Hukum dan Syarat I’tikaf Beserta Hal yang Membatalkannya

 
Hukum dan Syarat I’tikaf Beserta Hal yang Membatalkannya

LADUNI.ID, Jakarta - I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka mencari keridhaan Allah atau bermuhasabah (introspeksi) atas apa yang telah dilakukan di dalam hidupnya. Adapun hukum I’tikaf adalah sunnah muakkadah.

Sedangkan syarat-syarat orang bisa melakukan I’tikaf adalah: Islam, berakal, bersih dari haid dan nifas, tidak dalam keadaan junub. Ia juga harus tinggal melebihi tuma’ninah dalam shalat dan bertempat di dalam masjid, utamanya di masjid jami’.

Selain itu, orang yang beri’tikaf (mu’takif) harus berniat I’tikaf dan wajib berniat fardhu jika ia menadzarkannya. Pelaku I’tikaf wajib memperbarui niat dengan keluar jika tidak berniat kembali ke masjid.

Apabila seorang mu’takif menentukannya dengan suatu waktu, maka ia wajib memperbaruinya ketika kembali, jika ia keluar dari masjid bukan untuk buat hajat. Lain halnya bila keluar untuk buang hajat, maka I’tikafnya tidak terputus.

Jika I’tikafnya dilakukan berturut-turut dan ia keluar dari masjid tanpa memutuskan untuk kembali, maka ia wajib memperbauri niat jika ia kembali, jika ia keluar untuk keperluan yang memutus keadaan berturut-turut.

Jika ia menentukan dalam nadzarnya sebuah masjid, maka ia boleh beri’tikaf di masjid lainnya. Akan tetapi dianjurkan di dalam masjid yang ditentukannya. Kecuali masjid-masjid yang tiga (Al-Masjidil Haram, Al-Masjid an-Nabawi dan Al-Masjid al-Aqsha), maka ditentukan tempatnya.

Diharamkan atas istri unutk beri’tikaf tanpa adanya izin suami dan atas hamba sahaya tidak boleh beri’tikaf jika tidak mendapat izin dari tuannya.

Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf

Adapun hal-hal yang membatalkan I’tikaf adalah jima’, menyentuh istri dengan syahwat jika mengeluarkan mani, gila, pingsan, janabah, murtad dan mabuk. Apabila bernadzar I’tikaf selama waktu yang berturut-turut, ia harus melaksanakannya.

Sedangkan yang memutus keadaan berturut-turut ialah mabuk, kufur, sengaja melakukan jima’, sengaja keluar masjid bukan untuk buang hajat, bukan untuk makan dan minum jika tidak bisa mendapatkan air di masjid dan bukan karena penyakit. Jika ia merasa payah tinggal di masjid atau takut mengotorinya dan sama halnya dengan itu ialah gila dan pingsan.

Dan tidaklah memutuskannya pula jika ia dipaksa tanpa dasar yang benar untuk keluar dan tidak memutuskan keadaan haid jika tidak cukup waktu baginya untuk bersuci.


Sumber: Al-‘Allamah Asy-Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal al-Hadhrami. Terjemah Muqoddimah al-Hadhramiyah. Surabaya: Daarul Abidin Publisher, 2014.