصَّوْمُ فِيْهِ

“Idul Fitri adalah hari pertama dimulainya kembali berbuka bagi orang-orang yang berpuasa, serta (hari) diharamkan puasa di dalamnya.”

Larangan berpuasa di Hari Raya Idul Fitri mengandung pesan Ilahi, bahwa segala sesuatu tidak boleh berlebihan (ekstrem), bahkan berpuasa, yang merupakan kebaikan paripurna, pun ada batasnya.

Haji Hasan Mustapa, seorang ulama Nusantara dari Tatar Sunda abad 19 menuliskan dalam karya dangding puitisnya, Kinanti Kulu-kulu di Lalayu:

Wenang nyatu wenang nginum
Nepi ka dimisti-misti
Puasa diulah-ulah
Sapoéeun ‘idil fitri
Bisi bogoh katonggoyan
Ka wajib salatri diri

Boleh makan boleh minum
Sampai diwajibkan
Puasa dilarang
Saat idul fitri
Takut terbuai keenakan
Pada kewajiban berpuasa

Tidak berlebihan, tidak ekstrem, adalah inti ajaran semua agama. Islam menyebutnya “wasathiyah”, jalan tengah, pilihan yang selalu adil dan berimbang, baik dalam cara pandang, sikap, dan perilaku ketika mempraktikkan ajaran-ajaran agama.

Berpuasa sebulan penuh di bulan suci Ramadhan adalah juga latihan (riyadhah) agar kita mampu mengendalikan nafsu dan ego kita, sebelum akhirnya kita mencapai derajat Muttaqin, yaitu orang-orang yang bertakwa.

Mengapa nafsu perlu kita kendalikan? Karena kecenderungan dasar dari nafsu adalah keluar dari fitrah dan menyimpang dari kebaikan. Imam Al-Ghazali melukiskan watak umum nafsu manusia sebagai:

اَلزَّيْغُ عَنْ مَنْهَجِ الشَّرْعِ وَالسَّعْيِ فِيْمَا لَا يَرْضَى اللهُ تَعَالَى بِهِ وَالْإِسْتِعْثَارُ بِالْأَخْلَاقِ الرَّدِيَّةِ

“… menyimpang dari jalan syariat, menempuh cara yang tidak diridhoi oleh Allah, dan menampilkan akhlak akhlak tercela….”

Pesan moral berpuasa untuk tidak berlebihan, tidak ekstrem, adil, dan berimbang, tentu tidak boleh ditanggalkan ketika Ramadhan usai. Di hari-hari ke depan yang kita jalani, dalam beraktivitas di manapun, dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, semangat “wasathiyah” perlu terus kita rawat dan kita jaga. Apalagi, dalam konteks masyarakat Indonesia yang amat majemuk, yang berasal dari beragam etnis, suku, budaya, serta memiliki keragaman keyakinan, selalu bersikap adil dan seimbang adalah sebuah keniscayaan.

Kita sangat menyadari, betapa tidak mudahnya merawat kebersamaan di tengah masyarakat yang sangat majemuk. Sebagai umat yang saat ini berjumlah mayoritas di Indonesia, adalah tugas kita bersama, umat Muslim Indonesia, untuk memberikan teladan bahwa semakin kita taat beragama, semakin kita bisa merawat semangat persaudaraan, dan semakin kita sholeh secara pribadi, maka semakin kita bisa memberikan kontribusi pada terciptanya kemaslahatan bersama.

Salah satu tantangan terbesar kita sebagai masyarakat majemuk adalah adanya keragaman tafsir keagamaan yang sering kali melahirkan potensi konflik yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan.

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, Jamaah Idul Fitri rahimakumullah,

Sebagai umat beragama, memang kita menyadari sepenuhnya bahwa keragaman tafsir keagamaan adalah hal yang niscaya, justru berkat keragaman itu pula kita mewarisi peradaban Islam yang sangat kaya. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, dan jika masing-masing kita ingin menang sendiri, dan jika masing-masing kita hanya bisa menuntut, bukan memberi, maka alih-alih membawa rahmat, keragaman itu bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan kerusakan dan keburukan.

Untuk itu, mari kita jadikan Idul Fitri ini sebagai momentum agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bisa menjadi umat yang lebih fitri, bisa menjadi bangsa yang lebih berbudi, yang lebih mengedepankan kebersamaan, gotong royong, guyub, ketimbang pertikaian dan perselisihan.

Kita tidak boleh lupa bahwa ujian selalu dimaksudkan sebagai proses seleksi, untuk memilih dan memilah, siapa yang lulus dan siapa yang gagal. Sebagai sebuah bangsa, kita harus punya tekad dan persepsi yang sama bahwa kita harus lulus menjalani ujian. Kita harus menjadi individu yang lebih baik, menjadi masyarakat yang lebih santun, dan menjadi bangsa yang lebih maju dalam arti yang positif.

