Nasib Generasi Selanjutnya Boeing 737 Max 8

 
Nasib Generasi Selanjutnya Boeing 737 Max 8

LADUNI.ID|- Washington. Ketika terjadi kecelakaan fatal pesawat terbang Boeing 737-8 (MAX) Lion Air JT-610, masih banyak pihak yang belum memperlihatkan keraguannya kepada keandalan pesawat terbang canggih produksi Boeing Company. Pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP tersebut kecelakaan hanya dalam hitungan menit setelah take off. Korban meninggal dunia mencapai 189 jiwa. 
  
KNKT merilis preliminary report hasil investigasi pada November lalu, yang menjelaskan antara lain kerusakan sejenis telah terjadi pada pesawat yang sama pada penerbangan malam sebelum terjadinya kecelakaan.Kemungkinan besar dari track record Lion Air dan ditambah lagi dengan hasil preliminary report KNKT tersebut, pihak Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA) tidak atau belum melihat masalah serius dari kecelakaan tersebut yang terkait proses manufaktur.
 Setelah kecelakaan yang lebih kurang sama (dengan korban 149 orang) terjadi pada Ethiopian Airlines Flight 302, registrasi ET-AVJ, maka mulai berkembanglah pertanyaan yang muncul tentang kecanggihan pesawat Boeing 737-8 (MAX). Pesawat Ethiopian Airlines ini juga menukik ke bawah dan crashed dan terjadi dalam hitungan menit, Maka, pertanyaan tentang kecanggihan pesawat terbang produk teknologi mutakhir dari generasi B-737 jenis produk unggulan pabrik pesawat terbang Boeing Company ini pun makin mengemuka.

Beberapa hari lalu, KNKT  Ethiopia (AAIB, Aircraft Accident Investigation Bureau Ministry of Transport, Federal Democratic Republic of Ethiopia) merilis preliminary report tentang kecelakaan B 737-8 (MAX) ET-302.  Sebelum hasil preliminary report dari AAIB Ethiopia dirilis, seluruh dunia telah dengan serta merta meng-grounded pesawat terbang Boeing dari jenis B 737 – 8 (MAX). 

Walau pada awalnya pihak Boeing masih menyampaikan kepercayaan diri yang tinggi kepada kualitas dan kehandalan produk B 737–8 (MAX), namun pada akhirnya, beberapa saat setelah Presiden Donald Trump, maka Boeing dan FAA sepakat juga meng-grounded untuk sementara jenis B 737–8 (MAX). Yang menarik adalah, setelah preliminary report investigasi AAIB Ethiopia, maka kehebohan tentang MCAS yang disebut-sebut sebagai “biang kerok” terjadinya kecelakaan fatal dua pesawat terbang sejenis yang hanya berpaut waktu beberapa bulan saja, menjadi begitu meluas.

Pasalnya adalah ternyata dari kedua kecelakaan yang terjadi, sudah sejak awal diketahui tentang kemungkinan penyebab yang sama atas accident fatal itu. Disebut sebagai adanya similarity dari penyebab kedua kecelakaan yang hanya terjadi dalam selang waktu yang singkat. Tudingan terhadap MCAS sebagai unsur “utama” penyebab kecelakaan menjadi lebih tajam, menyusul dengan apa yang disebut dalam hasil preliminary report AAIB Ethiopia. 

Dalam laporan tersebut di ketahui ternyata pilot sudah mengerjakan “instruksi” dari Boeing dalam menghadapi kerusakan yang sama yang dialami Lion Air sebelumnya dan realitanya, pesawat tetap menghunjam kebawah dan crashed. Instruksi tersebut, untuk mudahnya adalah, bila terjadi kerusakan pada system MCAS, pilot harus meng-off-kan atau meng-cut-out sistem autotrim sehingga pesawat dapat terbang normal kembali menggunakan “trim manual”. 

Pada kenyataannya, pesawat tetap tidak berhasil dikendalikan. Tertera dalam laporan awal tersebut, sebagai berikut: “The Crew performed runaway stabilizer checklist and put the stab trim cutout switch to cutout position and confirmed that the manual trim operation was not working” Sampai di sini, maka untuk sementara waktu hampir di seluruh dunia orang berkesimpulan bahwa memang kedua kecelakaan naas dari pesawat terbang B 737–8 (MAX) disebabkan oleh MCAS. 

Akan tetapi, dari rentetan kejadian B 737–8 (MAX) Lion Air dan Ethiopian Airlines (mengacu hasil preliminary report KNKT dan AAIB) maka dapat dikatakan kontributor utamanya adalah MCAS. Apabila hal ini tidak segera dapat diselesaikan dengan penjelasan yang meyakinkan oleh pihak Pabrik Pesawat, maka kepercayaan terhadap produk Boeing terutama dalam hal ini jenis B 737–8 (MAX) akan hilang. 

MCAS adalah bagian yang utuh dari disain sebuah pesawat terbang secara keseluruhan dan dapat saja kemudian diartikan bahwa kecelakaan telah terjadi sebagai akibat kesalahan manufaktur. Kesalahan yang terjadi dalam proses production line. Apabila kelak memang terbukti seperti itu, maka tuntutan ganti kerugian akan menjadi “meriah” datang dari berbagai pihak dengan pola yang dapat saja akan berbentuk unlimited liability.

Oleh karena itu, hal ini menjadi sebuah pukulan yang sangat berat yang harus ditanggung oleh Boeing dan FAA (Federal Aviation Administration), tentu saja. MCAS telah mengantar pabrik Boeing dari sebuah posisi yang sangat bergengsi di arena global sebagai pabrik pesawat terbang raksasa yang sangat kredibel dengan aneka produk yang sangat berorientasi pada keselamatan penerbangan ke pinggir jurang keraguan dan ketidak-percayaan dari para konsumennya. Investasi miliaran dollar yang telah dikeluarkan, setidaknya bagi produk B 737–8 (MAX) kini menghadapi ancaman serius. Bila ketidakpercayaan terhadap produk Boeing ke depan tidak dapat dijawab dengan memuaskan, maka tidak mustahil bila B 737–8 (MAX) akan terlihat sebagai sebuah varian yang membawa ke fase akhir dari perjalanan cemerlang puluhan tahun sebuah jenis pesawat terbang unggulan yang dikenal dengan nama Boeing – 737.

Apakah Boeing dapat bertahan menghadapi kasus MCAS ini, kiranya hanya waktu yang akan mampu untuk menjawabnya. Alur kemajuan pesat dari teknologi penerbangan dan persaingan bisnis yang menyertainya akan selalu saja membawa korban di tengah jalan. Terlihat pada khususnya bagi varian B 737 yang dikenal sebagai MAX 8 hari ini telah memakan korban 338 nyawa dari para pengguna jasa transportasi udara yang konon dikenal sebagai moda transportasi yang paling aman. Safety tidak hanya merupakan pedoman utama dari pergelutan umat manusia dalam dunia penerbangan. 

Seorang filosof Romawi kuno yang lahir 106 tahun sebelum masehi, Marcus Tullius Cicero bahkan pernah mengatakan bahwa “The safety of the people shall be the highest law".