Mengkaji Hukum Politik Uang

 
Mengkaji Hukum Politik Uang
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf, populer sebuah adagium yang berbunyi, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin, melainkan menjadi petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman dan tidak kacau.

Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imamah) dilangsungkan. Al-Khulafa Ar-Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar As-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah persoalan ijtihadi, yakni olah pikir sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.

Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu yang tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.

Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman, dan sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau segelintir kelompok. Karena politik itu hanya sebagai perantara (wasilah), bukan tujuan akhir (ghayah), maka seyogyanya tak perlu dikultuskan, tak perlu dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Mekanisme one man one vote (satu orang satu suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat pemimpin berlomba-lomba meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan "instan" pun kadang ditempuh: tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money politics) agar pilihak warga jatuh pada dirinya.

Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 188, Allah SWT berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Lebih rinci lagi, dalam sebuah Hadis dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat.

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

"Dari Tsauban, dia berkata, Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan keduanya." (HR. Ahmad)

Dari keterangan ini tampak bahwa dosa politik uang (risywah) tak hanya diterima oleh para politisi, tapi juga tim sukses dan konstituen yang suaranya diperjualbelikan. 

Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama pada 2012 di Cirebon, Jawa Barat, pernah menyoroti kasus politik uang yang kian menjamur di republik ini. Melalui sejumlah referensi yang kokoh, forum Munas NU menetapkan sejumlah jawaban atas beberapa pertanyaan.

Pertama, apakah pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, termasuk kategori risywah?

Jawabannya adalah bahwa pemberian itu tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian si politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.

Kedua, sudah lazim kita dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya. Jika terbersit tujuan agar penerima memilih calon tertentu, apakah termasuk kategori risywah

Jawabannya, bahwa pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula lenyapnya keutamaan tersebut.

Ketiga, bagaimanakah hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi tidak secara lisan? 

Jawabanya adalah haram bila penerima mengetahui maksud pemberian itu adalah untuk risywah. Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya.

Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama dengan memakan harta haram.

Keempat, apakah penerima risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana ia diharamkan menerima risywah?

Apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat. Sedangkan menerima risywah tetap haram.

Tiap umat Islam memikul kewajiban untuk menyelamatkan dirinya dari mengonsumsi harta haram, baik karena substansinya haram atau cara mendapatkannya yang haram. Banyak dalil yang menunjukkan tentang ancaman bagi jasad yang kemasukan barang haram. Misalnya:

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih utama baginya.” (HR. Ahmad)

Secara logis, barang haram akan berdampak secara rohani pada kualitas perbuatan. Umumnya, tukang makan uang haram akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang haram pula. Demikianlah, maksiat itu terus bermunculan, bertumpuk-tumpuk, hingga mengantarkannya pada kerugian di kehidupan akhirat kelak. Lebih-lebih terkait dengan uang suap. Keharamannya dibarengi dengan “cap laknat” dari Allah dan Rasul-Nya. Artinya, uang suap bukan hanya menimbulkan dosa, tapi juga menjauhkan diri kita dari rahmat, kasih sayang Allah SWT. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 15 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Alif Budi Luhur

Editor: Hakim