Kenapa Keputusan Munas NU adalah Langkah Besar?

 
Kenapa Keputusan Munas NU adalah Langkah Besar?

Oleh ULIL ABSHAR ABDALLA, Pengampu Pengajian Ihya Ulumuddin Online

LADUNI.ID, Jakarta - Berikut ini adalah catatan saya atas komentar seorang teman yang agak skeptis terhadap keputusan Munas NU kemaren perihal penyebutan status non-Muslim sebagai "warga negara", bukan kafir.

Sebetulnya catatan saya ini bersifat personal, tetapi karena isinya saya anggap relevan dengan diskusi yang ramai hari-hari ini, saya putuskan saja untuk saya bagikan secara publik, tentu dengan saya tambahi sedikit di sana-sini. Barangkali ada faedahnya. Kalaupun ndak ada faedahnya, ya minimal saya nyetatus lah. Daripada nganggur, bengong, hari Minggu begini.

Jadi begini...

Saya akan kasih perspektif lain, mas. Keputusan Munas NU itu, bagi saya, tetaplah sangat fenomenal, karena dibuat sebagai keputusan kelembagaan, bukan pendapat personal. Kalau secara personal, sudah banyak teman NU yang berpandangan jauh-jauh hari seperti ini, yakni bahwa tak tepat seorang non-Muslim dalam kerangka kehidupan bernegara disebut sebagai kafir, alias kafir dzimmi, melainkam seharusnya disebut "muwathin" alias warga negara.

Begitu juga gagasan tentang non-Muslim sebagai "muwathin" juga sudah banyak dikemukakan sejak lama, bahkan oleh penulis "Islamis" dari Mesir Fahmi Huwaidy dalam bukunya yang sudah dibaca teman-teman NU sejak lama, terutama yang belajar di Mesir, yaitu: "Muwathinun La Dzimmiyyun". Tetapi pendapat personal beda secara ontologis, kategoris dan kualitatif dengan pendapat kelembagaan.

Pernyataan njenengan bahwa argumen NU "ngaco" (I think this is too strong and not necessary), karena, menurut njenengan, dalam literatur klasik orang-orang kafir disebut dzimmi dalam kerangka politik, bukan kafir, jelas tidak tepat. Sebab apa yang disebut dzimmi itu tetap kafir.

Dzimmi adalah bagian dari jenis-jenis orang kafir dalam literatur fekih klasik, terutama Fiqh al-Siyasah. Ada kafir harbi, ada kafir dzimmi, ada kafir mu'ahad, ada kafir musta'man. Tetapi, ala kulli hal, mereka tetap kafir. Jadi istilah dzimmi adalah "shorthand" atau singkatan dari "kafir dzimmi". Menyebut non-Muslim sebagai dzimmi tetap menyiratkan sebutan kafir bagi mereka.

Keputusan Munas NU yang menyatakan bahwa non-Muslim dalam kerangka bernegara bangsa bukan kafir dzimmi melainkan "muwathin", warga negara, jelas lompatan besar dari fiqhus siyasah klasik ini. Sekali lagi, ini saya sebut lompatan karena diputuskan ulama NU sebagai "collective body". Kalau sebagai pandangan personal, ini tentu bukan lompatan besar, karena sudah banyak dikemukakan oleh sarjana Islam, seperti sudah saya kemukakan.

Selain itu semua, setahu saya, belum ada ulama Islam yang berpandangan sejauh seperti yang ditempuh NU ini. Pandangan terjauh yang bisa dijangkau oleh ortodoksi Islam (tolong dikoreksi jika saya keliru data) adalah menyebut non-Muslim sebagai "ghairul Muslimin" yang artinya ya non-Muslim itu. Ini dikemukakan oleh Yusuf Qardawi dalam bukunya: "Khithabuna al-Islami fi Ashr al-Aulamah." Hal serupa ditempuh juga oleh Syaikh al-Azhar.

Jadi, pada tingkat ortodoksi, bukan pada tingkat kesarjanaan individual, jelas yang dilakukan oleh NU ini adalah "a huge step moving forward", langkah ortodoksi (sekali lagi langkah ortodoksi) yang cukup berani untuk melangkah ke masa depan. Gus Yahya Cholil Staquf menyebutnya sebagai langkah untuk menegakkan "al-salam al-'alami", perdamaian dunia.

Sekian, semoga dipermaklumkan.


Catatan: Bagi yang tertarik membaca buku Fahmi Huwaidy dan Yusuf Qardawi yang saya kutip dalam tulisan ini, bisa mengunduhnya gratis melalui tautan di bawah ini. Bagian dari tulisan Yusuf Qardawi yang relevan dengan tema ini ada di halaman 44.