Penjelasan Surat Al-Baqarah Ayat 256: Tidak Ada Paksaan dalam Memeluk Agama Islam

 
Penjelasan Surat Al-Baqarah Ayat 256: Tidak Ada Paksaan dalam Memeluk Agama Islam

Laduni.ID, Jakarta - Agama adalah suatu hal yang bersifat transenden, karena didalamnya terkandung nilai adiluhung yang bersifat absolut dan hanya bisa diyakini dan dirasakan oleh penganutnya. Keyakinan sesungguhnya dalam beragama lahir berdasarkan kerelaan dan keikhlasan hati setelah kita mendapatkan perjalanan spiritual atau mendapatkan pemahaman atasnya, bukan hasil dari intimidasi dan tekanan dari pihak lain.

Agama sebagai sumber kebaikan yang bersifat absolut karena bersumber dari wahyu Allah, semestinya meletakkan rambu-rambu yang dapat menuntun para penganutnya pada kebaikan. Diantara rambu tersebut yaitu keniscayaan tidak diperkenankannya tindakan pemaksaan dalam agama. Mengenai pembahasan pemaksaan dalam beragama, tidak ada ayat Al-Qur`an yang paling sering dikutip ketika bicara tentang kebebasan beragama dalam Islam selain ayat dalam QS. Al Baqarah Ayat 256.

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Bertumpu pada pengertian ayat di atas, sebagian kalangan intelektual Islam progresif yang berkesimpulan bahwa ayat ini menjadi landasan bahwa kebebasan beragama dijamin dan didukung dalam Islam. Mereka sedikit menolak bahwa dalam Islam ide atau gagasan kebebasan beragama itu dinegasikan.

Lantas bagaimana pandangan ulama tentang penjelasan ayat ini, benarkah gagasan kebebasan beragama merupakan kebebasan yang mutlak dan absolut dalam Islam ? Namun sebelum menuju penjelasan itu, mari kita simak Asbabun Nuzul dari QS. Al-Baqarah Ayat 256 ini.

 Baca Juga: Habib Ali Al-Jufri Tegaskan Islam Indonesia sebagai Islam Rasulullah di Madinah

1. Syekh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini terun berkaitan dengan seorang sahabat Anshar yang memaksa dua anaknya utntuk masuk Islam. Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan seseorang sahabat anshar bernama hushain yang memaksa dua anaknya yang beragama nasrani untuk masuk islam. Namun, mereka menolak

2. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai dan Hibban yang bersumber dari Ibnu Abbas dikemukakan bahwa sebelum ada Islam datang, ada seorang wanita yang selalu kematian anaknya. Ia berjanji kepada dirinya, apabila ia mempunyai anak dan hidup akan dijadikam Yahudi. Ketika Islam datang dan kaum Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah (karena pengkhianatannya), ternyata anak tersebut dan beberapa anak lainnya yang sudah termasuk keluarga Anshar, terdapat sama-sama kaum Yahudi. Berkatalah kaum Anshar: “jangan biarkan anak-anak kita bersama mereka”.

3. Sayyid Thanthawi dalam kitab tafsir Al-Wasith mengutip riwayat lain dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Anshar dari kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Hushain. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi SAW, "Bolehkah aku memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani"

4. Tafsir Al-Thabari menceritakan ketika kelompok Yahudi yang menyalahi perjanjian diusir dari Madinah, ada anak-anak kaum Anshar di antara mereka. Kaum Yahudi mengatakan kami tidak akan menyeru anak-anak kami untuk masuk Islam. Maka turunlah ayat di atas. Dikatakan kepada mereka: "Yang mau tinggal menetap di Madinah (artinya memeluk Islam), tinggal-lah di sini, dan yang mau pergi (gabung dengan Yahudi), pergilah!"

5. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas berkata, “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam” turun pada seorang lakilaki dari kaum Anshar dari bani Salim bin Auf yang biasa dipanggil Hushain, ia mempunyai anak yang bergama Nasrani, akan tetapi ia sendiri bergama Islam, maka ia berkata kepada Nabi SAW, “apakah aku harus memaksa mereka untuk masuk dalam agama Islam, sesungguhnya mereka menolak agama kecuali Nasrani. Maka Allah menurunkan ayat ini. (Imam As-Suyuthi, 2014: 83-84)

Baca Juga: Ulama Maroko dan Ukraina Akui Islam Nusantara sebagai Uswah Islam se-Dunia

Adapun beberapa pandanan Ulama dan tafsir terkait QS. Al-Baqarah Ayat 256

1. Ibnu Katsir

Berikut paparan Ibnu Katsir terkait dengan QS Al-Baqarah ayat 256 yang dikutip dari kitab Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsir yang ditahqiq (teliti) oleh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh yang diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M.

Allah berfirman لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ "tidak ada paksaan untuk memasuki agama" Maksudnya, janganlah kalian memaksa seseorang memeluk agama Islam. Karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti sudah sedemikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluknya. Dan barang siapa yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta'ala, dikunci mati pendengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk agama Islam Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan beberapa kaum anshar, meskipun hukumnya berlaku umum. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ada seorang wanita yang sulit mempunyai anak, berjanji kepada dirinya, jika putranya hidup, maka ia akan menjadikan Yahudi. Dan ketia Bani Nadhir diusir, dan diantara mereka terdapat anak-anak kaum Anshar, maka mereka berkata : “Kami tidak mendakwahi anak-anak kami".

Maka Allah menurunkan ayat لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ "(Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat". Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Nasa-i secara keseluruhan. Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ulama yang lainnya mengatakan : "Ayat tersebut telah dinaskh (dihapus) dengan ayat qital (perang), dan bahwasanya kita diwajibkan mengajak seluruh umat manusia memeluk agama yang lurus, yaitu Islam. Jika ada salah seorang diantara mereka menolak memeluknya dan tidak mau tunduk kepadanya, atau tidak mau membayar jizyah, maka ia harus dibunuh. Dan inilah makna pemaksaaan".

Allah berfirman "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Dan dalam hadits shohih disebutkan: "Rabbmu merasa kagum kepada kaum yang digiring ke dalam Surga dengan rantai". Maksudnya para tawanan yang dibawa ke negeri Islam, dalam keadaan diikat dan dibelenngu, setelah itu mereka masuk Islam, lalu amal perbuatan mereka dan hati mereka menjadi baik,sehingga mereka menjadi penghuni Surga.

Dan Firman-Nya "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Artinya, barang siapa yang melepaskan diri dari sekutu-sekutu (tandingan), berhala, serta apa yang diserukan oleh syaitan berupa penyembahan selain Allah, mengesakan-Nya, serta menyembah-Nya, dan bersaksi bahwa tiada ilah yang haq selain Dia. "Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus". Berarti ia telah benar-benar tegar dan teguh berjalan dijalan yang tepat lagi lurus.

Umar RA mengatakan : "Bahwa Al-Jibt itu berarti sihir dan thaghut berarti syaitan. Bahwasanya keberanian dan sikap pengecut merupakan tabiat yang melekat pada diri manusia. Orang yang berani akan memerangi orang-orang yag tidak dikenalnya, sedangkan seorang pengecut lari meninggalkan ibunya. Sesungguhnya kemuliaan seseorang adalah pada agama, kehormatan, dan akhlaknya, meskipun ia orang Persia atau rakyat jelata". Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Umar. Lalu, ia menyebutkannya. Dan makna yang diberikan Umar bahwa Thagut berarti syaitan mempunya landasan yang sangat kuat, ia mencakup segala macam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, yaitu berupa penyembahan berhala, berhukum, dan memohon bantuan kepadanya.

Sedangkan firman-Nya: “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus". Artinya, ia telah berpegang teguh kepada agama dengan sarana yang sangat kuat. Dan Allah SWT menyerupakan hal itu dengan tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Tali tersebut sangatlah kokoh, kuat, dan keras ikatannya.

