Hukum Pakaian yang Terkena Noda Bekas Darah Haid

 
Hukum Pakaian yang Terkena Noda Bekas Darah Haid
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pakaian yang terkena noda bekas darah haid sering kali menjadi perdebatan dalam masyarakat, terutama dalam konteks agama, budaya, dan etika. Di banyak budaya, darah haid dianggap sebagai sesuatu yang suci dan harus diperlakukan dengan hormat. Namun, pendekatan terhadap pakaian yang terkena noda darah haid dapat bervariasi tergantung pada keyakinan dan nilai-nilai masyarakat tersebut.

Dalam beberapa agama dan budaya, pakaian yang terkena noda darah haid mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak suci atau kotor. Hal ini bisa mengarah pada praktik membersihkan pakaian secara khusus dengan cara tertentu, seperti mencucinya dengan air yang suci atau menggunakan bahan kimia pembersih khusus. Di sisi lain, ada juga pandangan yang menganggap bahwa darah haid adalah bagian alami dari siklus tubuh perempuan dan tidak perlu membuat pakaian menjadi tidak layak pakai.

Beberapa masyarakat mungkin memperlakukan pakaian yang terkena noda darah haid dengan lebih hati-hati, baik dalam proses pencucian maupun pemilahannya. Ini bisa mencerminkan kepercayaan akan pentingnya menjaga kesucian dan kebersihan, serta menghormati siklus alami tubuh perempuan. Namun, pandangan ini juga bisa memicu stigma atau diskriminasi terhadap perempuan yang mengalami menstruasi.

Pentingnya pemahaman dan toleransi terhadap berbagai pandangan mengenai pakaian yang terkena noda darah haid sangatlah penting. Diskusi terbuka dan inklusif tentang masalah ini dapat membantu mengurangi stigma serta mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak dan pengalaman perempuan dalam berbagai budaya dan agama. Di tengah perbedaan keyakinan dan nilai, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghormati keberagaman serta hak asasi manusia.

Dalam masalah fiqih, darah termasuk darah haid adalah salah satu zat najis yang harus dibersihkan secara tuntas dari pakaian dan benda lain dalam rangka menjaga kesucian, terlebih untuk ibadah salat.

Rasulullah SAW pada hadits riwayat Asma binti Abu Bakar r.ha. menyatakan keharusan penyucian tuntas pakaian yang terkena najis sebelum dipakai salat. 

وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: - "تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya, “Dari Asma binti Abu Bakar r.a., Rasulullah SAW bersabda, ‘Pada darah haid yang mengenai pakaian, kau mengoreknya, menggosoknya dengan air, membasuhnya, dan melakukan salat dengannya,’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadis ini, pakaian yang terkena najis darah haid harus dicuci secara sungguhan. Dengan demikian, noda tersebut dapat dihilangkan secara total hingga hilang rasa, warna, dan baunya. Lalu bagaimana dengan noda bekas darah haid yang tersisa di pakaian meski telah dicuci? Apakah pakaian dengan noda darah haid ini masih terbilang mengandung najis yang tidak bisa digunakan untuk salat?

Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram, mengatakan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi secara syariat.

يعفى عما بقي من أثر اللون بعد الاجتهاد في الغسل بدليل (ولا يضرك أثره) الآتي في الحديث الذي بعده

Artinya, “Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadis selanjutnya yang berbunyi, ‘Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54).

Adapun hadis yang dimaksud oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki adalah hadis Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: - يَا رَسُولَ اَللَّهِ, فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ اَلدَّمُ? قَالَ: "يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ" - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَنَدُهُ ضَعِيف

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Khawlah r.a. berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika darah itu tidak hilang?’ ‘Cukup bagimu (mencuci dengan) air itu. Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (HR. At-Tirmidzi).

Hadis yang dimasukkan dalam Kitab Bulughul Maram, kumpulan hadis-hadis hukum ini menunjukkan ketiadaan masalah dalam mengenakan pakaian yang masih mengandung noda sisa darah haid setelah dicuci secara sungguhan.

يقف الإنسان أمام ربه طاهر البدن فيجب عليه أن يكون كذالك طاهر الملبس إذا سقطت على ملبوساته إحدى النجاسات كالدم أن يزيل ذلك بكل ما في وسعه ممن مجهود، فإذا تعسرت عليه إزالة لون النجاسة  في الثوب فيغتفر له ذلك (ولن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه) وهذا من سماحة الإسلام وتيسير أحكامه... لا يضر بقاء ريح النجاسة أو لونها إذا تعسرت إزالة ذلك

Artinya, “Seseorang berdiri di hadapan Tuhannya dalam kondisi suci secara fisik sehingga ia juga wajib berdiri dalam kondisi suci di pakaian. Bila salah satu jenis najis seperti darah mengenai pakaiannya, maka ia wajib menyucikan najis tersebut secara sungguhan. Bila penghilangan warna najis di pakaian secara total itu sulit, maka itu dimaafkan sebagaimana hadis ‘Tidak ada seorang pun yang mempersulit agama, kecuali agama itu yang menyulitkannya.’ Ini menjadi bagian dari toleransi Islam dan kemudahan hukum Islam… Sisa bau dan sisa warna najis tidak masalah bila sulit dihilangkan,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 55).

Dari penjelasan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa pakaian yang masih tersisa noda darah haid tidak masalah digunakan untuk salat dan kepentingan ibadah lainnya yang mengharuskan kesucian pada badan, pakaian, dan tempat ibadah. Wallau A'lam.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Maret 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar