Biografi KH. Munasir Ali, Ulama Berpangkat Komandan Batalyon 39 TNI AD

 
Biografi KH. Munasir Ali, Ulama Berpangkat Komandan Batalyon 39 TNI AD
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Kiprah di Nahdlatul Ulama
3.2  Melawan Penjajah
3.3  Terjun ke Politik
3.4  Mendirikan Pendidikan Formal

4.    Chart Silsilah Sanad

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Munasir Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1919 M. di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Beliau merupakan putra Lurah di Desa Modopuro Haji Ali dengan Ibu Hasanah.

Ayah beliau merupakan orang yang terpandang di Mojosari. Selain kedudukannya sebagai Lurah, beliau juga memiliki daya linuweh sehingga banyak orang yang tunduk atas kewibawaannya. Selain itu, Haji Ali itu juga memiliki kekayaan yang berlimpah.

Dari kekayaannya tersebut membuat anak-anaknya diberi bagian dari kekayaannya dengan bagian sawah juga rumah-rumah yang bagus pada waktu itu. Habibullah mengenang, zaman dulu, di daerah Modopuro hanya beberapa rumah saja yang bagus. Itu pun milik Haji Ali dan anak-anaknya.

Meskipun demikian, yang berbeda dari sosok Kyai Munasir kecil, beliau tidak pernah membanggakan kekayaan ayahnya. Kyai Munasir kecil jarang tidur di rumahnya. Beliau sering bermain di Pekukuhan.

1.2 Keluarga
KH. Munasir menikah dengan Nyai Muslichah putri KH. Dahlan Syafii. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai 14 orang anak, 23 cucu dan 3 orang cicit. Putra pertamanya, Rozy Munir pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Pemberdayaan BUMN.

1.3 Wafat
KH. Munasir wafat tepat saat usianya memasuki 83 tahun. Beliau meninggal pada hari Jum'at, 11 Januari 2002 pukul 23:15. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Pekukuhan Mojosari, Mojokerto.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
KH. Munasir memulai pendidikannya di sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yakni lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1933 M. beliau menamatkannya. Dan kemudian beliau punya keinginan kuat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).

Namun orang tuanya tidak mengizinkannya. Haji Ali menyarankan putranya untuk pergi melanjutkan ke Pondok Pesantren.

Pesantren pertama yang disinggahi oleh Kyai Munasir Ali adalah Pesantren Al-Islah Trowulan Mojokerto, dibawah asuhan KH. Dimyati. Kyai Munasir Ali belajar dasar-dasar ilmu agama Islam di pesantren ini. Namun di pesantren ini, Kyai Munasir Ali tidak bertahan lama. Beliau kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Tebuireng.

Di Pesantren Tebuireng ini, selain mengaji, Kyai Munasir Ali juga melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Salafiyah yang juga milik Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Di Pesantren ini pula, Kyai Munasir Ali menjadi kader sekolah pemikiran yang dirancang oleh KH. Wahid Hasyim.

Dan Kyai Munasir Ali memperoleh keberkahan ilmu dengan masuknya berbagai asupan pengetahuan ilmu yang berlimpah di PP. Tebuireng ini. Bahkan Kyai Munasir Ali karena kecerdasannya, oleh KH Wahid Hasyim, direkrut menjadi kader inti yang tergabung dalam Madrasah Nidzomiyah. Kyai Munasir Ali diperkenalkan berbagai pemikiran sosial politik dan keorganisasian NU, yang kemudian membentuk pola piker dan daya juangnya kelak.

Kyai Munasir Ali kemudian melanjutkan pengembaraan keilmuannya lagi ke Pondok Pesantren Kasingan Rembang, Jawa Tengah. Kyai Munasir Ali juga singgah menimba ilmu ke Pondok Pesantren Jemsaren Solo. Lalu berlanjut lagi ke Pondok Pesantren Watu Congol Muntilan. Waktu menimba ilmu di pesantren Kasingan Rembang ini, Kyai Munasir Ali seangkatan dengan KH. Abdul Kholiq Hasyim dari Tebuireng dan KH. Makhrus Ali dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Ada kisah menarik saat kepulangannya dari mondoknya di Watu Congol Mantilan. Suatu saat beliau pernah melakukan suatu kesalahan yang berakibat marahnya Mbah Dalhar. Beliau bersama dengan teman temannya liwetan. Lauknya diambilkan dari mencuri Ikan milik Mbah DalharMbah Dalhar marah. Dan menyuruh pulang Kyai Munasir Ali. Walaupun beliay sudah meminta maaf berkali kali tetapi Mbah Dalhar tetap bersikukuh, Kyai Munasir Ali harus dipulangkan.