Kita meyakini bahwa keragaman manusia adalah anugerah dari Allah SWT yang diciptakan sebagai ujian agar kita saling mengenal, dan saling belajar untuk menggapai derajat takwa, sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Umat Islam Indonesia sangat beruntung karena mewarisi nasihat-nasihat yang amat berguna untuk merawat keragaman dalam bermasyarakat dan berbangsa. Para ulama kita tidak hanya giat menyerukan keharusan menjaga persaudaraan sesama Muslim (Ukhuwah Islamiyah), melainkan juga persaudaraan sesama warga bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), dan bahkan persaudaraan sesama manusia (Ukhuwah Insaniyah/Basyariah).

Demikian ini tentu sejalan dengan semangat persaudaraan yang disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhahu, yang disampaikan kepada Malik Al-Asytar, Gubernur Mesir. Saat itu, Sayyidina Ali sedang menjabat sebagai Khalifah keempat dari para Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Belau berkata:

اَلنَّاسُ صِنْفَانِ، إِمَّا أَخٌ لَكَ فِي الدِّيْنِ أَوْنَظِيْرٌ لَكَ فِي الْخَلْقِ

“Manusia hanya ada dua golongan: apakah ia saudaramu seagama, atau ia saudaramu sesama manusia.”

Terlebih antar sesama Muslim, kita memiliki tanggung jawab personal dan sesama untuk merawat tali persaudaraan itu. Setajam apapun perbedaan tafsir keagamaan antara Muslim satu dengan lainnya, mereka adalah saudara kita. Perbedaan memang sebuah keniscayaan, namun kasih sesama dan cinta sebagai sesama saudara, apalagi yang didasarkan pada satu keyakinan agama yang sama, seyogyanya dapat mempersatukan, walaupun tanpa harus menyamakan.

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat rahimakumullah,

Bersikap wasathiyah, atau moderat, sesungguhnya juga adalah bagian dari fitrah. Puasa dan Idul Fitri menjadi momentum yang sangat tepat untuk mengendalikan dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang hakiki. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan fitrah hakiki itu?

Dalam Al-Qur’an, kata Fitrah terkait erat dengan kata Al-Fithr, yang berarti “asal kejadian”. Karenanya, Idul Fitri dapat dimaknai sebagai kembalinya manusia ke asal kejadian ketika ia pertama kali diciptakan, yakni kembali ke fitrahnya yang bersih dan suci.

Dalam Surat Ar-Rum ayat 30, Allah SWT berfirman:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Berdasarkan ayat ini, fitrah manusia adalah agama yang lurus (hanif), agama yang ajarannya berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah), agama yang tuntunannya bersifat universal, untuk menegakkan keadilan, kemaslahatan, memuliakan manusia, bukan menghinakannya, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan (insaniyyah), bukan merendahkan sesama. Inilah fitrah manusia. Dan sebaik-baik mereka adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama.

خَيْرُالنَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesamanya.”

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُأَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah,

Dengan pemaknaan Idul Fitri dan makna fitrah yang benar, maka hari raya ini harus menjadi momentum kita untuk lebih dalam lagi menyadari bahwa kita harus kembali menjadi manusia yang fitri. Dalam arti manusia yang sesuai dengan asal kejadian diciptakannya, yakni manusia yang telinganya dipakai untuk mendengar kebaikan, matanya dipakai untuk melihat kebenaran, kaki, tangan, serta seluruh anggota tubuhnya diabdikan untuk kemaslahatan. Demikian itulah makna sejati dari Idul Fitri.

Dalam Surat Ar-Rum yang dikutip di atas itu, Allah juga menegaskan bahwa fitrah manusia untuk kembali kepada Kebenaran (Tuhan) tidak akan terbendung atau tergantikan, la tabdila li khalqillah. Suatu saat manusia memang pasti akan kembali menyadari kehadiran Al-Haq, Dzat Yang Maha Benar. Demikian ini karena memang kesadaran ruhani itu adalah bersifat mutlak, tidak bisa dihindari dan tidak bisa ditahan.

Hanya saja, sebagian manusia mungkin ditakdirkan untuk melewati jalan yang sedikit berliku, ada juga yang terlena seperti Fir’aun yang menyadari Kebenaran itu di saat nyawa sudah di ujung tenggorokan. Na’udzu billah, kita semua berlindung hanya kepada Allah SWT.

Kita, manusia, memang bukan malaikat, semua kita bisa tergelincir melakukan kesalahan. Itulah sebabnya kita diminta untuk kembali pada kebenaran, kembali saling mengingatkan, kembali saling berwasiat pada kebaikan, kembali saling nasihat menasihati pada ketakwaan, dan kembali saling maaf memaafkan.

