Mengapa Ada Fraud Pada Bangsa Kita yang Relijius?

 
Mengapa Ada Fraud Pada Bangsa Kita yang Relijius?

LADUNI.ID - Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia, baik dilihat dari luasan wilayahnya maupun jumlah penduduknya yang menurut survey kependudukan (2010) mencapai 236,7 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu pun terdiri dari banyak suku. Dilihat dari sisi jumlahnya tersebut secara berurutan maka suku Jawa berada pada nomor urut satu, yakni 40,22% dari total jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 95.217.022 jiwa. Disusul nomor kedua oleh suku Sunda (15,5%=36.701.670 jiwa), ketiga suku Batak (3,58%=8.466.968 jiwa), keempat suku asal Sulawesi lainnya (3,22%=7.634.262 jiwa), kelima suku Madura (3,03%=7.179.356 jiwa), keenam Betawi (2,88%=6.807.968 jiwa), Minangkabau ,(2,73%=6.462.713 jiwa), dan seterusnya suku-suku lainnya. Sedangkan jika dilihat dari komposisi agama (2010), maka muslim (87,2%=207.2 juta jiwa), Kristen (6.9%=16.5 juta jiwa, Katolik (2,9%=6,9 juta jiwa), Hindu (1,7%= 4 juta), Budha (0,7%=1,7 juta) dan Konghucu (0,05%). Dari data tersebut saya menduga-duga saja, tidak berdasarkan riset, dan tidak pula bermaksud merendahkan, bahwa boleh jadi fraud, suap menyuap, korupsi, money laundring paling banyak dilakukan oleh yang jumlah prosentasenya paling banyak dalam suku dan agama.

Masalahnya, mengapa fraud dan korupsi berkembang demikian subur pada bangsa yang religius? Saya menduga kuat bahwa itu semua terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut:

(1) Lemahnya integritas moral berupa lenyapnya rasa malu dan hilangnya keimanan pada orang yang menganut agama yang pada gilirannya berdampak buruk pada perbaikan sistem. Nabi bersabda, "Malu dan iman bergandengan bersama. Kalau salah satunya tiada, maka yang lain pun (turut) tiada." (HR. Ahmad).

(2) Orientasi hidup manusia yang rakus dan senang berfoya-foya itu hanya tertuju kepada harta benda dunia untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kroninya. Mereka tidak peduli kepada kemaslahatan umum dan menganggap harta milik rakyat itu sebagai harta miliknya, tidak pula mereka peduli pada aturan agama yakni halal dan haram. Padahal ulama mengingatkan bahwa dunia hanyalah wasilah (sarana) dan bukan ghayah (tujuan). Tetapi di alam bawah sadar mereka diam-diam telah menjadiksn harta benda dunia sebagai tujuan hidupnya.

(3) Hilangnya keteladanan. Fraud (kecurangan), suap menyuap, korupsi terjadi bukan sekedar karena ketamakan semata melainkan juga karena perilaku atasan yang melakukannya sendiri atau minimal melakukan pembiaran terhadap bawahannya yang berbuat curang dan korupsi. Padahal semestinya atasan bisa menjadi panutan yang terlihat (transparan) bagi setiap bawahannya. Apabila kalangan atas melakukan fraud, suap menyuap, atau korupsi maka hal itu akan berpengaruh buruk ke bawah dsn mendorong jajarannya melakukan hal yang sama. Alasannya, bahwa atasan yang curang dan korup itu tidak akan mampu nengawasi dan menindak bawahannya sebab mereka sendiri telah memelopori tindakan yang tidak terpuji tersebut.

(4) Kondisi sosial yang memberi peluang bagi terjadinya fraud. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memperkecil peluang terjadinya fraud, korupsi, suap menyuap dalam setiap pelayanan umum dengan cara memberikan kemudahan dan tidak memperbanyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seluruh kapisan masyarakat atau pengusaha. Faktor mental baik dari pejabat berwenang dan pengusaha paling menentukan atas perbuatan terkutuk tersebut bila dilakukan secara kolusi demi meraih "keuntungan" harta haram yang sebesar-besarnya. Korupsi dan suap menyuap semakin sulit dicegah dan semakin parah karena oknum pejabat yang ingin kolusi mendapatkan gayung bersambut dari oknum pengusaha dengan pemberian suap atau imbalan.

Oleh: KH AHmad Ishomuddin