Akhirnya Kyai Munasir Ali pulang ke Modopuro. Selang sehari setelah Kyai Munasir tinggal dirumah, H. Ali, abahnya, meninggal dunia. Kejadian diusirnya Kyai Munasir Ali oleh Mbah Dalhar, sesungguhnya karena kewalian Mbah Dalhar. Mbah Dalhar mengetahui kalau ayah Kyai Munasir Ali akan meninggal dunia. Karenanya Mbah Dalhar mengusir Kyai Munasir Ali, agar beliau bisa berbakti kepada ayahnya diakhir hidupnya.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Dimyathi,
  2. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari,
  3. KH. Wahid Hasyim,
  4. KH. Dalhar Watucongol,

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Kiprah di Nahdlatul Ulama
Setelah pulang kampung, tepatnya pada tahun 1939 M, Kyai Munasir Ali ikut beraktifitas mengamalkan ilmunya dengan beraktivitas ditengah masyarakat. beliau tercatat pernah menjadi anggota Persatuan Petani NU. beliau juga bergabung dalam organisasi Ansor Mojokerto yang dibentuk pada tahun 1938 M. oleh teman sepondoknya di PP. Tebuireng yakni KH. Achyat Halimi.

Di Ansor inilah dunia aktivisnya ditempa. beliau mendampingi masyarakat dikala masa-masa sulit dijajah Jepang. Juga menjadi saksi beragam gelombang peristiwa yang dialami sebelum dan pasca kemerdekaan.

Di struktual Nahdlatul Ulama, KH. Munasir Ali pernah menjabat sebagai:

  1. Komisaris Partai NU daerah Karesidenan Surabaya (1956 M),
  2. Menjadi Wakil Ketua PB Pertanian NU (1958-1979 M),
  3. Menjadi Sekjen PBNU, sekaligus juga menjadi Ketua Musytahsyar (1984 M),
  4. Menjabat sebagai Rois Syuriah PBNU (1989 M).

3.2 Melawan Penjajah
Menjelang kedatangan Jepang, Kyai Munasir Ali turut melakukan razia kepada orang orang Belanda dan ikut pula berusaha mengambil senjata senjata untuk perjuangan. Kyai Munasir Ali juga pada saat KH. Hasyim Asy'ari dipenjara di Purwotengah, ikut melakukan demonstrasi agar gurunya tersebut dibebaskan. Kyai Munasir Ali pula yang turut mengambil alih gedung Tentara Jepang yang terletak di Timur Alun Alun. Beliau juga turut melakukan mobilisasi massa para pemuda untuk berjuang jihad ke Surabaya.

Karena keberanian dan ketangguhan dalam perjuangan, maka ketika Laskar Hizbullah Mojokerto dibentuk, Kyai Munasir Ali ditunjuk menjadi Wakil Ketua Laskar Hizbullah Mojokerto. Bahkan Kyai Munasir Ali juga menjadi staf Dewan Perjuangan Daerah Suarabaya (DPDS) yang kemudian membentuk Tentara Rakyat Djelata yang berjumlah 2000 orang.

Kyai Munasir Ali menjadi sangat dibutuhkan dan menjadi orang yang sangat penting bersama-sama Hizbullah Mojokerto lainnya, saat Surabaya telah dikuasai tentara sekutu. Lembaga pemerintahan serta badan badan perjuangan pindah ke Mojokerto berikut dengan warga Surabaya. Sebagai tuan rumah, Hizbullah Mojokerto sangat sibuk menata tempat dan dapur umum untuk keperluan para pengungsi.

