Syajaratul Ma’arif Bagian 1b: Penjelasan Tentang Tauhid

 
Syajaratul Ma’arif Bagian 1b: Penjelasan Tentang Tauhid

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah penjelasan tentang kitab Syajaratul Ma’arif karangan Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam, yang berkaitan dengan tema “Berakhlak dengan Sifat-Sifat Sang Maha Rahman Sesuai dengan Kemampuan”. Secara khusus, dalam bagian ini dibahas mengenai Tauhid. Selamat membaca.

***

Tauhid itu ada dua macam:
Salah satunya adalah Qadim dan itu ada dua:

  1. Pengetahuan tentang Allah dalam hal tawahhud dan tafarud-nya dalam semua sifat dzati, salbi atau fi'li, baik diketahui oleh hamba-hamba Allah atau tidak diketahui, sebab tidak terbatas puji bagi-Nya.
  2. Kesaksian Allah atas diri-Nya dengan tawahhud yang telah disebutkan.

Sedangkan tauhid yang hadits, maka itu ada macam macamnya:

  1. Pengetahuan kita dari apa yang mampu kita capai dari tawahhud-nya dan Allah telah tunjukkan padanya tentang tafarrud-nya.
  2. Keimanan kita pada tawahhud itu.
  3. I’tiqad kita terhadap tawahhud itu.
  4. Keimanan kita dengan semua yang berhubungan dengan tawahhud itu.
  5. Ucapan kita dengan apa yang kita ketahui tentang tawahhud itu.
  6. Ucapan dengan tawahhud itu.

Dengan demikian, ma’rifat itu jauh lebih tinggi daripada I’tiqad, dan keimanan yang mengisyaratkan pada ma’rifat jauh lebih mulia dari yang memberikan isyarat i’tiqad. Dan ucapan yang berasal dari ma’rifat jauh lebih utama daripada ucapan yang berasal dari i’tiqad.

Dalam hal bermuamalah dengan-Nya sesuai dengan tuntutan tauhid-Nya adalah hendaknya kita jangan menyembah selain Dia. Sebab tidak ada Tuhan selain Dia, dan kita kita menyerahkan diri selain pada-Nya. Sebab tidak ada rasa takut kecuali pada-Nya. Dan tidaklah kita mencintai seorang pun melebihi kecintaan pada-Nya. Sebab tidak sesuatu yang indah melebihi keindahan-Nya. Tidaklah kita mengagungkan seorang pun seperti pengagungan pada-Nya. Sebab tidak ada seorang pun yang menyerupai kesempurnaan-Nya dan kita tidak mensyukuri seorang pun melebihi syukur pada-Nya sebab tidak seorang pun yang memberi nikmat selain Dia. Kita tidak mengharap kecuali kebaikan dari-Nya. Sebab tidaklah ada yang memberikan kebaikan selain Dia. Kita tidak juga takut kecuali pada kekuasaan-Nya sebab tidak ada tempat berlindung selain Dia.

Demikian pula dalam hal hubungannya dengan semua yang menjadi konsekuensi sifat-sifatNya, yang berupa ketundukan terhadap keagungan-Nya dan merendahkan diri atas semua kebesaran-Nya.

Demikian pula dengan tauhid-Nya dalam semua ucapan dan perbuatan hingga kita tidak bersumpah dengan seseorang selain Allah. Dan dalam wajibnya tauhid ini terdapat perbedaaan di kalangan ulama.

Adapun mengenai buah dari memperhatikan pada penafian dan tauhid ini maka kita cocokkan setiap satu darinya dengan sesuatu yang cocok dan sesuai dengannya. Berupa tadzallul (merendahkan diri) tawakkal, mahabbah dan mahabah (مهابة) dan lain-lainnya.

Sementara berakhlak sesuai dengan konsekuensi penafian (salb), maka sangat lah tidak mungkin bagi kita untuk berakhlak dengan keseluruhannya. Sebab ada beberapa sifat yang khusus bagi Allah. Dan kita berakhlak dengan yang mungkin kita lakukan. Seperti membuang perbuatan zhalim dari diri kita, menyingkirkan kemauan untuk berbuat zhalim. Seperti juga dengan penyucian dan damai yang diambil dari bersihnya dari aib dan selamat dari semua kekurangan. Itu kita lakukan dengan membersihkah lahir dan batin kita dari semua dosa dan perbuatan-perbuatan yang melanggar, karena sesungguhnya dosa-dosa kita adalah aib yang ada pada kita. Dan hendaknya kita juga menyelamatkan hati kita dari rasa ragu, syirik dan syubhat karena kita ingin mengikuti jejak langkah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

اِذْ جَاۤءَ رَبَّهٗ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍۙ (٨٤)

Idz jaa-a rabbahu biqalbin saliimin

Artinya: “(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci[1].” (QS. Ash-Shaffat: 84)

Marilah kita mulai dengan cara menyucikan diri dari semua hal yang haram, sesuai dengan firman Allah,

وَذَرُوْا ظَاهِرَ الْاِثْمِ وَبَاطِنَهٗ ۗ

Wadzaruu zhaahira al-itsmi wabaathinahu

Artinya: “Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.” (QS. Al-An’am: 120).

Kemudian kita berusaha untuk menyucikan diri dari semua hal yang makruh (tidak disukai), kemudian dari semua syubhat, kemudian dari semua bentuk tindakan mubah yang berlebihan, kemudian dari semua bentuk kesibukan yang menyibukkan kita dari mengingat Tuhan langit dan bumi.


[1] Maksud datang kepada Tuhannya ialah mengikhlaskan hatinya kepada Allah dengan sepenuh-penuhnya. Selengkapnya lihat DI SINI.

 


Sumber: Syaikh Al-‘Izz bin Abdus Salam. Syajaratul Ma’arif Tangga Menuju Ihsan, penj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.