Biografi KH. Muhammad Dahlan
- by Budi
- 14.692 Views
- Jumat, 2 Juni 2023

Daftar Isi Profil KH. Muhammad Dahlan
Kelahiran
KH. Muhammad Dahlan lahir pada 2 Juni 1909 di Desa Mandaran, Rejo, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ketiga dari lima bersaudara, dari pasangangan Abdul Hamid dan Chamsiyah.
Wafat
KH. Muhammad Dahlan wafat pada 1 Februari 1977 atau bertepatan dengan pada 14 Jumadil Ula 1327 Hijriah, dalam usia 67 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sebagai wujud dari pengakuan pemerintah atas jasa-jasanya dalam membangun bangsa Indonesia.
Pendidikan
KH. Muhammad Dahlan menimba ilmu di dua pesantren, yaitu pesantren Siwalan Panji yang berada di Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng yang berada di Jombang. Lalu beliau bersama kakak sulungnya menimba ilmu di Makkah. Beliau sangat rajin mengikuti kelompok-kelompok pengajian sebagaimana para ulama terdahulu yang mengikuti pengajian di sekitar halaman Masjidil Haram, Makkah.
Di kota suci itu ia belajar berbagai ilmu keagamaan. Tidak hanya ilmu agama saja yang dipelajarinya, di Makkah itu beliau juga belajar banyak hal tentang dunia luar, yang kelak dijadikan bekal untuk membangun negeri dan berkarya dalam NU.
Di bidang keilmuan, KH. Muhammad Dahlan terlihat menonjol dalam disiplin ilmu fikih yang ditunjang dengan koleksi kitab-kitab yang dimilikinya. Hal itu menyebabkannya bersikap sangat moderat dalam memandang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Imam madzhab. Beliau tidak kaku dengan pendapat madzhab tertentu dalam menentukan suatu hukum, sejauh pendapat itu dinilainya cukup argumentatif.
Lalu kebiasaan Kiyai Dahlan yang tidak pernah ditinggalkan semenjak menetap di Pasuruan hingga pindah ke Jakarta adalah membaca Kitab Dalailul Khairat selepas shalat Subuh hingga menjelang shalat Dhuha atau sesudah shalat Maghrib sampai shalat Isya.
Guru-guru Beliau:
Guru-guru beliau saat menuntut ilmu:
1. Syaikh Kholil Bangkalan
2. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari
3. KH. Khuzaimi
4. KH. Yasin Kebonsari
Peran di Nahdlatul Ulama (NU)
KH. Muhammad Dahlan mulai tampil di gelanggang pergerakan pada tahun 1930. Beliau merupakan tokoh yang merintis terbentuknya organisasi NU cabang Bangil, dan sekaligus menjadi ketuanya. Lima tahun kemudian beliau terpilih menjadi ketua NU cabang Pasuruan.
KH. Muhammad Dahlan adalah seorang organisator yang ulet dan mahir berargumentasi. Bintangnya makin bersinar saat ia menghadiri kongres NU XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Dalam kongres tersebut, untuk pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU.
Usul disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.
Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. KH. Muhammad Dahlan termasuk pihak yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.
Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat belum didapat. KH. Muhammad Dahlan masih terus berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk selanjutnya ditandatangani oleh KH. Hasyim Asyari dan KH. A. Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.
Bersama H. A. Aziz Dijar, KH. Muhammad Dahlan terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.
Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946. Ketua terpilih adalah Nyai Hj. Chadidjah Dahlan, asal Pasuruan, yang tak lain adalah isteri KH. Muhammad Dahlan.
Pada kongres NU XX di Surabaya tahun 1954, beliau terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama.
Karir Nasional
Kiprah KH. Muhammad Dahlan di pentas nasional berawal pada tahun 1941 dengan menjadi anggota Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya. Tahun 1945 ketika Masyumi didirikan, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai hingga tahun 1952, saat NU memisahkan diri dari Partai Masyumi. KH. Muhammad Dahlan juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tahun 1946.
Selain itu, melalui partai yang dipimpinnya,KH. Muhammad Dahlan juga duduk sebagai anggota konstituante hingga tahun 1959. Setahun kemudian, DPR-Gotong Royong dibentuk dan beliau diangkat menjadi anggotanya. Namun pengangkatan itu ditolaknya dengan alasan pembentukan lembaga tersebut tidak memberi kesempatan kepada golongan oposisi.
Melalui Keputusan Presiden nomor 171/1967 tanggal 11 Oktober 1967, Dahlan diberi kepercayaan untuk memangku jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I hingga tahin 1971. Beliau menjabat sebagai Menteri Agama pada masa pemerintahan presiden Soeharto (1967-1971).
Selama menjabat sebagai Menteri Agama ini beliau berhasil mewariskan agenda dan program-program yang sampai saat ini dilestarikan. Di antaranya adalah memelopori musyawarah antarumat beragama yang diselenggarakan pada tanggal 30 November 1967. Agenda ini dimaksud agar peristiwa-peristiwa intoleransi antaragama tidak terulang lagi.
KH. M. Dahlan yang memimpin pertemuan mengajukan pokok-pokok rencana persetujuan, yang intinya agar propaganda agama tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama, namun dilaksanakan untuk memperdalam pemahaman dan pengamalan tentang agamanya masing-masing.
Selain itu, jasa besar KH. Muhammad Dahlan bersama Prof. KH. Ibrahim Hosen adalah memprakarsai penyelenggaraan agenda Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat nasional yang untuk pertama kalinya diadakan di Ujungpandang.
Kemudian beliau bersama KH. Zaini Miftah, KH. Ali Masyhar dan Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali pada 23 Januari 1970 membentuk Yayasan Ihya Ulumuddin, dan merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), sebuah perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan seni baca dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu-ilmunya.
Lokasi Terkait Beliau
Belum ada lokasi untuk sekarang
Memuat Komentar ...