Mengupas Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pemilihan Umum

 
Mengupas Fenomena Golongan Putih (Golput) dalam Pemilihan Umum


LADUNI. ID,  KOLOM -Salah satu fenomena yang sering terjadi dalam pesta demokrasi di negeri kita ini adanya golongan putih (Golput). Menyikapi polemik golput,  salah seorang pelawak asal Amerika Serikat (AS), Kin Hubbard, pernah berkata bahwa ia ingin memilih orang terbaik untuk menjadi pemimpin, sayangnya mereka semua bukanlah kandidat yang ada saat ini.

Celoteh Hubbard ini bisa sejalan dengan kelompok yang melakukan golput, yakni kelompok atau individu yang tidak menggunakan hak pilih politiknya untuk memilih kandidat yang ada atas alasan tertentu. Karena enggan memakai haknya, kelompok golput seringkali dicap sebagai kelompok atau individu apatis, anti demokrasi, bahkan tak peduli dengan negara.

Dalam beberapa kesempatan, bahkan kata golput juga menjadi momok tersendiri bagi pemerintah atau politisi sebab mampu mempengaruhi perolehan suara kandidat yang bertanding. Tentunya dengan cara tersebut , kelompok golput ini berusaha mengembalikan kembali makna demokrasi yang sesungguhnya.

Bagaimana pula, golput juga merupakan bentuk sikap politik dan dilindungi oleh HAM.Pilihan golput juga tidak otomatis membuat suatu kelompok atau individu, tak berhak mengkritik pemerintah, sebab kontrak politik rakyat berada di konstitusi, bukan berada di kertas suara. (Jangan Remehkan Golput, pinterpolitik.com, 2018)

Kita mengetahui bersama bahwa tujuan dari pesta demokrasi dalam bingkai pemilihan pemimpin dan anggota legislatif demi lahirnya  kemashlahatan dan itu menjadi tujuan utama dan lahirnya kemashlatan tidak harus di ikuti oleh semua elemen masyarakat (setiap individu). Hal yang terpenting lahirnya “hasil maqasid (tercapai tujuan)” sebagai sebuah kewajiban. Tentu saja tanpa memandang kepada pelakunya.

Melihat fenomena ini hukum memilih pemimpin merupakan wajib, namun wajib disini bukan wajib ain, tetapi wajib kifayah sebab intinya hasil maksud. Dalam kitab Lubuul ushul di sebutkan bahwa fardhu kifayah itu  tujuan utamanya tercapai hasil akhir tanpa melihat pelakunya (kitab Lubuul Ushul: 26)

Golongan putih atau tidak memilih itu banyak faktor, tidak sembarang tidak memilih kita golongan kepada golongan putih (golput) haram hukumnya. Ada beberapa faktor lahirnya golput, dalam pandangan Andi Trinanda menyebutkan ada dua faktor lahirnya golput, pertama, golput karena subyektif problem. Problem ini merupakan faktor krusial mengapa akhirnya masyarakat menjadi golput.

Subyektif problem ini terjadi karena secara teknis, politis dan ideologis masyarakat akhirnya tidak mau memilih. Golput teknis terjadi karena pemilih terkendala secara teknis seperti keliru menandai surat suara atau tidak hadir ke TPS. Golput karena faktor politis, yaitu merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.

Sedangkan golput ideologis terjadi karena tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan adanya beberapa segolongan umat Islam yang mengharamkan demokrasi dan sekaligus mengharamkan pemilu dengan logika bahwa pemilu adalah sebagai bagian atau instrumen dari sistem demokrasi yang dibidani oleh mereka yang berfaham liberal.

Kedua, golput karena faktor obyektif problem. Kondisi ini terjadi karena pemilih tidak terdaftar dalam DPT akibat buruknya sistem administrasi kependudukan.Untuk beberapa kasus di Indonesia faktor ini terjadi karena kondisi kondisi geografis akibat jauhnya lokasi atau jarak pemilih ke TPS. (Andi Trinanda, 2014).

Sementara itu mereka yang tidak memilih dan sering diidentikkan dengan golongan putih (golput) dan berdasarkan penjelasan diatas, golput faktor objektif ini menjadi di sebabkan faktor karena ketidak sengajaaan dan ini bukan dalam kajian kita, golput yang kita maksudkan disini mereka yang mempunyai kesempatan untuk memilih atau lebih kepada subjektifnya.

 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga