Kisah Kiai Napo Omben dan Al-Qur’an Se Jimat

 
Kisah Kiai Napo Omben dan Al-Qur’an Se Jimat

LADUNI.ID, Sampang - Nama besar Kiai Aji Gunung Sampang, terkait erat dengan tiga santri pamungkasnya. Yaitu Kiai Agung Raba (Pademawu, Pamekasan), Kiai Abdul Allam (Prajjan, Sampang), dan Kiai Abdul Jabbar, atau yang dikenal dengan sebutan Kiai Napo atau Buju’ Napo (Omben, Sampang).

Kedua tokoh yang disebut pertama sudah pernah diulas oleh Mata Madura. Tinggal tersisa satu dari trio santri agung itu: Kiai Napo

Sebutan Napo yang melekat pada tokoh besar ini menandakan tempat atau nama lokasi kediamannya. Suatu hal yang lazim pada pribadi tokoh-tokoh besar di Madura, bahkan tak terkecuali di belahan bumi manapun. Napo konon berasal dari kata Tanapo, yang kemudian disingkat Napo. Kata ini memiliki sebuah riwayat yang melegenda hingga saat ini.

Dalam sebuah catatan di situs sejarahbujuknapo.blogspot.co.id yang diposkan oleh Abdul Basid Baihaqi, asal-usul penyebutan Tanapo atau Napo ini bermula saat Kiai Aji Gunung menyuruh Kiai Abdul Jabbar bermukim di sebuah tempat jatuhnya batu yang dilempar sang guru.

Kiai Aji Gunung memang dikisahkan melempar sebuah batu dari tempat kediamannya ke arah timur daya. Batu itu lantas mengenai sebuah pohon. Akibat terkena lemparan batu Aji Gunung, pohon tersebut hancur, kering, dan kemudian lapuk. Masyarakat setempat lantas menyebut hal itu dengan kata tanapo, sebuah kata bahasa Madura dialek setempat.

Dalam perkembangan lebih lanjut, Tanapo atau Napo menjadi sebuah lokasi pemukiman padat penduduk, atau desa. Desa ini dulu merupakan tanah mardikan (perdikan) atau daerah yang dibebaskan dari pajak negara (keraton).

Hal itu disebabkan pengaruh Kiai Abdul Jabbar atau Kiai Napo. Kiai Napo disebut dekat dengan penguasa Madura Barat, yang kala itu dijabat Panembahan Cakraningrat ke-II. Sang Nata sangat menghormati sang Kiai karena ketinggian ilmunya.

Dalam sebuah riwayat, Kiai Napo disebut berjasa pada Cakraningrat ke-II saat ditawan di hutan Ledoyo, Kediri oleh Pangeran Trunojoyo alias Panembahan Maduratno. Konon, Kiai Napo dengan karomahnya mampu dalam sekejap melakukan perjalanan singkat Madura-Ledoyo. Panembahan berhasil lolos. Atas jasanya itu Desa Napo ditetapkan sebagai desa mardikan.

Dalam situs yang disebut di muka, Kiai Abdul Jabbar disebut sebagai kalebun (kepala desa) pertama desa Napo. Secara berturut-turut, Kiai Abdul Jabbar digantikan Kiai Keddi ( Buju’ Raja Tapa) putranya, lalu Kiai Tonjung, Kiai Raksa Jaya, Kiai Ahmad, Kiai Subun, Kiai Tirta, kemudian Kiai Bunduk.

***

Sepeninggal Kiai Bunduk, keturunan Kiai Abdul Jabbar, desa Napo terbagi menjadi dua; desa Napo Lao’ dan desa Napo Daya. Kedua desa tersebut saat ini masuk wilayah kecamatan Omben. Sekira 10 kilometer dari titik kota Sampang. Sementara lokasi pasarean Kiai Abdul Jabbar berada di desa Napo Lao’. Sekira setengah kilometer ke arah barat dari jalan raya Omben.

“Di sana berkumpul asta Buju’ Jabbar atau buju’ Napo dan putranya yang bernama Buju’ Raja Tapa. Disamping juga makam para keturunannya,” kata Bindara Sudi, salah satu warga Sampang kepada Mata Madura.

Area pemakaman atau lokasi pasarean Kiai Napo cukup luas dan masih terawat. Di sebelah utara pasarean banyak terdapat peninggalan Kiai Napo. Di antaranya sumber mata air, rumah kuna, batu peninggalan Kiai Napo, dan lain-lain.

Bersumber pada sampangkabmuseumjatim.wordpress.com, peninggalan dari Kiai Napo berupa sebuah biji mangga (Pellok, bahasa Madura), batu hitam (karena setiap hari terkena sinar matahari, sekarang batu itu berwarna keputih-putihan, batu ini pernah terbang menjadi kendaraan Buyut Napo).

Kemudian dua buah pecut yang bernama Se Kelap, dan Se Bentar Alam. Juga lima buah tombak: Si Nogososro, Si Mendolo, Si Drajan, Si Omben, dan Si Buntut

Asal-Usul

Kiai Abdul Jabbar berdasar keterangan Bindara Sudi berasal dari keluarga Giri Kedaton. Begitu juga seperti yang disebut oleh keturunan langsung beliau seperti yang tertulis di sejarahbujuknapo.blogspot.co.id.

Keduanya menyebut garis silsilah Kiai Napo ke Giri melalui Pangeran Khathib Mantu atau Teb Manto. Lengkapnya begini, Sunan Giri berputra Ratu Ibu Air Mata / Sarifah Ambami Bangkalan, berputra Sunan Penambahan, berputra Pangeran Mas, berputra Pangeran Mas Panceng, berputra Pangeran Hotib Mantu, berputra Buju’ Samsul Arifin Sogian, berputra Buju’ Ahmad Kholili Sogian, berputra Buju’ Raden Abdul Jabbar alias Buju’ Napo.

Namun jika dilihat, catatan nasab yang ada pada keturunannya perlu dikaji ulang. Karena jelas bertentangan dengan catatan yang sudah masyhur. Ratu Ibu Syarifah Ambami bukanlah putri Sunan Giri.

Berdasar catatan silsilah Arosbaya atau dinasti Cakraningrat di Madura Barat, Ratu Ibu binti Pangeran Ronggo (Nepa) bin Pangeran Mas Peganten bin Pangeran Waringin Pitu. Waringin Pitu adalah putra Nyai Ageng Sawo, putri Sunan Giri.

“Ratu Ibu ini adalah permasuri Pangeran Cakraningrat ke-I. Dalam catatan silsilah tidak ada nama Sunan Penambahan dalam daftar putra-putrinya. Pangeran Khathib Mantu bahkan disebut keturunan Ratu Ibu. Padahal masanya jauh sebelum Ratu Ibu. Karena Khathib Mantu ini kan menantunya Panembahan Lemah Duwur, kakek Cakraningrat I, alias kakek mertuanya Ratu Ibu Syarifah Ambami,” kata R. P. M. Mangkoeadiningrat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep pada majalah ini.

Menurut catatan Bindara Nurkholish, asal Bangkalan, Kiai Napo disebut putra Pangeran Khathib Mantu. Jadi jika diurut, Kiai Napo bin Khathib Mantu bin Sunan Kulon bin Sunan Giri. “Begitu di catatan yang saya punya,” ucapnya. Wa Allahu a’lam

Kisah Al-Quran Se Jimat

Kiai Abdul Jabbar selain dikenal dengan sebutan Buju’ Napo, juga memiliki julukan Buju’ Jimat. Julukan itu didapat setelah beliau melaksanakan dawuh sang guru, Kiai Aji Gunung. Dawuh itu berupa perintah untuk mengambil kitab suci al-Quran di tanah Makkah dalam waktu kurang dari setengah hari. Konon, ada riwayat yang mengatakan beliau menaiki sebuah batu yang kini masih tersimpan di desa Napo Lao’.

“Banyak kisah mengenai karomah ini. Termasuk versi riwayat yang berbeda,” kata Bindara Sudi.

Nah, setelah berhasil membawa al-Quran yang dikenal dengan nama Se Jimat itu, Kiai Abdul Jabbar disuruh meninggalkan pesantren oleh Kiai Aji Gunung. Beliau diperintah untuk bermukim di suatu tempat dengan mengikuti arah jatuhnya batu yang dilempar sang guru. Dan selanjutnya yang terjadi seperti yang telah diurai di atas.

(RM Farhan)