Sekali lagi, Hari Raya Idul Fitri adalah momentum yang paling tepat bagi kita untuk kembali memahami jati diri kita, fitrah kita, asal kejadian kita, sebagai hamba yang tidak berdaya, dan pada hakikatnya kita ini hanyalah hamba kecil yang tak berdaya sama sekali di hadapan Yang Maha Kuasa.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُأَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Hadirin, jamaah Idul Fitri rahimakumullah,

Pemahaman tentang makna Idul Fitri sebagai kembali kepada fitrah dan asal kejadian manusia seperti yang disebutkan itu, sesungguhnya yang adalah yang dimaksudkan dalam doa yang sering kita ucapkan ketika Idul Fitri menjelang, yakni:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَجَعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ

“Semoga Allah menerima (semua amal) dari kita semua dan dari anda semua; dan semoga Ia menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang kembali (kepada fitrah) serta menjadi orang-orang yang mendapat ampunan dosa dan masuk surga.”

Seorang mufti Betawi abad ke-19, Sayyid Usman bin Abdillah bin ‘Aqil bin Yahya, menjelaskan di dalam karyanya yang berjudul Kamus Kecil, bahwa ucapan “minal ‘aidin” itu sekaligus doa agar umat Muslim dapat kembali lagi di tahun depan untuk memperoleh kemujuran dan kebahagiaan.

Sayyid Usman menulis, “…dikata waktu melebaran: engkau boleh dapat lagi lebaran berkali-kali dengan mujur, minal ‘aidin wal faizin juga adanya….”

Ketika menjelaskan “minal ‘aidin wal fa’izin” yang sering kita kirimkan melalui pesan-pesan di saat Idul Fitri ini, ulama ahli tafsir kita, Prof. Quraish Shihab, mengingatkan bahwa kalimat “Al-Fa’izin” dalam doa tersebut tidak tepat dimaknai dan dikaitkan dengan “Hari Kemenangan”. Kata tersebut lebih tepat dimaknai sesuai pesan Allah SWT di dalam Al-Quran, yakni “orang-orang yang mendapat ampunan dan orang-orang yang masuk surga.”

Jadi, ucapan itu adalah doa. Seorang yang berdoa berarti ia sedang mengakui bahwa dirinya kecil, seraya berharap kepada Yang Maha Besar. Karenanya, Idul Fitri bukan berarti hari kemenangan sehingga kita merayakannya secara berlebihan. Sebab orang yang merasa sudah menang biasanya terlena, lupa diri, sombong, serta merasa besar dan merasa paling benar. Justru jiwa yang lengah seperti ini yang akan lebih mudah digelincirkan setan, sebagaimana digambarkan dalam Surat An-Nahl ayat 63:

تَاللّٰهِ لَقَدْ اَرْسَلْنَآ اِلٰٓى اُمَمٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطٰنُ اَعْمَالَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ الْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Demi Allah, sungguh Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau (Nabi Muhammad). Akan tetapi, setan menjadikan perbuatan mereka (yang buruk) terasa indah bagi mereka, sehingga ia (setan) menjadi pemimpin mereka pada hari ini (di dunia) dan bagi mereka azab yang sangat pedih (di akhirat).”

Karenanya, alih-alih menganggap Idul Fitri sebagai hari kemenangan, mari kita memaknai hari ini lebih sebagai hari kembali kepada fitrah, kembali pada kesucian, karena asal kejadian ketika kita dilahirkan adalah seorang bayi manusia yang bersih dan suci sebagaimana sabda Nabi SAW:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam fitrahnya yang suci.”

Hadirin sekalian,

Sesuatu yang suci, sesuatu yang fitri, selalu mengandung tiga unsur, yakni baik (Al-Khair), indah (Al-Jamal), dan benar (Al-Haq). Kita tahu, bayi yang masih polos tak pernah berperilaku jahat, selalu baik, tak pernah terlihat buruk, selalu indah, dan tak pernah dianggap melakukan kesalahan, selalu benar.

Orang yang berpuasa, yang diterima puasanya, yang mendapatkan kebaikan Lailatul Qadar, yang membersihkan hartanya dengan zakat, dan yang kembali fitri, harus mencerminkan diri menjadi pribadi yang berakhlak baik, memancarkan aura keindahan dari dalam dirinya, serta bertutur kata dan berperilaku yang benar berdasarkan ilmu.

Melalui puasa di bulan Ramadlan, melalui zakat yang kita tunaikan, dan dengan merayakan Idul Fitri, mari kita berdoa agar bisa kembali kepada kesucian, menjadi orang yang rendah hati, mau mengakui kesalahan.

