Khutbah Jumat: Apakah Ikhlas dan Ridho itu Sama?

 
Khutbah Jumat: Apakah Ikhlas dan Ridho itu Sama?

LADUNI.ID, Jakarta - Sebelum kita memulai uraian tentang tema ini, penulis akan mengutip penggalan kisah dari perjalanan Nabi Ibrahim ketika meninggalkan Siti Hajar dan puteranya Ismail. Saat itu Siti Hajar sedikit melakukan “protes” terhadap Nabiyullah Ibrahim Ketika beliau meninggalkannya bersama dengan puteranya Ismail. Hal tersebut karena ketidak tahuan Siti Hajar bahwa Nabi Ibrahim meninggalkannya atas dasar perintah Allah.

Mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan ? Seperti jamaknya dia hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya putra. Siti Hajar mengejar Ibrahim AS, suaminya, dan berteriak : "Mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini, bagaimana kami bisa bertahan hidup ? Ibrahim AS terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh.

Baca juga: Hukum Main HP Saat Khutbah Jumat

Remuk redam perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran. Siti Hajar masih terus mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit. "Wahai suamiku, ayahanda Ismail, Apakah ini Perintah Tuhanmu ?". Kali ini Ibrahim AS, Sang Khalilulloh, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim AS. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti meniup.

Baca juga: Hari Jumat Momentum Memperbanyak Shalawat

Pertanyaan dan gugatan Siti Hajar membuat semuanya terkesiap. Ibrahim AS membalik tegas, dan berkata : "Iya, ini perintah Tuhanku !". Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan, "Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah wahai suamiku. Tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir, Allah akan menjaga kami". Ibrahim AS pun beranjak pergi dan dilema itu punah sudah.

Itulah Ikhlas, ikhlas adalah wujud sebuah keyakinan mutlak, pada Sang Maha Mutlak. Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah apalagi menyerah kalah. Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup untuk berlari, mampu untuk melawan dan kuat untuk mengejar,  namun engkau memilih untuk patuh dan tunduk. Ikhlas adalah sebuah kekuatan untuk menundukkan diri sendiri, dan semua yang engkau cintai. Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain. Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengkalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung,tak pernah pula menepuk dada.

Baca juga: Khutbah Jumat: Surat Yasin di Tengah Pandemi COVID-19

Setelah ditinggal suaminya Ibrahim , Hajar mengendong putranya Ismail . Sambil lapar dan haus Hajar terduduk dan kaki Ismail mengepak ngepak ke pasir dan keluarlah air , yg kita sebut air zamzam, di situ Siti Hajar dan Ismail hidup selama belasan tahun. Setelah lsmail remaja datanglah Ibrahim dg perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Ismail dan Ibrahim ikhlas dan patuh kepada Allah maka ketika sudah terbaring, ternyata Allah SWT mengganti Ismail dg domba.

Setiap kita adalah “Ibrahim” dan setiap Ibrahim punya “Ismail”.

Ismailmu mungkin 'HARTAMU',

Ismailmu mungkin 'JABATANMU',

Ismailmu mungkin 'EGOMU',

Ismailmu adalah sesuatu yg kau 'SAYANGI' di dunia ini

Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa 'KEPEMILIKAN' terhadap Ismail. Karena hakekatnya semua adalah milik Allah.

Baca juga: Khutbah Jumat: Kewajiban Menjaga Keamanan Negara

Cerita di atas menginspirasi penulis untuk sekilas mengurainya, cerita di atas tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis tentang sikap yang ditunjukkan oleh Hajar saat menerima suaminya (Ibrahim AS) pergi meninggalkan dirinya, apakah sebuah keikhlasan atau keridhoan ?  Lalu ketika Ibrahim pergi meninggalkan istrinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT, itu sebuah keridhoan atau keikhlasan ?

Ada sebuah ungkapan yang cukup menarik dari imam Robiy’ yang mudah-mudahan bisa mengatarkan kita untuk memahami kata ridho dan ikhlas:

Berkata Imam Robiy’: Tanda cinta kepada Allah adalah: dengan banyak mengingatnya, dan tanda agama pada seseorang adalah ikhlas karena Allah baik dalam kesendirian/sunyi maupun dalam keadaan ramai. Dan tanda seseorang  bersyukur adalah adanya ridho terhadap takdir Allah dan menerima apa yang Allah tentukan.” (Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan Rofiq, al-Ridho bi al-Qodho wa al-Qodar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hal.107).

Khalifah Umar bin Adul Aziz dalam salah satu doanya sebagaimana dikutip dalam kitab Sirah Umar bin Abd al-‘Aziz yang disusun oleh Al-Hafizh Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn al Jauziy al-Baghdadiy, cetakan al-Muayyad, hal. 195) beliau mengatakan:” Allahumma Rodhdhiniy bi Qodhoik…, ya Allah jadikan aku orang yang ridho atas ketentuanmu….”.   Beliau tidak mengatakan jadikan aku orang yang ikhlas atas ketentuan-Mu.

Dengan demikian ridho itu terkait sikap kita saat menerima takdir dan ketentuan Allah. Jadi misalnya, ketika kita (maaf dan mudah-mudahan tidak terjadi) parkir motor dan sudah memakai kunci pengaman, lalu motor kita hilang. Menanggapi hal tersebut kita berkata: “ya sudah, tidak apa-apa saya ikhlas”. Kalimat yang pas untuk kejadian seperti di atas sebenarnya bukan  “saya ikhlas”, tetapi “saya ridho”, karena itu terkait sikap kita terhadap takdir dan ketentuan Allah. Sementara  ikhlas itu terkait dengan amaliah agama (baca: ibadah) yang kita lakukan, baik itu ibadah umum/’amah maupun ibadah khusus/makhdhoh yang semuanya kita lakukan semata mata hanya karena Allah.

Jika kita  memakai pendekatan santri, ridho itu posisi kita sebagai maf’ul (obyek) sementara ikhlas posisi kita sebagai fa’il (subyek). Untuk contoh hilangnya motor di atas, karena itu dicuri dan posisi kita sebagai maf’ul (obyek) yaitu kehilangan motor, maka kalimat yang tepat adalah “ridho” atas kehilangan motor tersebut. Tapi bila motor tersebut kita sedekahkan, misalnya, maka posisi kita saat itu sebagai fa’il (subyek) dengan demikian kalimat yang pas adalah “ikhlas”.

Terkait cerita inspiratif di atas, silahkan para pembaca menilainya, apakah sikap yang ditunjukkan oleh Siti Hajar itu masuk dalam kategori ikhlas atau ridho, dan begitu pula sikap Nabiyallah Ibrahim AS, apakah kalimat yang pas, ridho atau ikhlas. Terlepas dari itu semua, yang pasti cerita di atas menginspirasi kita untuk menjadi hamba Allah yang ridho terhadap takdir-Nya dan ikhlas dalam melaksanakan perintah-Nya sebagaimana nabiyallah Ibrahim AS dan istrinya, Hajar.

Wallahu a’lam bi al-Showab.

Oleh: KH. Ahmad Rusydi