Meneladani Kesabaran Kiai Hamid Pasuruan dalam Membina Keluarga Bahagia

 
Meneladani Kesabaran Kiai Hamid Pasuruan dalam Membina Keluarga Bahagia

LADUNI.ID, Jakarta - Di balik nama besar seorang Kiai Hamid Pasuruan, tersimpan kisah perjuangannya yang luar biasa. Salah satunya adalah perjuangan Kiai Hamid dalam membina keluarganya.

Saat menikah, Kiai Hamid berusia 22 tahun. Beliau menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu dengan Nyai Hj. Nafisah binti KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq Jember. KH Muhammad Shiddiq Jember atau yang terkenal dengan panggilan Mbah Shiddiq merupakan kakek dari Kyai Hamid Pasuruan, disebabkan karena ibu kandung Kyai Hamid sendiri merupakan putri dari Mbah Shiddiq. Makam Mbah Shiddiq berada di Kota Jember.

Kyai Hamid dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata Kiai ldris (putra Kiai Hamid), pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama istrinya juga diuji. Menurut adik istrinya yang bernama Kiai Hasan Abdillah, Nyai Nafisah yang dikawinkan orangtuanya itu selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur) dengan Kiai Hamid. Namun Kiai Hamid menghadapinya dengan sangat sabar. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung duka di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nyai Nafisah yang begitu sangat sedih, sehingga Kyai Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara.

Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat pilu setelah bayinya yang kedua yaitu Zainab juga meninggal dunia, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain.

Kiai Hasan Abdillah, adik dari istri Kiai Hamid, juga  menuturkan, bahwa seperti layaknya keluarga pada umumnya, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tetapi tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetahuinya.

“Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya),” katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, ia tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari.

Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong di situ beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.

Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah.

Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah Nafisah, menantunya. Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.

(Mukhlisin)