Mujahid mengatakan: "Yang dimaksud dengan al-'urwatu wutsqa adalah iman". Sedangkan As-Suddi mengemukakan: "Yaitu Islam". Sedangkan Sa'id bin Jubair dan Adh-Dhahhak mengatakan "Yaitu kalimat Laa Ilaaha Illallah". Dari Anas bin Malik: "Yang dimaksud dengan al-'urwatu wutsqa adalah Al-Qur'an". Dan dari Salim bin Abi Al-Ja'ad, ia mengatakan: "yaitu cinta dan benci karena Allah". Semua ungkapan di atas benar, tidak bertentangan satu dengan yang lainnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, ia menceritakan suatu ketika aku berada di dalam mesjid, lalu datang seseorang yang terpancar kekhusyuan dari wajahnya. Kemudian orang itu mengerjakan shalat dua raka'at secara singkat. Orang-orang di masjid itu berkata: "Inilah seorang ahli Surga". Ketika orang itu keluar, aku mengikutinya hingga memasuki rumahnya. Maka akupun masuk ke rumahnya bersamanya. Selanjutnya aku ajak ia bicara, dan setelah sedikit akrab, maka akupun berkata kepadanya: "Sesungguhnya ketika engkau masuk mesjid, orang-orang berkata ini dan itu". Ia berujar: Subhanallah, tidak seharusnya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Akan aku ceritakan kepadamu mengapa aku demikian: "Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW, aku bermimpi dan mimpi itu pun aku ceritakan kepada beliau. Aku pernah bermimpi seolah-olah berada disebuah taman yang sangat hijau". Ibnu Aun mengatakan: "Orang itu menyebutkan warna hijau dan keluasan taman itu".  Di tengah-tengah taman itu terdapat tiang besi yang bagian bawahnya berada di bumi dan yang bagian atas berada di langit. Di atasnya terdapat tali. Dikatakan kepadaku: "Naiklah ke atasnya". "Aku tidak sanggup",  jawabku. Kemudian datang seorang pelayan kepadaku, Ibnu Aun mengatakan: "yaitu seorang pelayan muda, lalu ia menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata: "Naiklah"Maka aku pun menaikannya hingga aku berpegangan pada tali itu. Ia berkata "Berpegan teguhlah pada tali itu!" Setelah itu aku bangun dari tidur dan tali itu berada di tanganku. Selanjutnya aku menemui Rasulullah SAW dan kuceritakan semuanya itu kepada beliau, maka beliau bersabda: "Taman itu adalah taman Islam, dan tiang itu adalah tiang Islam, sedangkan tali itu adalah tali yang sangat kuat. Engkau akan senantiasa memeluk Islam sampai mati.

Imam Ahmad mengatakan: "Ia adalah Abdullah bin Salam". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahihain.

Namun Sayyid Thanthawi, yang semasa hidupnya pernah menjadi Grand Syekh Al-Azhar, berpendapat ayat kebebasan beragama di atas tetap berlaku dan tidak dihapus oleh ayat perang. Menurut beliau, keislaman itu tidak bisa dipaksa lewat jihad, karena selain bertabrakan dengan maksud pensyariatan jihad, juga ditegaskan bahwa berislam lewat paksaan itu tidak sah. Lagipula dalam kaidah para ulama tafsir, ayat yang masih bisa dikompromikan itu jangan buru-buru dianggap telah terjadi nasikh-mansukh. Komprominya adalah ayat kebebasan beragama dan ayat perang itu berjalan sesuai dengan konteks masing-masing.

2. Menurut Ibn Ashur dalam kitab Al-Tahir al-Tahrir wa Al-Tanwir mengatakan, ayat la ikraha fi al-din ini turun setelah terjadinya penaklukan kota Makkah, setelah orang-orang Arab berduyunduyun masuk Islam dan setelah Ka‟bah bersih dari simbol-simbol kemusyrikan. Setelah itu semua terjadi, Allah membatalkan peperangan atas dasar agama. Dengan perkataan lain, ayat lâ ikrâh fî al-dîn telah membatalkan ayat-ayat perang dalam al-Qur`an. Dengan demikian, masuknya seseorang ke dalam Islam harus didasarkan pada pilihan bebas tanpa paksaan (dun jabr wa la ikrah)". Al-Tahir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, (Tunis: Dar Suhnun li Al Nashr wa Al-Tawzi) Vol. 3, Vol. 5, h. 25-26"

3. Muhammad Abd al Mun'im al-Jamal dalam kitab Al-Tafsir Al-Faridi Al-Qur'an Al-Majid berkata bahwa la ikraha fi al-din artinya la ikrah fi dukhul al-Islam wa la yuqhar al-nas 'ala i'tinaqih (tidak ada paksaan untuk masuk Islam dan manusia tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam)". Al-Tafsir Al-Faridi Al-Qur'an Al-Majîi. (Kairo: Majma' Al-Buhuth Al-Islamiyah, 1970), h. 256"

4. Al-Sha'rawi dalam Tafsir Al-Sha'rawi mengartikan ayat la ikraha fi al-din ini dengan anna Allah lam yakrah khalqah wa huwa khaliquhum 'ala din (Allah tidak memaksa makhluk yang diciptakan-Nya untuk memeluk suatu agama). Menurut Al-Sha'rawi, alasan tidak adanya paksaan dalam Islam itu karena sudah cukup jelas perbedaan antara jalan keselamatan (thariq al-najah, al-rushd) dan jalan kebinasaan (thariq al-halak, al-ghayy). Menurut Al-Sha'rawî, seorang rasul diutus untuk menyampaikan ajaran bukan untuk memaksakan ajaran. Namun, kata Al-Sha'rawi sekiranya seseorang telah menetapkan diri untuk masuk Islam, maka yang bersangkutan terikat untuk mengamalkan ajaran Islam. Tidak bisa orang Islam dengan alasan la ikraha fi al-din tidak mengerjakan shalat. Begitu seseorang menetapkan masuk Islam, demikian Al-Sha'rawi, maka ia terikat untuk mengamalkan ajaran Islam. "Tafsir Al-Sha'rawi, (Mesir: Majma' Al-Buhuth Al-Islamiyah, 1991), Vol. 2, h. 1126-1128"

5. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah berkata, jika seseorang telah memilih satu aqidah, aqidah Islam misalnya, maka dia terikat dengan segala tuntunan-Nya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahNya. Dia terancam sanksi bila melanggarnya. Shihab menegaskan, seseorang tidak boleh berkata, "Allah telah memberi saya kebebasan untuk salat atau tidak, berzina atau nikah". Sebab, bila seseorang telah menerima aqidah Islam, maka dia harus melaksanakan tuntunannya. Dengan ini, Quraish Shihab mungkin hendak menegaskan bahwa kebebasan yang dimaksudkan dalam ayat la ikraha fi al-din itu tidak mencakup kebebasan untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan ajaran Islam bagi orang Islam. Dengan perkataan lain, begitu seseorang menetapkan dan memilih Islam sebagai agamanya, maka ia terikat dengan seluruh ketentuan dan ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. "Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 668."

Baca Juga: Antara Islam Perkotaan dan Islam Pedesaan

Dari bebrapa penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk masuk Islam. Sebab, keimanan dan keislaman yang dibangun di atas fondasi pemaksaan tidak akan berdiri kokoh sehingga mudah rapuh dan hancur. Itu sebabnya, berdasarkan Asbabun Nuzul ayat tersebut, orang tua sekalipun tidak diperbolehkan melakukan pemaksaan agar agama anak mengikuti agama orang tuanya.

Wallahu A'lam


Referensi:
1. Tafsir Ayat 'Tidak Ada Pemaksaan Memeluk Islam', NU Online
2. Pendidikan Toleransi Menurut Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 Perspektif Ibnu Katsir, Jurnal Wahana Karya Ilmiah Pascasarjana (S2) PAI Unsika Vol. 3 No.2 Juli-Desember 2019
3. Kebebasan Beragama dalam Al-Qur'an (Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 256 Menurut Ibnu Katsir, Wahbah Zuhaili dan Quraish Shihâb), Skripsi Lu`luatul Ma`muroh, Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Institul Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.