Penjelasan Hadits Islam Itu Asing Dan Akan Kembali Asing

 
Penjelasan Hadits Islam Itu Asing Dan Akan Kembali Asing

Laduni.ID, Jakarta - Dalam berbagai kesempatan kita mungkin pernah mendengar sebuah hadits dari para penceramah atau dari para khatib jum'at yang menyebutkan bahwa "Islam Itu Asing Dan Akan Kembali Asing" atau dari syair nasyid yang seringkali dilantunkan dengan berjudul ghuroba’. Lafadz hadits tersebut adalah sebagai berikut:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

"Islam itu asing (sewaktu pertama kali datang) dan akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing" (HR. Muslim)

Ghuroba’ adalah jama’ dari kata Gharib yang berarti aneh ataupun asing. Hadirnya Islam sebagai risalah baru yang dibawa oleh Rasulullah SAW memberikan efek yang membuat masyarakat Jazirah Arab merasa asing dengan segala keasingan dan keanehan ajarannya.

Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan. Rasulullah Saw diutus mensyiarkan ajaran tauhid (mengesakan Allah SWT) di tengah masyarakat Jazirah Arab jahiliyah yang mayoritas menyembah berhala. Islam datang dengan ajaran-ajaran yang sebagian besarnya dianggap asing di telinga masyarakat Jazirah Arab saat itu. Keadaan asing yang dimiliki oleh Islam awal ini cocok digambarkan dengan hadits di atas.

Orang Kafir Quraisy merasa bahwa kehadiran Islam dengan ajaran asingnya merupakan ancaman bagi kejayaan bisnis agama mereka dan seluruh penduduk Arab. Itu hanya satu diantara banyak alasan mengapa Islam hadir di tengah berbagai kecamuk peperangan di Tanah Arab dan menjadi cahaya bagi kemunduran di negeri barat.

Mengenai Hadits di atas tentang Islam akan kembali asing bisa kita gambarkan bahwa suatu saat Islam akan kembali menjadi agama yang asing, agama yang bahkan penganutnya pun tidak memahami hakikat agama Islam yang sebenarnya kecuali hanya sebatas identitas. Islam tidak dijadikan sebagai petunjuk kehidupan secara utuh, sehingga akar identitas yang seharusnya memperbaiki tatanan kehidupan manusia menjadi tidak berfungsi. Oleh sebab itu, nanti di akhir zaman, hanya sedikit diantara orang-orang muslim yang memahami inti ajaran Islam yang sebenarnya secara utuh.

Baca Juga: Memahami Tentang Hadits Rayah dan Liwa'

Namun demikian, bagaimana nasib Islam ke depan ? apakah akan benar menjadi asing sebagaimana awal kedatangannya ?

Kata asing di atas bukan berarti Islam akan menghadapi fase kemunduran atau kejumudan karena kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang menjadi petunjuk dan jalan bagi setiap pemeluknya bahkan bagi setiap umat manusia dalam mengarungi hidup di dunia ini. sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah Ayat 33:

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai".

Ayat di atas menjelaskan janji Allah bahwa Islam akan menjadi agama pemenang atas kelompok lain. kata "menang" dalam ayat di atas tentu memiliki tafsir yang beragam, namun kata "menang" dalam QS. At-Taubah Ayat 33 dan kata "asing" dalam Hadits di atas sangat bertolak belakang. Karena secara logika bagaimana caranya Islam menjadi pemenang jika dalam keadaan terasing atau mana mungkin Islam menang tapi tetap terasing.

Memaknai kata "asing" di atas kita amati dalam riwayat Sahl bin Sa’d al-Sa’idi ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yang asing itu ?” Rasulullah Saw menjawab, “orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dalam riwayat Amr bin ‘Ash ketika Rasulullah Saw ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah Saw menjawab, “Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.

Ada juga pemaknaan “orang asing” yang bisa kita ambil sebagaimana riwayat Imam Baihaqi pernah mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal. Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi: “Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”.

Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi yang tidak menonjolkan diri, hidup damai, tentram, dan jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.

Baca Juga: Memahami Tanda-Tanda Kiamat dalam Hadits Rasul SAW

Namun dibalik penjelasan di atas, harus kita akui bahwa ada kelompok yang menfasirkan hadits tersebut dengan semaunya dan bagaimana kepentingan kelompoknya. Sebagaimana contoh kelompok ekstrimis dan teroris yang mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang paling benar dan menegasikan kelompok lain. Seolah menjadi pembenar bahwa meski tindakannya dikutuk mayoritas umat beragama, aksi terosisme dianggap sebagai aksi yang heroik. Tidak peduli jika ada anggapan aneh dan “asing” dari kelompok lain, karena Islam datang dalam keadaan asing dan akan berakhir dalam keadaan asing.

Pengertian tersebut yang dianggap sangat berbahaya, karena Rasulullah bersabda sebagaimana di atas bahwa orang asing adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan. Sedangkan tindakan ekstrimisme dan terorisme jelas merusak tatanan kehidupan baik dalam beragama maupun berbangsa.

Kita harus memaknai bahwa hadits tersebut sama sekali tidak memerintahkan kita untuk mengasingkan diri, menjauhkan diri dari peradaban dan kerumunan. Justru dalam menjalani kehidupan zaman sekarang kita harus bisa mengambil peran dalam masyarakat, melakukan pembinaan terhadap masyarakat, dan menjadi umat yang berjuang dalam tegaknya agama Allah (Islam) yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu "Ummatan Wasathan". Secara harfiah adalah umat yang berada di tengah, tapi, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran dalam setiap hal.

Wallahu A'lam