Kisah Kiai Wahab Jinakkan Anjing Milik Menteri Belanda

 
Kisah Kiai Wahab Jinakkan Anjing Milik Menteri Belanda

LADUNI.ID, Jakarta - KH Wahab Chasbullah adalah Rais ‘Aam PBNU tahun 1947-1971. Beliau memang dikenal sebagai ulama yang mampu mengatasi segala masalah dengan beberapa ‘kelebihan’ yang dimiliki beliau. Bahkan, Kiai Wahab (sapaan KH Wahab Chasbullah) juga dikenal dengan pribadi pemberani (syaja’ah) dalam memperjuangkan Islam dan NU.

Suatu ketika, pada tahun 1929 sebelum kemerdekaan, Kiai Wahab pernah meminta izin untuk menyelenggarakan Muktamar NU yang ke-4 di Semarang. Muktamar di Semarang ini merupakan kali pertama kegiatan Muktamar digelar di luar kota berdirinya NU (Surabaya). Waktu itu, pemerintah Hindia Belanda di Semarang melarang dilaksanakan muktamar, karena takut akan melakukan pemberontakan.

Karena itulah, Kiai Wahab langsung mendatangi Menteri Urusan Pribumi (Adviseur voor Inlandsche Zaken) yaitu Van Der Plas untuk meminta izin, di rumah Van Der Plas di Jalan Cikini no. 12, Menteng, Batavia (kini Jakarta). Van Der Plas yang merupakan seorang orientalis tersebut memang pernah menjadi Konsul di Jeddah Saudi Arabia, yang menggantikan Snouck Hurgronje.

Konon, saat Kiai Wahab sampai di depan gerbang rumah Van Der Plas, Kiai Wahab disambut oleh seekor anjing herder besar yang menyalak-nyalak, siap menyerang. Akan tetapi herder yang biasanya galak ini, tiba-tiba jinak di depan Kiai Wahab, seakan sudah kenal sebelumnya. Padahal itu kali pertama Kiai Wahab menemui Van Der Plas. Lebih dari itu, Kyai Wahab mengelus dan menggendong anjing tersebut sebelum kemudian dibawa masuk menemui Van Der Plas.

Van Der Plas yang saat itu berada di dalam rumah, sangat gaget campur haru. Dia terharu karena anjing kesayangannya itu bisa jinak dan digendong oleh Kiai Wahab. Bahkan Kiai Wahab disambut secara istimewa dan penuh keramahan oleh Van Der Plas. Tidak ada yang menyangka, Kiai Wahab dan Van Der Plas kemudian bercengkrama layaknya sahabat lama yang baru bertemu kembali, sembari minum kopi dan rokok Eropa.

Dalam suasana seperti itu, Kiai Wahab langsung meminta izin menyelenggarakan Muktamar yang hanya membahas “diniyyah ijtimaiyah” (keagamaan). Awalnya, Van Der Plas keberatan, akan tetapi karena Kiai Wahab menunjukkan diplomasinya, akhirnya permintaan izin tersebut dipenuhi  oleh Van Der Plas. Bahkan informasi muktamar NU juga mendapat izin untuk disiarkan di Masjid Besar dan Masjid Agung di setiap kabupaten dan kota.

Tidak hanya itu, Van Der Plas bahkan juga memberian kelonggaran terkait kebijakan Belanda soal pembatasan jumlah pengajian umum yang diadakan di Mojokerto dan Lamongan dengan hanya dihadiri 50 orang. Dia juga mengijinkan permintaan Kiai Wahab bahwa yang diangkat sebagai kepala penghulu adalah ‘Allamah atau seorang yang benar-benar memiliki kealiman dan keilmuan mendalam.

Dengan ijin tersebut, Kiai Wahab telah berhasil melakukan diplomasi yang berarti untuk masa depan NU. Sebab, sejak saat itu melalui masjid-masjid besar dan masjid agung, serta pesantren yang ada di setiap kabupaten dan kota, NU kemudian dapat bekembang pesat.

(Diolah dari laman Bangkit Media)