Perang terus berkecamuk. Tanpa diduga, Belanda terus merangsek. Bahkan pada tanggal 17 Maret 1947 M. Belanda menyerbu Kota Mojokerto melalui belakang dengan siasat licik penuh tipu muslihat. Semua semburat melarikan diri. Dan memilih Jombang menjadi markas berikutnya.

Dengan direbutnya wilayah-wilayah yang menjadi territorial Republik Indonesia, membuat evaluasi untuk melakukan pemangkasan pasukan yang tidak efektif. Karenanya berdasarkan edaran dari pemerintah Republik Indonesia, laskar-laskar dileburkan dalam wadah Tentara Nasional Indonesia. Laskar Hizbullah kemudian menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan TNI.

Wadah Hizbullah dalam Tentara Nasional Indonesia ini tergabung menjadi I Resimen III dibawah Brigade 29 yang kemudian dikenal dengan Resimen 293 Divisi I yang bermarkas di Kertosono dengan Komandan Resimen A. Wahib Wahabdaan Kepala Stafnya Mansur Solikhi.

Pada saat Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang Republik Indonesia, resimen 293 yang menaungi laskar Hizbullah, diciutkan menjadi 2 batalyon, yang secara administrasi dibawah brigade 16 dan taktis komando dibawah COPP VI Surabaya yaitu:

  1. Batalyon Mobil dengan sebutan Yon Mansur Solikhi yang kemudian menjadi Batalyon 42 Diponegoro
  2. Batalyon Terretorial dengan sebutan Yon Munasir. Yon Munasir inilah yang kemudian menjadi Yon 39 Condromowo.

Pada tahun 1948 M, ketika PKI memberontak di Madiun, Yon Munasir bertugas mengamankan Jombang dan berhasil dengan cepat mengamankan gembong-gembong PKI sehingga tidak sampai melakukan aksi yang akan membuat kerugian bagi territorial Republik Indonesia.

Pada saat operasi Hayam Wuruk, yakni serangan pejuang republik Indonesia untuk merebut kembali daerah-daerah yang sudah diambil alih oleh Belanda, Yon Munasir memecah pasukannya menjadi dua. Sebagian mengikuti serangan ke Pacet. Dan sebagian lagi melakukan menyusup ke kantong kantong kekuasaan belanda serta melakukan perang gerilya.

Kyai Munasir Ali sendiri, sebelum bergabung ke Pacet, membawa pasukannya melalui Brangkal. Saat melewati Brangkal ini, pasukan Kyai Munasir Ali ini kepergok oleh tentara Belanda. Tetapi semua pasukan selamat. Sebab Kyai Munasir Ali menyuruh anak buahnya untuk saling berpegangan memegangi tangannya. beliau membacakan sebuah wirid yang pernah diberikan Mbah Dalhar, sehingga semua pasukan tidak terlihat.

Setelah itu, Kyai Munasir Ali dan pasukannya bergerak menyusul pasukan yang dipimpin Pamoe Rahardjo dalam serangan ke Pacet itu. Dan setelah Pacet dikuasi pada 1 Januari beberapa pasukan ditempatkan di Pacet ini dan menandai sebagai territorial Pejuang Republik Indonesia.

Hingga pada tanggal 13 Februari 1948 M, ketika Belanda menggempur habis habisan dari berbagai penjuru, Yon Mansur Solikhi dan Kompi Syakir Husyn dari Yon Munasir harus mati-matian melawan gempuran itu. Dan pada akhirnya memaksa mereka harus mundur ke Wonosalam kembali.

Pasca rontoknya serangan Hayam Wuruk ini, Yon Munasir memperoleh tugas untuk mengamankan wilayah di sektor utara jalan Mojokerto-Kertosono juga menyusun Markas Komando di Peterongan dan juga di Banjaranyar. Di sepanjang jalan itulah, pasukan Yon Munasir melakukan perang gerilya dengan sangat efektif. Pasukan dibawah Kyai Munasir Ali itulah yang kemudian diberi nama Condromowo, yang terinspirasi dari kucing kembang telon.

Pada tanggal 31 Desember 1949 M, saat penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, Yon Munasir/Yon 113 Condomowo diberi tugas untuk mengambil alih kekuasaan di Daerah Jombang. Dan selanjutnya, setelah Yon 42 Diponegoro sebagai penanggungjawab Mojokerto ditugaskan ke Sumatera Selatan, maka Yon 113 Condromowolah yang mengambil alih Jombang, Mojokerto hingga Gresik.

Setelah itu, Yon 113 Condromowo ini ditugaskan ke Bojonegoro dengan markasnya di Tuban. Setelah itu ditarik ke Gunungsari Surabaya. Dan akhirnya,pada tanggal 31 Maret 1953 M, Kyai Munasir Ali memutuskan untuk mengundurkan diri dari kemiliteran. Pangkat terakhirnya kala itu, Mayor dengan nomor NRP 10512.

Kontribusi para ulama dan kyai dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Para ulama beserta santrinya yang tergabung dalam organisasi Hizbullah pada saat itu mampu melawan penjajah dan mengusirnya dari bumi nusantara.

Salah satu kyai yang menjadi komandan di era kemerdekaan adalah KH. Munasir Ali. Selama perang kemerdekaan, beliau aktif berjuang dan berkarir di dunia kemiliteran. Kariernya dimulai dengan mengikuti latihan kemiliteran prajurit Jepang dengan masuk sebagai anggota penerangan Heiho.

KH. Munasir aktif sebagai pasukan Hizbullah dengan menjadi Komandan Batalyon Condromowo dan ikut berperan dalam mendirikan Hizbullah Cabang Mojokerto. Ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, beliau pun terdaftar sebagai anggota aktif, hingga akhirnya diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 TNI AD.

3.3 Terjun ke Politik
Pasca mengundurkan diri dari dunia kemiliteran, KH. Munasir Ali aktif di Jakarta. Beliau bergabung dengan organisasi eks-pejuang kemerdekaan seperti IKABEPI (Ikatan Bekas Pedjoeang Indonesia), juga mendirikan Legiun Veteran bersama antara lain, Chairul Saleh, Letjen (Purn.), Sarbini, dan Letjen A. Kartakusuma.

Pasca kerusuhan tahun 1998 M. yang kemudian menghantarkan Presiden Suharto mengundurkan diri, kebutuhan mendirikan partai sangat mendesak untuk dilakukan warga Nahdliyin. Maka lahirlah PKB. Dan KH. Munasir Ali-lah salah satu dari lima Kyai yang merupakan faounding fathernya partai PKB tersebut. Dan dengan PKB itulah, yang kemudian menghantarkan Gus Dur menuju kursi Istana.

Karirnya di dunia legislatif, antara lain:

  1. Menjabat sebagai anggota dewan nasional RI (1958 M),
  2. Menjadi Dewan Perancang Nasional (1959 M),
  3. Menjadi Anggota DPR GR (1967 M),
  4. Menjadi Anggota DPR/MPR (1971-1976 M),
  5. Menjadi Ketua Komisi VIII DPR/MPR (1976-198 M),
  6. Menjabat Pimpinan Fraksi DPR/MPR (1981-1987 M).

3.4 Mendirikan Pendidikan Formal
Pada tahun 1983 M, KH. Munasir Ali, memutuskan untuk pulang ke Mojokerto. Di Pekukuhan, KH. Munasir Ali bersama dengan tokoh tokoh sepakat mendirikan SMP Islam Dahlan Syafi’i.

KH. Munasir Ali memandang banyak anak miskin di sekitar Mojosari tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan SMP Islam Dahlan Syafii kala itu menjadi jawaban ditengah kebodohan yang masih merajalela. Lebih-lebih pendidikan yang bernafaskan Islam, masih jarang atau boleh dikata tidak ada untuk di Wilayah Mojosari.

Meskipun KH. Munasir Ali sedang berkonsentrasi penuh dalam mengembangkan lembaga pendidikannya, tanggungjawab menjadi anggota DPR dan pengurus Nahdlatul Ulama tetap terus dilanjutkan. Walaupun harus bolak balik Mojokerto-Jakarta.

4. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Munasir Ali dapat dilihat DI SINI.

Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 03 Maret 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 11 Januari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya