Mengulik Politik Maslahat dalam Sejarah Peradaban Islam Nusantara

 
Mengulik Politik Maslahat dalam Sejarah Peradaban Islam Nusantara
Sumber Gambar: majalah.tempo.co, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Mengkaji politik dalam perspektif Islam Nusantara memang selalu menarik. Di samping karena merupakan kajian sejarah, mengkaji politik Islam Nusantara juga menjadi pengingat tentang bagaimana para ulama terdahulu (terutama masa Wali Songo) membangun peradaban di bumi Nusantara.

Politik sebagai siyasah untuk kemaslahatan dan keadilan menjadi patokan normatif umum bagi para ulama dalam membicarakan soal siyasah tasharruf yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan umat manusia.

Hal itu sudah diperkenalkan bersamaan dengan proses "Islamisasi" Nusantara yang dibawa para Wali Songo dari abad ke-15 yang punya komitmen “amukti tanah Jawa” atau memperkokoh Nusantara. Lihat penjelasan lebih lengkapnya di Buku Islamisasi Nusantara. Makna politik ini yang kemudian menjadi basis para Wali Songo dalam membangun peradaban.

Salah satu bentuk artikulasi makna politik maslahat itu adalah dalam soal melihat sistem dunia ini, yang menjadi asal-usul mengapa para wali mengangkat konsep maslahat sebagai patokan.

Pandangan melihat dunia ini, antara referensi Kitab Mughnil Muhtaj dan Kitab Fathul Mu'in. Isunya soal posisi qadli dalam konteks sistem sekuler, kafir, duniawi, karena tidak disebut negara Islam atau darul Islam, lalu apakah sah keputusannya atau tidak.

Adapun kitab fiqih yang pertama adalah melihatnya hitam putih, tekstualis, ya tentu ini tidak sah, sebab syarat pokoknya harus Islami dulu. Namun, kitab fiqih yang kedua melihatnya lebih luas dan fleksibel, dengan mengangkat prinsip "mashalihun nas": Artinya bahwa "alla tu'aththalu mashalihun nas", yang intinya adalah agar jangan sampai kosong atau vakum dalam pemenuhan kemashlahatan umat manusia.

Ini adalah refleksi yang dilanjutkan para wali untuk konteks Islam Nusantara. Penulis Fathul Mu'in yang berasal dari Malabar, selatan India, pada abad ke-15, adalah keturunan keluarga ulama dari Hadhramaut yang punya pandangan yang luas: bukan menolak sistem luar yang non-islam secara hitam putih, tapi bagaimana memanfaatkan sistem itu untuk membawa kemaslahatan dan keadilan bagi umat manusia. Sementara, sistem itu akan dibawa menjadi Islami secara gradual, perlahan, dari bawah, dari dalam masyarakat.

Corak pendekatan ini dilanjutkan para wali dalam konteks masa Majapahit, dan ulama-ulama Nusantara generasi berikutnya. Seperti terlihat pada kiprah ulama Banten, Syaikh Ahmad Hasbah, di Batavia abad 17 dalam sistem VOC (Ahmad Baso, Pesantren Studies 4a).

Jadi, bicara politik Islam Nusantara dan politik NU itu ya tetu berbicara karakter ini: bicara maslahat dari bawah, lalu masuk ke sistem mempengaruhi dan membangun sejarah. Berpolitik itu dalam sistem maupun di luar sistem "alla tu'aththalu mashalihun nas", artinya agar jangan sampai kosong atau vakum dalam pemenuhan kemashlahatan dan keadilan bagi umat manusia. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Agustus 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Baso

Editor: Hakim