Hukum Tempat Imam yang Lebih Tinggi dari Makmum

 
Hukum Tempat Imam yang Lebih Tinggi dari Makmum
Sumber Gambar: Foto Kafeel Ahmed / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah pada umumnya posisi (lantai) antara imam dan makmum adalah sejajar. Namun dalam beberapa tempat sering kita dapati tempat imam lebih tinggi daripada posisi makmum. Bagaimana hukumnya jika posisi imam lebih tinggi daripada posisi makmum?

Dalam pandangan madzhab Syafi'i posisi imam atau dalam istilah kita pengimaman harus setara dengan posisi makmum. Sehingga posisi imam tidak boleh lebih tinggi daripada posisi makmum atau sebaliknya. Apabila posisi imam lebih tinggi daripada makmum atau sebaliknya maka hukumnya adalah makruh.

Terdapat keterangan yang menjelaskan terkait persoalan ini salah satunya adalah hadis dari riwayat Abu Dawud dan Hakim yang terdapat dalam kitab Asnal Mathalib Syarhu Raudlatut Thalib karya Syekh Zakariya Al-Anshari sebagai berikut:

وَيُكْرَهُ أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ

"Dimakruh salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah RA pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Masud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Masud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, ‘Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim. Hakim berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Sebaliknya (makmum lebih tinggi dari imam) dikiaskan dengan hal tersebut"

Baca Juga: Hukum Shaf Shalat Perempuan Sejajar dengan Shaf Laki-laki

Hukum makruhnya posisi imam yang lebih tinggi daripada makmum atau sebaliknya juga dijelaskan oleh Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu'in sebagai berikut:

ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺍﺭﺗﻔﺎﻉ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻵﺧﺮ ﺑﻼ ﺣﺎﺟﺔ ﻭﻟﻮ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ

"Dan makruh jika posisi salah satu dari imam dan makmum lebih tinggi dari yang lain dengan tanpa ada keperluan, meski itu di dalam masjid"

Namun jika terdapat kebutuhan seperti untuk mengajarkan shalat atau agar suara takbirnya terdengar, maka hukumnya adalah sunah. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Zakariya Al-anshari dalam kitab yang sama yaitu kitab Asnal Mathalib Syarhu Raudlatut Thalib

فَإِنْ احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ أو لِغَيْرِهِ أو الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ أو لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هذا الْمَقْصُودِ

"Kemudian apabila imam butuh untuk berdiri lebih tinggi (dari makmum) karena untuk mengajari shalat atau selainnya, atau makmum lebih tinggi karena agar bisa menyampaikan takbirnya imam atau selainya, hal itu disunahkan karena untuk memenuhi tujuan tersebut"

Hal senada juga diterangkan dalam kitab Syekh Zakariya Al-Anshari yang lain yaitu kitab Fathul Wahab, bahwa makruh hukumnya posisi imam lebih tinggi daripada makmum atau sebaliknya kecuali jika ada keperluan.  

ﻭَﻛُﺮِﻩَ اﺭْﺗِﻔَﺎﻋُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺇﻣَﺎﻣِﻪِ ﻭَﻋَﻜْﺴُﻪُ " ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﻣْﻜَﻦَ ﻭُﻗُﻮﻓَﻬُﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺴْﺘَﻮٍ  ﺇﻻَّ ﻟِﺤَﺎﺟَﺔِ  ﻛَﺘَﻌْﻠِﻴﻢِ اﻹِْﻣَﺎﻡِ اﻟْﻤَﺄْﻣُﻮﻣِﻴﻦَ ﺻِﻔَﺔَ اﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﻛَﺘَﺒْﻠِﻴﻎِ اﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﺗﻜﺒﻴﺮ اﻹﻣﺎﻡ ﻓﻴﺴﻦ اﺭﺗﻔﺎﻋﻬﻤﺎ ﻟِﺬَﻟِﻚَ 

"Makruh jika posisi makmum lebih tinggi dari pada tempatnya imam, atau sebaliknya (tempat Imam lebih tinggi), jika memungkinkan keduanya berada dalam tempat yang sama. Kecuali jika ada keperluan, seperti Imam yang mengajarkan tata cara shalat kepada makmum dan makmum yang menjadi pengeras suaranya imam, maka hal tersebut dianjurkan"

Baca Juga: Posisi Imam Perempuan dalam Jamaah Shalat Perempuan

Kesunahan posisi imam daripada makmum dengan kebutuhan agar makmum bisa mengikuti shalat imam atau agar makmum yang sedang belajar tata cara shalat bisa melihat terdapat dalam sebuah hadis dari sahabat Sahl bin Sa'd dalam riwayat Imam Bukhari sebagai berikut:

وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ، ثُمَّ عَادَ، حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي

"Saya pernah melihat Rasulullah Saw mengimami di atas mimbar. Beliau takbiratul ihram dan jamaah pun ikut takbir di belakang beliau, sementara beliau di atas mimbar. Kemudian, ketika beliau i’tidal, beliau mundur ke belakang untuk turun, sehingga beliau sujud di tanah. Lalu beliau kembali lagi ke atas mimbar, hingga beliau menyelesaikan shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat, dan bersabda; ‘Wahai para sahabat, aku lakukan ini agar kalian bisa mengikutiku dan mempelajari shalatku'."

Jadi hukum posisi imam lebih atas daripada makmum atau sebaliknya adalah makruh, namun akan menjadi sunah jika hal itu dibutuhkan dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas. Lalu bagaimana yang dimaksud batas ketinggian tersebut sehingga menjadikan hukum makruh?

Sayyid Al-Bakr Muhammad Syatha Ad-Dimyati dalam I'anatuth Thalibin menjelaskan bahwa batas tinggi dalam konteks di atas adalah yang terlihat mata meskipun hanya sedikit dan 'urf menganggapnya tinggi.

وَقَوْلُهُ: (اِرْتِفَاعُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ) أَيْ اِرْتِفَاعًا يَظْهَرُ حِسًّا، وَإِنْ قَلَّ، حَيْثُ عَدَّهُ الْعُرْفُ اِرْتِفَاعًا

"Perkataannya (tingginya tempat salah satu dari keduanya di atas yang lain), maksudnya adalah ketinggian yang kasat mata dimana urf menganggapnya tinggi meskipun sedikit"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 02 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Kitab Asnal Mathalib Syarhu Raudlatut Thalib
2. Kitab Fathul Mu'in
3. Kitab Fathul Wahab
4. Kitab I'anatuth Thalibin