Orang yang berpuasa, dan diterima puasanya bukan berarti orang yang tidak pernah melakukan khilaf atau dosa, melainkan mereka yang kembali dari kesalahannya menuju pada kebenaran, kembali suci, kembali fitri, sehingga dihapus semua dosanya, menjadi bersih kembali sebagaimana ketika ia pertama kali dilahirkan.

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat rahimakumullah,

Mari kita bermuhasabah dan mawas diri, teguhkan untuk kembali kepada fitrahnya seorang manusia. Jangan sampai gesekan di antara sesama yang ada itu menghancurkan segala kebaikan yang selama ini telah dipupuk bersama. Kesadaran untuk saling memahami dan memaafkan adalah kunci dalam menjaga makna manusia yang kembali ke fitrahnya.

Semoga Allah SWT menganugerahkan ridho-Nya kepada semua niat baik kita, menjauhkan kita dari segala bencana dan mara bahaya, dan semua kita selalu dalam penjagaan-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

تقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ عِيْدِنَا، وَأَعِدْهُ عَلَينَا أَعْوَامًا عَدِيْدَةً. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنًا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ   

KHUTBAH II

اللهُ اَكْبَرْ ٣×، اللهُ اَكْبَرْ٤×.

اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ.

الْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ اِقْرَارًا بِرُبُوْبِيَّتِهِ وَاِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَصَابِيْحِ الْغُرَرِ، مَا اتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ، مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الْمَحْشَرِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى عَنْهُ وَحَذَّرَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلَا ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالَى وَلَمْ يَزَلْ قَائِلًا عَلِيْمًا: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ جَدِّ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ خَيْرِ أَهْلِ الدَّارَيْنِ خُصُوْصًا عَلَى أَوَّلِ الرَّفِيْقِ سَيِّدِنَا أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيْق، وَعَلَى الصَّادِقِ الْمَصْدُوْق سَيِّدِنَا أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ الْفَارُوْقِ، وَعَلَى زَوْجِ الْبِنْتَيْنِ سَيِّدِنَا عُثْمَانِ ذِيْ النُّوْرَيْنِ، وَعَلَى ابْنِ عَمِّهِ الْغَالِبِ سَيِّدِنَا عَلِيِّ بْن أَبِيْ طَالِب، وَعَلَى السِّتَّةِ الْبَاقِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ، وَعَلَى الشَّرِيْفَيْنِ سَيِّدَيْ شَبَابِ أَهْلِ الدَّارَيْنِ أَبِيْ مُحَمَّدِ الْحَسَنِ وَأَبِيْ عَبْدِ اللهِ الْحُسَيْنِ، وَعَلَى عَمَّيْهِ الْفَاضِلَيْنِ عَلَى النَّاسِ سَيِّدِنَا حَمْزَة وَسَيِّدِنَا الْعَبَّاسِ، وَعَلَى بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَلَى التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمَيْنَ.

اللهم لك الحمد على أن بلعتنا شهر رمضان، اللهم تقبل منا الصيام والقيام، وأحسن لنا الختام، اللهم اجبر كسرنا على فراق شهرنا وأعده علينا أعواما عديدة وأزمنة مديدة، واجعله شاهدا لنا لا علينا، اللهم اجعلنا فيه عتقائك من النار واجعلنا فيه من المقبولين الفائزين.

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللّهُمَّ أَعِزَّ الْاِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْن وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ، وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللّهُمَّ أَصْلِحْ لَنا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. اَللّهُمَّ حَبِّبْ إلَيْنَا الْإيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوْبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنَ. اَللّهُمَّ ارْزُقْنَا الصَّبْرَ عَلى الحَقِّ وَالثَّبَاتَ عَلَى الأَمْرِ والعَاقِبَةَ الحَسَنَةَ والعَافِيَةَ مِنْ كُلِّ بَلِيَّةٍ والسَّلاَمَةَ مِنْ كلِّ إِثْمٍ والْغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالفَوْزَ بِالجَنَّةِ والنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Ya Allah ya Tuhan Kami, baguskanlah para pemimpin dan pemerintah kami. Jadikanlah tanah air dan rumah kami aman, damai dan sentosa. Kabulkan cita-cita bangsa kami dan Engkau rela atasnya. Dan tutuplah hidup kami dengan amal-amal sholeh.

Ya Allah, lindungilah negeri kami, Indonesia, dari segala petaka dan keburukan. Jadikan negeri ini selalu aman dan stabil. Jauhkan kami semua dari segala yang memisahkan hati kami.

Ya Allah, persatukan tekad kami untuk berjalan di atas kebenaran. Padamkan bara api kebencian. Tutuplah segala sumber petaka dan jadikan kami satu barisan untuk menghentikan pihak yang akan merusak negeri kami, wahai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ، رَبَّنا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.

عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ


Oleh Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum
(Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Guru Besar Filologi FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pengampu Ngariksa)
___________

Editor: Hakim