Poligami Zaman Now Vs Poligami Politik, Siapa Sang Juara?

 
Poligami Zaman Now Vs Poligami Politik, Siapa Sang Juara?

 

LADUNI. ID, KOLOM-Salah satu problema yang masih dipertentangkan sebagian orang walaupun dalam perspektif agama sudah final kebolehannya. Poligami namanya dan ini tentunya secara kodrati kaum hawa mereka itu tidak ingin dirinya di poligami.

Berbicara poligami tidak terlepas dari sejarah poligami yang di praktekkan oleh baginda nabi Muhammad Saw juga fenomena poligami era now yang diperankan oleh masyarakat baik sebagai tokoh, selebriti, ulama dan lainnya.

Realita pada zaman now dari beberapa tokoh yang melakukan poligami mereka menikahi perempuan umumnya masih gadis alias perawan dan ini berbeda dengan apa yang di lakukan oleh nabi zaman dulunya kebanyakan dengan janda. Bukan hanya itu banyak nilai yang dapat di petik dari sudut pandang politik efek dari poligami baginda nabi. Apa yang dilakukan oleh rasulullah disamping ada nilai ibadah mahzahnya juga lahir banyak perspektif lainnya.

Mencermati fenomena diatas,aAda baiknya kita lihat penjelasan Syekh Ali al-Shabuni menuturkan hal tersebut dalam bukunya, Rawâi’ al-Bayân: Tasīr al-Ahkâm min al-Qur’ân sebagaimana berikut ini: Pertama, Ummu Habibah alias Ramlah, putri Abu Sufyan. Siapa Abu Sufyan ini? Dia merupakan salah satu tokoh Bani Umayyah yang sangat berpengaruh. Abu Sufyan adalah tokoh Umayyah yang sangat benci dan jijik pada Nabi. Abu Sufyan merupakan tokoh yang membawa ke mana pun pergi bendera kemusyrikan dan musuh yang paling bermusuh terhadap Nabi Muhammad. Bagaimana dengan Ramlah, putrinya?

Ramlah sudah masuk Islam dan menjadi pengikut setia Nabi sejak dari Makkah. Dia dengan suaminya, ketika Islam masih periode Makkah, ikut rombongan Ja’far bin Abi Thalib ke Negara Abyssinia (Habasyah), mencari suaka pada raja Negus, pemimpin negeri itu, karena di Makkah mereka tidak bebas menjalankan praktik keimanannya sebagai pemeluk Islam dan sering kali diintimedasi orang Makkah karena mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Ketika berada di negara raja Negus itulah suami Ramlah meninggal dunia. Maka hiduplah dia sebagai jomblo, tidak punya pelindung dan laki-laki yang bahunya halal dijakan sandaran olehnya di negeri orang. Kemudian ketika Nabi mendengar kabar tentang keadaan Ramlah di negara Abyssinia tersebut, maka Nabi menulis surat pada raja Negus. Memberi kabar bahwa Nabi ingin melamar Ramlah, putri Abu Sufyan yang hidup sebatang kara di negaranya.

Ketika raja Negus menyampaikan isi surat itu, maka sangat bahagaia sekali Ramlah mendengar kabar baik itu. Dia sangat bahagia sekali, bahagia tingkat dewa akan menjadi istri seorang Utusan Tuhan yang sangat mulia sekali akhlak dan budi pekertinya itu.

Meskipun di negeri Abyssinia itu hidup sebatang kara, dia tidak kembali ke Makkah karena takut dipaksa oleh ayahnya agar meninggalkan agama Islam yang sudah menjadi pilihan hati nuraninya sebagai agamanya. Oleh karena dia sangat senang sekali ketika dilamar oleh Nabi dan ketika sudah berada di Madina, dia dinikahi oleh Nabi. Ketika mendengar kabar bahwa Anaknya sudah dinikahi oleh Nabi, Abu Sufyan bahagia atas pernikahan itu dan sejak saat itulah Abu Sufyan tidak menegangkan urat nadinya dalam memusuhi umat Islam, karena sudah hubungan kekeluargaan antara dirinya dengan Nabi. Dan, pada akhirnya ketika terjadi pembebasan kota Makkah, Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi pengikut Nabi.

Kedua, Juwairiyah, putri al-Harits, pimpinan kaum Yahudi Bani Musthaliq. Ketika perang Bani Musthaliq terjadi, orang Yahudi Bani musthaliq kalah dan banyak orang-orang Yahudi Bani Musthaliq yang ditahan oleh pasukan Islam, termasuk putri pimpinan kaum Yahudi Bani Musthaliq yang bernama Barrah, yang kelak ketika dinikahi Nabi namanya diganti menjadi Juwairiyah. Ketika menjadi tahanan perang, Juwairiyah ingin menebus dirinya agar dibebaskan dari penawanan kaum muslimin. Kemudian dia menemui Nabi di kediamannya untuk minta tolong diberikan air minum. Lalu, Nabi menawarkan tebusan baginya dengan syarat dia mau dinikahi oleh Nabi.

Sosok Juwairiyah tenyata menerima syarat yang diajukan Nabi. Kemudian akad nikah diberlangsungkan. Setelah Nabi menikahi Juwairiyah, wanita istimewa di mata kaumnya itu, para tawanan yang merupakan pasukan perang ayah Juwairiyah, yang ditahan orang Islam, dibebaskan. Setelah kaum Yahudi Bani Musthaliq melihat kejadian mulia ini, maka mereka semua masuk Islam, menjadi pengikut Nabi Muhammad. Maka dengan itulah tidak ada lagi permusuhan antara orang-orang Islam dengan orang Yahudi Bani Musthaliq.

Ketiga, Shafiyah, putri Huyay bin Ahthab, yang ditahan oleh pasukan Islam pada perang Khaibar. Suaminya meninggal dalam perang itu karena terkena anak panah pasukan Islam. Banyak sahabat yang mengatakan bahwa Shafiyah yang ditahan merupakan salah satu putri kaum Yahudi Bani Quraidhah, yang hanya pantas dimiliki oleh Nabi Muhammad. Maka ditawarkanlah oleh Nabi pada Shafiyah dua pilihan. Pertama dimerdekakan dan kemudian dinikahi oleh Nabi dan kedua dibebaskan dan bisa bertemu lagi dengan keluarganya. Maka dia memilih pilihan pertama, merdeka dan menjadi istri yang sekian bagi Nabi Muhammmad.Ketika dia melihat akhlak Nabi yang sangat baik, maka kemudian dia masuk Islam. Dan, ketika kaumnya mengetahui bahwa dia telah masuk Islam, maka banyak kaumnya yang masuk Islam. Ketika menikahi tiga perempuan terpandang di mata kaumnya inilah nalar politik bermain. Mencari jalan damai dengan deplomasi pernikahan, menikahi putri-putri lawan politiknya.

Melihat konteks ini, para pelaku poligami zaman now mereka berpoligami menikahi kebanyakannya wanita gadis dan jarang berpoligami dengan para janda yang dapat juga melahirkan nilai positif lainnya baik politik, sosial ekonom dan masyarakat serta lainnya. Satu pertanyaan yang masih belum terpecahkan dan mendapatkan jawabannya. Lantas kenapa berpoligami era now dalam kinerja tidak mengikuti nabi dengan menikahi para janda? Tetapi lebih memilih berpoligami dengan para gadis (perawan)?

Beranjak dari penjelasan diatas poligami bukan hanya bernilai ibadah khusus namun juga dapat dijadikan sebagai washilah dalam dunia politik demi kemashlahatan yang juga bernilai ibadah dan nilai semacam ini setidaknya mampu diimplementasikan oleh pelaku poligami sehingga mampu melahirkan nilai sosial, politik dan lainnya di balik poligami itu sendiri bukan hanya “pernikahan” saja yang diraih. Semoga kita dapat meneledani akhlak dan prilaku baginda nabi dalam kehidupn ini menuju ridha sang ilahi. Semoga..!!!

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

***Helmi Abu Bakar el-langkawi, Penggiat Masalah Agama dan Pendidikan asal Ulee Glee, Pidie Jaya