Pemikiran Visioner Kai As'ad

 
Pemikiran Visioner Kai As'ad

LADUNI.ID, Jakarta - Ketika politik indoktrinasi pemerintah Orde Baru ingin mengideologisasikan NKRI dan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam bernegara, hampir seluruh Ormas keagamaan yang ada menolaknya. Tidak hanya Ormas Islam saja, beberapa Ormas agama lain pun enggan menerimanya. Namun melalui ijtihad politiknya, NU tampil sebagai Ormas pertama dan satu-satunya yang menyatakan menerima asas tunggal Pancasila. Bahkan proses dialektik perdebatannya dapat dikatakan cukup mudah dan cepat. Keputusan tersebut disampaikan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, yang kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di lokasi yang sama.

Keputusan strategis tersebut tidak terlepas dari peran penting sejumlah tokoh besar NU seperti KH. Mahrus Ali, KH. Ali Maksum, KH. Achmad Shiddiq dan lain sebagainya, yang berada di bawah satu komando sentral KHR. As'ad Syamsul Arifin. Sebagai lakon yang paling bertanggungjawab, tentu kesuksesan Munas dan Muktamar kala itu menjadikan beliau sebagai sorotan publik, ada yang memuji dan menyanjung keberanian beliau, namun tidak sedikit yang mencibir, dan memperolok beliau atas langkah politik yang ditempuh. Teror dan ancaman kerap kali diterima, baik secara terang-terangan, melalui saluran telepon maupun via surat kaleng yang menumpuk. Banyak ulama kala itu yang beranggapan bahwa dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal merupakan bentuk kelemahan umat Islam, diperbudak oleh rezim, Islam setengah hati dan lain-lain. Bahkan pertentangan tersebut terjadi di kalangan internal ulama NU sendiri, terutama ulama di pulau Jawa dan Madura. Meskipun tidak satu pun yang diladeni oleh Kiai As'ad.

Kini, 38 tahun berselang, ketika muncul draft Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP), banyak ulama yang menentang pembahasan RUU tersebut. Mereka tidak setuju jika Pancasila direduksi, dipolitisasi, dan dijadikan alat legitimasi. Satu demi satu jika diperhatikan, ulama dan kiai yang menyatakan sikap menentang itu adalah mereka yang dahulu pernah mencibir, mengolok, bahkan memfitnah Kiai As'ad lantaran menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Subhanallah... betapa keputusan Munas 1983 adalah keputusan sangat visioner, yang mampu menjelajah puluhan tahun masa yang akan datang. Butuh 38 tahun untuk memahami pemikiran Kiai As'ad beserta komite khittah kala itu. Di saat beliau-beliau semua telah tiada mereka baru memahami maksud di balik semuanya. Seolah melakukan paduan suara "Oooooo..."

Tidak berlebihan kiranya apa yang disampaikan oleh KH. Achmad Shiddiq dalam penutupan Muktamar NU 1984:

"Andaikan Kiai As'ad tidak memiliki amal shaleh lain selain sukses Munas (1983) dan Muktamar (1984), itu sudah cukup sebagai bekal beliau hidup di akhirat".

Karena sukses Munas dan Muktamar tidak hanya mampu menyelamatkan NU, tapi juga menyelamatkan NKRI dari perpecahan.

(Ainun Najib)

 


Sumber: Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo