Apakah Boleh Meminjam Uang ke Bank untuk Membeli Rumah?

 
Apakah Boleh Meminjam Uang ke Bank untuk Membeli Rumah?

Jual beli dengan kredit dalam arti menjual barang kepada pembeli dengan pembayaran yang dicicil dalam jangka waktu tertentu maka hal itu ada tiga macam :

1. Kredit yang haram karena transaksi tersebut memang tidak boleh dengan kredit. Yaitu jual beli yang berupa :

  • emas dengan emas
  • perak dengan perak
  • emas dengan perak
  • uang dengan emas
  • uang dengan perak
  • uang dengan uang
  • makanan dengan makanan baik yang sejenis atau tidak.

Sebab untuk macam-macam jual beli tersebut ada hukumnya tersendiri, di antaranya tidak boleh dengan kredit.

2. Kredit yang diperkenankan, yaitu Kredit yang diperbolehkan dalam Islam adalah selagi bukan jual beli yang tersebut di bagian kredit terlarang di atas. Misal seorang penjual motor menjual motornya dengan harga 7 juta dengan pembayaran yang dicicil 1 juta setiap bulan dengan 7 kali cicilan selama 7 bulan. maka jual beli kredit semacam ini diperbolehkan.

3. Kredit yang haram karena sesuatu yang lain. Bagian ini amat perlu diperhatikan karena sering dilupakan,yaitu berkenaan dengan kredit yang terjadi di zaman ini. Transaksi yang terjadi antara pembeli dengan pihak show-room mobil dan bank. Ada hal yang sering dilupakan oleh sebagian orang dalam transaksi ini. Jual beli kredit hukum asalnya adalah BOLEH, akan tetapi jika permasalahannya adalah menjerumuskan seseorang untuk berurusan dengan sesuatu yang telarang maka hukumnya pun menjadi terlarang. Sebagian show-room mobil memberikan kredit mobil dengan cara sebagai berikut, Misal : Ada pihak pembeli menginginkan mobil sedan, jika di bayar kontan harganya 140 juta, karena pembeli tidak punya uang yang cukup maka ia pun memilih kredit dengan harga 170 juta dibayar dengan cara mencicil selama 4 tahun. Di saat transaksi dengan cara pembayaran kontan maka pihak show-room tidak bermasalah sebab ia menerima uang tunai. Akan tetapi jika yang dipilih pembeli adalah transaksi kredit maka saat ini sebagian show-room menjadi bermasalah. Sebab show-room tidak ada persediaan uang untuk melayani pelanggan kredit yang kadang jumlahnya sampai puluhan.

NU lewat keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung Tahun 1992 telah menghasilkan keputusan bahwa hukum bunga bank masih ikhtilaf. Ada yang mempersamakan dengan riba, ada yang tidak mempersamakan keduanya, dan ada yang menyatakan statusnya syubhat. Oleh karenanya, kemudian hasil keputusan Munas tersebut memerinci bahwa apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan produktif maka diperbolehkan. Demikian sebaliknya, apabila meminjam uang ke bank tersebut untuk tujuan konsumtif, maka tidak diperbolehkan. 

Untuk pendapat yang membolehkan, ada catatan bahwa bunga bank konvensional adalah sama maksudnya dengan istilah tarif (‘ujrah) sehingga tidak bisa disebut riba. Hal ini mengingat bahwa riba adalah cenderung kepada arah dhalim dan mendhalimi. Sementara itu, bunga bank tidak dimaksudkan untuk dhalim dan mendhalimi melainkan ujrah (upah) kepada bank selaku kafil (penjamin) dari makful 'anh (yang diberi jaminan), yakni nasabah/peminjam. 

Bunga bank ditetapkan berdasarkan prinsip akad kafalah. Dengan akad kafalah, bunga disamakan dengan istilah tarif. Oleh karena itu, maka disyaratkan agar bank menyampaikan besaran tarif tersebut secara umum di awal dan hal ini sudah berlangsung hingga detik ini. Besaran tarif yang sifatnya konstan (tetap) ini membedakannya dengan pengertian riba yang bersifat أضعافا مضاعفة yaitu berlipat ganda. Tarif ditentukan berdasarkan prinsip “keadilan.”

Dengan merujuk pada pendapat yang membolehkan dalam keputusan Munas NU 1992 ini, maka keputusan saudara penanya untuk meminjam ke bank disebabkan hajat memiliki sebuah rumah karena tingginya biaya membangun sebuah rumah adalah diperbolehkan. Keputusan ini berdasarkan prinsip maslahah mursalah, yang mana salah satunya adalah mensyaratkan peruntukannya untuk maslahah dlaruriyah (memenuhi kebutuhan primer), maslahah hajiyah (memenuhi hajat masyarakat banyak/berupa perumahan) dan maslahah tahsiniyah (menuju kualitas hidup yang lebih baik). Usaha memenuhi kebutuhan primer merupakan yang diperintahkan oleh syara’. 

Demikian sekilas jawaban dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan saudara. Jawaban ini tentu memiliki konsekuensi akan adanya ikhtilaf. Sebagai jalan keluar, apabila ditemukan cara lain yang bisa menggantikan posisi pinjam ke bank tersebut, maka wajib untuk mengambil sistem tersebut karena lebih menyelamatkan. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : Dari Berbagai Sumber