Kisah Kewaliyan KH. Moh. Said Ketapang dan KH. Abdul Hamid Pasuruan yang Disaksikan Santri

 
Kisah Kewaliyan KH. Moh. Said Ketapang dan KH. Abdul Hamid Pasuruan yang Disaksikan Santri

LADUNI.ID, Jakarta - Pagi itu hampir beranjak siang, KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan sudah berada di depan Ndalem KH. Mohammad Said, Pengasuh PPAI Ketapang Kepanjen Malang, seraya mengucapkan: “Assalamu’alaikum...” sampai tiga kali, tapi tak ada jawaban.

Tak lama kemudian, muncul seorang santri datang dari bilik yang tak jauh dari Ndalem mendatangi KH. Abdul Hamidyang berada di serambi Ndalem. “Romo Kiai Said wonten?,” (Kiai Said ada?) Tanya Kiai Hamid.

“Romo Kiai Said kadose tindakan kolowau kaleh Bu Nyai. Ngapunten, saking pundi?,” (Kiai Said sepertinya tadi pergi bersama Bu Nyai. Maaf, Anda dari mana?) Tanya santri tadi.

“Kulo Abdul Hamid saking Pasuruan,” (saya Abdul Hamid dari Pasuruan).

Mendengar jawaban itu santri tadi langsung bingung tak tahu harus berbuat apa karena sekarang ia tahu bahwa yang di hadapannya bukan orang biasa, tetapi kiai panutan banyak orang.

Melihat hal itu Kiai Hamid pun langsung berkata kepada santri tadi: “Menawi ngaten kulo tak ngrantosi Romo Kiai Said ten masjid mawon mpun nak geh,” (kalau begitu sembari menunggu Kiai Said, saya di masjid dulu ya).

Akhirnya Kiai Hamid pun berjalan menuju masjid yang tak jauh dari Ndalem, kemudian shalat dua rakaat lalu rebahan tidur di depan mihrab masjid. Sedangkan santri tadi sambil bingung kembali ke bilik memberi tahu teman-temannya bahwa tamu tadi adalah Kiai Hamid dari Pasuruan yang alim dan wara’.

Selang hampir satu jam, melihat kondisi Kiai Hamid yang sedang tidur-tiduran di depan mihrab menunggu kedatangan Kiai Said, akhirnya santri tadi berinisiatif untuk mencari keluarga atau abdi ndalem agar bisa membukakan pintu Ndalem Kiai Said. Tujuannya supaya Kiai Hamid bisa menunggu di Ndalem saja.

Tak lama kemudian keluarlah Gus Kholidul Azhar, putra angkat Kiai Said, dari dalam Ndalem sambil kelihatan layu nampak habis bangun tidur. Maka tanpa basa-basi santri tadi langsung berkata kepada Gus Kholid: “Gus, wonten Kiai Hamid Pasuruan bade sowan dateng Romo Yai,” (Gus ada Kiai Hamid Pasuruan ingin menghadap KH. Said).

“Iyo wis mari ketemu kok,” (iya sudah ketemu kok), jawab Gus Kholid.

“Lho, kepanggih pripun tho Gus. Lha wong Kiai Hamid sak meniko tasik nenggo Romo Kiai Said kundur saking tindakan ten masjid ngantos sare wonten ngajenge mihrob,” (Sudah ketemu bagaimana Gus, lha tadi Kyai Hamid masih menunggu Kyai Said yang sedang keluar di masjid depan mihrab kok).

“Lho, sopo sing ngomong Abah (Kiai Said) tindak? Wong iki maeng lho aku metu teko kamar (habis tidur) Abah karo Kiai Hamid isik temon-temonan ndek mbale (ruang tamu) omah,” (kata siapa Abah sedang keluar? Baru saja aku keluar kamar, Abah bersama Kiai Hamid bertemu di ruang tamu).

“Lho, saestu Gus Romo Kiai Said tasik tindakan, kulo ningali piambak wau mios ipun. Pramilo Kiai Hamid nenggo Romo Kiai kundur sakniki ten masjid,” (beneran lho Gus, tadi Kiai Said sedang keluar. Saya lihat. Sedangkan Kiai Hamid menunggunya di masjid).

“Koen iki yokpo se, dikandani lek Abah karo Kiai Hamid isik temon-temonan ndek mbale kok gak percoyo?,” ( Kamu ini bagaimana sih, diberi tahu Abah bersama Kyai Hamid masih bertatap muka di ruang tamu kok tidak percaya).

“Mosok nggeh Gus, saestu tah? Wong nembe mawon kulo tasik ningali Kiai Hamid wonten masjid, sare ten ngajenge mihrob. Lan kulo ningali Kiai tindakan lan dereng kondur,” (Masak sih Gus, sungguh? Baru saja saya lihat Kiai Hamid masih di masjid, tiduran di depan mihrab. Dan saya lihat Kiai Said sedang keluar, belum pulang).

“Koen iki, dikandani kok gak percoyo,” (Kamu itu diberi tahu kok tidak percaya) Timpal Gus Kholid.

Di tengah perdebatan antara santri tadi dengan Gus Kholid, tiba-tiba datang mobil Holden Kiai Said datang dan berhenti di depan Ndalem. Keluarlah dari dalam mobil tadi Kiai Said dan Ibu Nyai. Melihat pemandangan itu, Gus Kholid dan santri tadi menjadi bingung. “Lho Gus, niku lho Romo Kiai nembe kondur saking tindakan,” (Lho Gus, itu Kiai Said baru saja pulang, tukas santri tadi.)

“Lha terus, sing tak delok temon-temonan ndek mbale omah iki maeng sopo?,” (Lha terus yang barusan saya lihat sedang bercengkerama di ruang tamu itu siapa?) Sela Gus Kholid.

“Lha geh duko Gus,” (Ya tidak tahu, Gus), jawab santri tadi.

Di tengah kebingungan keduanya, maka Gus Kholid langsung menghampiri Kiai Said yang baru keluar dari mobil, seraya berkata: “Abah, wonten...” Belum selesai berkata, Kiai Said langsung menjawab: “Kiai Hamid? Wis.. wis... Abah wis ketemu kok,” (Sudah, sudah saya temui kok) Sambil berjalan menuju Ndalem.

Maka makin bingunglah Gus Kholid dan santri tadi mendengar jawaban Kiai Said tersebut. Demi untuk menghilangkan kebingungannya, santri tadi langsung berlari ke masjid memastikan Kiai Hamid masih di depan mihrab.

“Tapi kali ini ia tidak berhasil menemukan Kiai Hamid di sana, dicari ke mana-mana pun tidak ketemu,” tutur KH. Achmad Muchtar Gz, santri KH. Moh. Said, mengakhiri kisahnya.