Hukum Jabat Tangan Sambil Merangkul

 
Hukum Jabat Tangan Sambil Merangkul

LADUNI.ID, Jakarta - Akhir-akhir ini berjabat tangan dengan cara sambil merangkul, bahkan beradu pipi antara laki-laki dengan laki-laki sudah tidak mengherankan lagi. Di tahun 70-an ke sana, pemandangan ini masih agak asing, karena masyarakat Jawa umumnya tidak banyak menerima informasi kebiasaan masyarakat Arab ini.

Berkat kemajuan teknologi, dan masuknya televisi di setiap rumah, akhirnya masyarakat Indonesia sering melihat tayangan jabat tangan dengan rangkul-merangkul sudah menjadi pemandangan biasa. Hanya saja yang kita sayangkan adegan yang mestinya dilakukan dengan orang sejenis, sekarang malah keblabasan jabatan itu dilaksanakan sambil berpelukan, dilakukan dengan lain jenis. Ini jelas menyimpang dari norma agama, dan mereka menjiplak budaya Barat.

Dulu, para kiyai, para alim ulama, sering berjabat tangan dengan saling merangkul. Kemudian para santri sering mengikuti ketika bertemu dengan kawan akrabnya. Dan sekarang sudah biasa masyarakat kita melakukan hal itu terutama saat melepas dan menjemput jamaah haji. Yang belum pernah melakukan pun mereka ikut-ikut mencoba berjabat tangan dengan cara merangkul, meskipun di hatinya timbul rasa ragu, meskipun mimiknya tampak lucu, agak malu-malu, dan kadang-kadang keliru, sebab yang terjadi – beradu dagu-.

Berjabat dengan cara adu dada dan merangkul ini, berdasar hadis-hadis Rasulullah saw, yang pertama:

وفى الأوسط فى الطبراني من حديث أنس : كانوا إذا تلاقوا تصافحوا  وإذا قدموا من سفر تعـانقوا .

Di dalam kitab “al-Ausath” karangan imam at-Thabarany, hadis dari Anas r.a, ia mengatakan: “Para sahabat Nabi bila bertemu mereka saling berjabat tangan, dan jika mereka datang dari bepergian mereka saling merangkul”. *)1

Yang kedua:

ويندب تقبـيل قادم من سفر ومعـانقـته .

Disunnahkan mengecup orang datang dari bepergian dan merangkulnya.*)2

Yang ketiga:

وأما التقبـيل بالشهوة فحرام بالإتفـاق وسواء فى ذلك الوالد وغيره بل النظر إليه بالشهوة حرام اتفــاقا على القريب والأجنبي .

Adapun mengecup jika dilakukan dengan syahwat (birahi) maka hukumnya haram, demikian kesepakatan pendapat para ulama. Meskipun dilakukan oleh orangtua sendiri atau lainnya. Bahkan memandang pun kepada orang yang datang, jika dilakukan dengan syahwat, juga disepakati haram hukumnya, walaupun kerabat sendiri atau orang lain – sama saja.*)3

Catatan kaki:

  • *)1 Tanwiru al-Qulub (199). Fathu al-Bary, J.XIII/299
  • *)2 Hamisy Fathi al-Wahab, J.II/243
  • *)3 I’anatu al-Thalibin, J.IV/192

*) Oleh KH. Munawir Abdul Fatah, Mustasyar PWNU DI