Lokalitas dan Nilai Pesantren di Era Digital

 
Lokalitas dan Nilai Pesantren di Era Digital

LADUNI.ID, Jakarta - Menjauhnya masyarakat dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena memang, seringkali orang mengalami kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai) lokalitas. Lokalitas sering dipahami sekadar sebagai hal yang bersifat “kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat progresif.

Dalam persepektif ‘pembangunanisme’ (developmentalism) pun, spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit lokal juga diakui ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi “budaya baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan lokal inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia yang bijak menyikapi kehidupan.

Dalam keterkaitan ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan institusi yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Manajemen pendidikan full day school yang ada di dalam pesantren banyak diilhami oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Tentunya ini tidak lepas dari nilai pendidikan lokal yang menjadi warisan para pendahulu, seperti nilai yang terkandung dalam sistem pembelajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif), yang di dalamnya memuat nilai ashlah yang pada akhirnya akan membentuk mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga memiliki nilai-nilai universal keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, ikhlas dan sebagainya.

Nilai-nilai pendidikan pesantren semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), setidaknya dapat diaktualisasikan pada era digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan pesantren ternyata masih memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal, walaupun pada sistem pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.

Jargon ‘menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik’ yang diterapkan di berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika dihadapkan pada persoalan zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni merupakan spirit di mana warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah masih tetap dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan “paham baru” yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak menyikapi perubahan sebagai konsekuensinya.

Era digitalisasi sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan bertentangan atau bahkan “dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada orientasinya akan mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi dianggap akan memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan (pesantren) yang mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di sisi lain, dengan spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal, berupa tidak terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti yang terjadi di pesantren modern, misalnya.

Jika tidak ada upaya pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada gilirannya akan menciptakan konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri.


*) Artikel dikutip dari laman Masasastra