Larangan Cadar dan Celana Cingkrang dalam Perspektif Fiqih

 
Larangan Cadar dan Celana Cingkrang dalam Perspektif Fiqih

LADUNI.ID, Jakarta - Sebagai pemilik hak prerogatif dalam penyusunan Kabinet Indonesia Maju Jokowi memang tidak ada salahnya menunjuk purnawirawan jenderal sebagai menteri Agama. Apalagi hal itu terkait dengan prioritas presiden dalam memberantas maraknya radikalisme. 

Dan memang sejak awal pemanggilannya oleh Presiden Jokowi, Fahrul Rozi diamanati untuk memerangi radikalisme melalui meja Kemenag. Sebagai perwira tinggi TNI non aktif Fahrul Rozi tentu paham betul dengan tugas khususnya sebagai Menag disamping tugas-tugas pokoknya. Sehingga tidak mengherankan jika pada awal masa jabatannya di Kemenag sudah mengeluarkan jurus maut yang mengusik kelompok tertentu yang secara umum dikaitkan dengan gerakan radikal Islam.

Pernyataannya cukup kontroversial, dan mengundang polemik banyak kalangan. Dengan style seorang birokrat militer sang menteri siap mengeluarkan aturan larangan pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi aparatur sipil negara (ASN). Sontak pernyataan menteri Agama tersebut mengundang reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak terutama dari kelompok islam konservatif.

*Ranah fiqih*

Larangan pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi ASN perlu didalami dalam kerangka fiqih (hukum). Sehingga kebijakan Menag lebih tepat sasaran dan tujuan. Beberapa pendapat ulama salaf dalam berbagai kitab klasik cukup jelas menerangkan hal tersebut meskipun terdapat variasi.

Dari situ ulama fiqih Nusantara masa lalu sangat bijak dalam penerapan dengan mengambil substansi perintah berpakaian yang menutup aurat dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya lokal. 

Asumsi menteri Agama bahwa cadar dan celana cingkrang itu identik dan simbol identitas islam radikal dipandang tidak valid oleh para pengritiknya. Karena kedua hal tersebut juga memiliki landasan memadai dalam hukum Islam. Sehingga dikhawatirkan banyak pemakai cadar dan juga celana cingkrang dari golongan islam moderat.

Berangkat dari situ kesimpulan akhir para penentang kebijakan Menag tersebut menganggap tidak efektif untuk memerangi radikalisme. Alih-alih mengurangi radikalisme di lingkungan birokrasi malah bisa sebaliknya suasana gerah yang didapat.

Niqab (cadar) ada yang nge-pop juga. Sehingga cadar agak sulit dinisbatkan sebagai simbol dan identitas spesifik kaum radikal (takfiri). Demikian pula dengan celana cingkrang. Banyak saya temukan kawan-kawan saya di ponpes NU mengenakan sarung atau celana cingkrang karena alasan agar tidak kena najis.

Jadi dalam berpakaian umat muslim dan muslimah lebih besar dimensi hukumnya dibandingkan motivasi estetis ataupun alasan medis. Dengan begitu pemerintah sebaiknya juga mengambil pijakan hukum (fiqih) melarang cadar dan celana cingkrang selain tinjauan perkembangan sosial keagamaan masyarakat.

*Peluang pemerintah*

Pemerintah pada dasarnya mempunyai peluang untuk menerapkan larangan celana cingkrang dan cadar dg pendekatan fiqih melalui pijakan kaidah ushul fiqih: amrul imam yarfa'ul khilaf (perintah pemimpin menghilangkan silang pendapat).

Artinya larangan pemimpin itu tetap sah dilihat dari hukum fiqih walaupun tidak fundamental menyelesaikan masalah radikalisme. Sehingga dengan begitu tetap harus ditaati oleh pihak yang menjadi target aturan tersebut.
Bicara efektivitas pada tujuan besarnya tentu saja tergantung beberapa faktor. Diantaranya volume reaksi masyarakat baik internal maupun eksternal. Jika perlawanan berlangsung sengit dan dalam waktu lama maka ada baiknya Menag meninjau kembali niatnya untuk menerapkan aturan tersebut.

Selain itu pemerintah, dalam hal ini kemenag juga ditakar kemampuannya dalam membangun narasi moderat dan diwujudkan dalam praktik di jajaran birokrasinya yang mencerminkan nilai-nilai kemoderatan. Tidak produktif jika terlalu menonjolkan kekuasaan komando yang berkesan tangan besi sehingga berpotensi menimbulkan luka psikologis dari generasi ke generasi dari pihak yang terstigmatisasi oleh kebijakan dimaksud.

Perlu juga kemenag menyampaikan bahwa aturan itu bersifat khusus dan temporer. Sebagai mana fatwa ulama NU masa pergerakan kemerdekaan yang melarang umat Islam mengenakan jas dan dasi yang menyamai pakaian resmi kaum penjajah. Larangan dari para kyai NU tersebut mengambil dasar hadis nabi waman tasyabaha biqoumin fahuwa minhum (siapa yang meniru suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut)

Tetapi apakah fatwa tersebut berlaku setelah keadaan berubah? Ternyata tidak. Setelah kemerdekaan dan stabilitas diraih maka larangan itu tidak berlaku lagi.

Jadi sekali lagi faktor terpenting dalam menjalankan kebijakan Menag ini adalah konsistensi dan pemahaman mendalam akan substansi cadar dan celana cingkrang secara hukum (fiqih), sosial maupun politik. Sehingga publik secara luas sanggup mengerti serta mampu melihat kebijakan tersebut pada porsi dan posisi yang tepat.*

Penulis Eko S. Nurcahyadi