Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

 
Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

LADUNI.ID, Jakarta - Sambil memijiti Mbah Ma’shum (Kiai Ma’shum Lasem), sang santri melepaskan pandangannya ke berbagai sudut kamar. Lama dia memandangi apa saja yang nampak di matanya. Dibiarkannya Mbah Ma’shum tidur dalam pijitannya.

Sampai pada satu kesimpulan, yang hanya bisa diungkapkannya dalam hati; jika memang Mbah Ma’shum kiai besar, kenapa tidak ada kitab-kitab yang berjilid-jilid di ndalem atau di kamarnya? Kenapa juga Mbah Ma’shum tidak pernah atau tidak sering terlihat pakai serban yang melilit-lilit kepalanya? Bahkan, kenapa pula Mbah Ma’shum tidak pernah terlihat berdzikir dalam waktu yang lama…..

Tapi, itu ungkapan atau pertanyaan yang hanya ada di dalam hati sang santri. Walau sudah tahun ketiga khidmah kepada Mbah Ma’shum, dia menyadari, sang santri tidak patut mempertanyakan hal itu kepada Sang Kiai. Bahkan sekalipun di dalam hati.

Saat benak dan pikiran sang santri masih kemana-mana, Mbah Ma’shum menggeliat dan langsung memberikan dawuh;

“Ri…, semua kitab-kitabku itu dibawa Ali (Ali Ma’shum Krapyak, Yogja). Jadi kiai itu tidak harus pakai serban, juga tidak harus berdzikir lama. Saya punya toriqoh tersendiri, yaitu hubbul fuqoro’ wal masàkìn…..”. Dan dawuh-dawuh seterusnya….

Sang Santri pun terperanjat sebab ungkapan hatinya dijawab langsung oleh beliau. Walaupun sudah 3 tahun tinggal di Al-Hidayat Lasem, Sang Santri belum mengetahui konsep Al-‘Arif Billàh. Konsep itu, seperti yang sang santri ceritakan kepada saya 10 tahun lalu, dipelajari setelah momen itu dan momen memijit selanjutnya selama 4 tahun–total sang santri khidmah dan tinggal selama 7 tahun.

Selama di Al-Hidayat Lasem itu sang santri bertemu dan bersahabat dengan abah saya, 50 tahun lalu. Selepas dari Pondok Pesantren Al-Hidayat Lasem, abah saya lanjut mondok di Pasuruan. Dan di kemudian hari mendirikan Pondok Pesantren Al Hamidiyyah di Lasem (sebab tabarrukan dengan Kiai Hamid Pasuruan). Sedangkan sang santri tadi mendirikan Pondok Pesantren Al-Hidayat di desa Gerning, Kec Tegineneng, (nama diambil sebagai Tabarrukan Mbah Ma’shum Lasem) di Pesawaran, Lampung.

KH. Abrori Akwan, nama santri itu, mengabdikan diri kepada umat hingga wafat. Kini pesantren itu dilanjutkan oleh putranya, KH. Ma’shum Abrori bersaudara.

Semua sudah tiada.

لهم الفاتحة….

اللهم ارزقنا فهم النبيين و حفظ المرسلين و الهام الملائكة المقربين برحمتك يا ارحم الراحمين. آمين.


(Oleh KH. M. Lutfi Thomafi, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyyah Lasem. Sumber: Bangkit Media)