Indonesia Masih Darurat Hoaks

 
Indonesia Masih Darurat Hoaks

LADUNI.ID - Pada 21-22 Mei 2019 kemarin, saat berlangsung aksi demonstrasi di Jakarta terkait proses akhir penghitungan suara pemilu/pilpres 2019, banyak beredar kabar bahwa sedang terjadi peristiwa yang menegangkan di Jakarta. Ada gerakan besar massa dari sejumlah daerah menuju Jakarta, ada himbauan agar para relawan medis siap menghadapi kemugkinan banyaknya korban luka, ada polisi menembaki demonstran dengan peluru tajam, ada tokoh Islam yang marah kepada aparat keamanan, dan seterusnya. Dalam konten yang tersebar itu, masyarakat juga diimbau menahan diri dan berdoa, namun sesungguhnya imbauan ini dimaksudkan untuk membikin suasana lebih menegangkan.

Kabar beredar dalam bentuk berita/narasi atau teks bergambar, infografis dan video. Anehnya, sharing berita tentang kondisi Jakarta itu banyak berasal dari luar Jakarta. Sementara saya yang tinggal di sekitar Jakarta dan sering melewati pusat keramaian/demontrasi tersebut biasa-biasa saja.

Kabar paling tragis adalah ketika tersebar video seakan-akan ada seorang anak remaja yang dipukuli aparat secara beramai-ramai. Teknik penggarapannya sederhana. Satu video penangkapan seseorang oleh aparat, entah dimana dan kapan, kemudian ditempel gambar/foto seseorang korban anak meninggal dunia. Tidak hanya itu, pengkreasi video cukup profesional. Ia menambahkan komentar suara orang-orang yang menonton video amatir itu bahwa mereka sedang menonton seorang remaja dipukuli aparat.

Penggarapannya sangat detil dan berhasil menciptakan suasana yang diharapan. Bahkan seorang ustadz kondang, tokoh ormas, dan mantan ketua organisasi kepemudaan nasional ikut menyebar video itu sambil menyelipkan kata “biadab” dan sejenisnya serta mengutuk tindakan aparat keamanan sebagaimana dipersepsikan dalam tayangan video yang dikreasi.

Literasi digital kita masih sangat lemah, sementara kita juga masih mengalami “shock culture” terhadap perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, didukung dengan kertersedaan perangkat yang murah terjangkau dan peningkatan akses jaringan. Begitu mudahnya kita share atau berbagai teks, gambar, video lewat media sosial dan messeging system bahkan nyaris sebelum kita membaca atau menyaksikan secara utuh kontennya. Orang berpacu menyebarkan konten, agar dianggap terdepan dalam mengetahui iformasi tanpasempat engecek apakah yang dishare itu berita beneran atau hoax.

Beberapa hoaks dalam bentuk teks, gambar maupun video itu kemudian diklarifikasi oleh pihak-pihak terkait. Tapi klarifikasi ini tidak mungkin bisa menjangkau semua orang yang sudah terpapar hoaks. Belum lagi memang banyak orang-orang yang menginginkan kondisi itu benar-benar terjadi sebagaimana tergambar dalam hoaks yang terebar itu, dan mereka menyebarkan konten tersebut untuk menguatkan/membuktikan keinginan mereka.

Maka dalam kenteks di atas, kebijakan pemerintah “mematikan” beberapa bagian akses media sosial kemarin sebenarnya cukup beralasan, meskipun dianggap banyak merugikan kita yang sudah sangat bergantung dengan smartphone atau gawai di tangan kita. Nyatanya, kebijakan ini cukup berhasil meredam kerusuhan yang mungkin berlanjut secara nasional menyusul aksi 21-22 Mei kemarin.

Konon Arab Spring itu terjadi karena media sosial. Di Indonesia, Alhamdulillah, hal itu tidak jadi terjadi.

Oleh: A Khoirul Anam