Belajar dari Kearifan Sultan Fatah Memimpin Kasultanan Demak

 
Belajar dari Kearifan Sultan Fatah Memimpin Kasultanan Demak

LADUNI.ID, Jakarta - Setelah Sultan Fatah dinobatkan sebagai Sultan Demak-Bintoro, beliau mulai menyusun pemerintahan, mengembangkan perekonomian serta, bersama para Walisongo, mengembangkan agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Adapun yang terpilih menjadi Patih Kesultanan Demak-Bintoro pada waktu itu adalah Ki Godho Wirasi atau Patih Mangkurat yang sering dipanggil dengan Patih Wonosalam karena bertempat tinggal di Wonosalam.

Penghulu Kasultanan Demak-Bintoro dipilih Kiai Abuddin yang terkenal dengan sebutan Kia Langgar dan menjadi penghulu Kasultanan selama 2 tahun. Penggantinya ialah kiai dari Sampang Madura yang lebih terkenal dengan sebutan Kiai Sampang, bekas tempat tinggalnya sampai sekarang disebut Dukuh Sampangan. Letaknya setengah kilo meter dari Masjid Demak. Beliau menjadi penghulu Kasultanan Demak-Bintoro selama 2 tahun. Selanjutnya diganti oleh Sunan Kudus sampai akhir kekuasaan Sultan Trenggana.

Setelah dapat mengalahkan Prabu Girindrawardhana Raja Majapahit, Demak berkembang menjadi negara Islam yang kuat. Daerah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur mengakui kedaulatan Kasultanan Demak-Bintoro sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan Majapahit di Jawa Timur beralih menjadi kadipaten. Dalam usahanya memajukan pemerintahan, Sultan Fatah merintis pembinaan Negara Maritim, terutama pembentukan angkatan perang Demak yang disusun dengan cepat dan rapi. Tedunan mejadi pelabuhan Kasultanan Demak-Bintoro yang disinggahi perahu-perahu. Tedunan saat itu berpenduduk antara 2000 hingga 3000 jiwa. Dari pelabuhan ini dijual beras dan bahan makanan lain dalam jumlah besar sebagai komoditas utama.[1] Sisa-sisa paku perahu saat dilakukan renovasi perahu rusak di pelabuhan ini masih disimpan dan dianggap sebgai pusaka oleh warga Tedunan.[2]

Pembinaan pelaut Demak semakin berkembang di bawah pimpinan Senopati/Adipati Yunus, putra Sultan Fatah. Pada tahun 1511 M, Adipati Yunus menjadikan Jepara sebagai Bandar dan pangkalan armada Demak.[3] Sultan Demak membuat pesanggrahan gunung-gunung Allah, yaitu Pesanggrahan Banyu Biru Ambarawa, Tlatah yang dekat di mana tinggal saudara tirinya Ki Ageng Banyu Biru.[4] Sultan Fatah juga memiliih tempat uzlah untuk memohon kepada Allah di hutan Wonowoso, artinya hutan tempat penguasa bertapa di desa Wonowoso Kecamatan Karang Tengah, sekitar 11 km dari jantung kota Demak.

Kasultanan Islam Demak didirikan tidak dengan bersukria, tetapi sebaliknya, sesuai dengan arti nama Demak, yaitu Air Mata atau Rawa, yang didirikan dengan penuh pengorbaan dan susah payah. Kerja keras Raden Fatah yang dibantu para santrinya dan para wali antara lain menjadikan Demak sebagai pusat perdagangan menyaingi Tuban Ujunggaluh yang dikuasai penuh oleh Majapahit/ Brawijaya V dan menjadikan Demak sebagai pusat ilmu dan penyiaran agama Islam sejak 1478 M.

Semua daerah yang di bawah kekuasaan Demak, rata-rata menyatakan tunduk secara ikhlas dan tidak ada paksaan dari Sultan Fatah. Adipati mapun penguasa daerah yang tunduk merasa terayomi/ terlindungi serta tidak terbebani pajak-pajak yang memberatkan. Bagi Kasultanan Demak-Bintoro yang sudah mampu mengembangkan Pelabuhan Laut yang ramai dikunjungi pedangan merupakan penghasilan yang mendatangkan uang dan mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam menjalankan roda pemerintahan Kasultanan Demak-Bintoro sehingga pajak para petani tidak diutamakan, apalagi upeti dari daerah-daerah yang di bawah kekuasaan Demak.

Selain itu Sultan Fatah terkenal dengan kesederhanaannya dan tidak gila harta. Tujuan utama beliau hanyalah ingin menyebarluaskan agama Islam ke seluruh daerah dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada saat itu. Bahkan daerah yang tidak mau tunduk pun tidak diserang Demak, selagi tidak mengganggu kedaulatan Demak dan tidak mempersulit/ merintangi pengembangan Islam tetap dihormati kedaultannya. Selain itu Sultan Fatah juga tidak pernah memaksakan orang untuk beragama Islam dan menghormati agama lain serta sering mengadakan hubungan kerja sama dagang maupun memberi suaka politik bila dimintai masyarakat non-muslim. Ringkasnya, agama Islam tersiar secara damai di bumi Nusantara.

Pada zaman keemasan Demak, banyak buku yang ditulis, di antarnya: Serat Anbiyak, Serat Kandha, Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, Serat Sewaka, Serat Menak, Serat Rengganis, Serat Manikmaya, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang, Suluk Pasisaran yang beraneka macam, misalnya Suluk Sujinah, Het Boek van Bonang, Een Javaans Geschrift uit de 16 Eeuw.[5

Begitulah kisah Sultan Fatah dalam memimpin Kesultanan Demak-Bintoro. Ada banyak pelajaran dari kisah ini, di antaranya: dalam memimpin Kesultanan Demak-Bintoro, Sultan Fatah hanya fokus pada penyebaran agama Islam dengan cara yang sangat demokratis. Sultan Fatah tidak menyerang daerah yang tidak mengakui kedaulatan Demak.

Sultan Fatah juga sangat menghormati agama lain dan tidak pernah memaksa orang untuk beragama Islam. Sultan Fatah pun sangat terbuka dengan suaka politik meski dengan masyarakat non-muslim. Semoga kisah ini memberikan pelajaran dan inspirasi dalam menjalankan amanah kepemimpinan, baik di dalam organisasi yang kecil sekalipun hingga dalam memimpin sebuah bangsa-negara.


[1] Tome Pires, h.243

[2] Wawancara, Lurah Afif Desa Tedunan, 23 Mei 2018.

[3] Muhammad Khafid dan Pujo Semedi, 2008, Sejarah Demak Matahari Terbit di Glagah Wangi, Demak: Syukur, h. 75

[4] Suluk Wali Tanah Jawi, h. 120 dalam Muhammad Khafid dan Pujo Semedi, 2008, Sejarah Demak Matahari Terbit di Glagah Wangi, Demak: Syukur, h.76

[5] Muhammad Khafid dan Pujo Semedi, 2008, Sejarah Demak Matahari Terbit di Glagah Wangi, Demak: Syukur, h. 102


Sumber: Anasom, Iswati, Naili Anafah, dkk. Sejarah Kesultanan Demak-Bintoro; Sultan Fatah, Masjid Agung Demak dan Kasultanan Demak-Bintoro. Semarang: Takmir Masjid Agung Demak dan UIN Walisongo, 2019.