Pesan Emas si Pembuat Cincin kepada Sang Raja Kaya

 
Pesan Emas si Pembuat Cincin kepada Sang Raja Kaya

LADUNI.ID, Jakarta - Alkisah, terdapat seorang raja yang kaya raya dan senang sekali mengoleksi beraneka ragam hiasan emas. Di kerajaan itu, hidup pula seorang tukang emas yang sangat ahli, sangat kreatif, dan bijak bestari sehingga sang Raja menaruh hormat kepadanya. Mengetahui tukang emas itu sudah semakin lanjut usianya, sang Raja datang minta dibuatkan cincin seindah mungkin, siapa tahu cincin itu akan menjadi kenangan terakhir.

Singkat cerita, tidak sampai sebulan tukang emas menghadap Raja menyerahkan cincin pesanannya. Sang Raja sangat gembira dan memuji cincinnya yang sangat indah. Namun, ketika tukang emas hendak permisi, sang Raja mengajukan satu permintaan, “harap kamu tuliskan kata-kata di cincin ini, kalimat apa yang bisa mengingatkan pengalaman hidupmu yang membuat dirimu dikenal sebagai orang bijak bestari dan dihormati di istana ini”

Tukang emas merenung sepanjang jalan. Berhari-hari, berminggu-minggu, dia belum menemukan kalimat apa yang harus dituliskan. Dia merasa, jauh lebih sulit menemukan kata-kata yang diminta Raja ketimbang membuat cincinnya.

Setelah banyak merenung dan mengamati kehidupan sosial serta menerawang membaca ayat-ayat semesta, akhirnya dia memperoleh inspirasi kata apa yang akan dituliskan pada cincin yang indah itu. Bunyinya: This too shall pass. Ini pun akan berlalu. Orang Arab mengatakan: Kulluhu maashy. Dalam bahasa Ibrani: Gam zeh yaavar. Dalam  frasa Turki: Bu da gecer. Orang Yunani kuno punya frasa: Panta rei. Al-Quran menyebutkan: Kullu man alaiha faan. Tak ada apa pun dan siapa pun yang abadi. Semua akan berlalu dan terpisah dari kita.

Demikianlah, selesai menuliskan “this too shall pass”, tukang emas menyerahkan cincin itu kepada Raja, yang langsung mengenakannya di jari manisnya. Raja tidak begitu paham apa maksud tulisan itu. Aktivitas Raja berlangsung seperti biasa, sampai suatu saat Raja menghadapi problem serius di lingkungan istana yang membuatnya tercenung sedih, duduk sendirian.

Dia baru memahami tulisan itu ketika tidak sengaja matanya menatap cincin yang bertuliskan: This too shall pass. Hati sang Raja pun menjadi tenang. “Probelem ini pun pasti akan berlalu,” gumamnya. Emosi kesedihan dan kemarahan sang Raja pun mereda.

Di lain kesempatan, Raja menghadiri pesta yang ingar-bingar. Berbagai kenikmatan hidup terhidang. Raja pun berpesta ria bersama keluarga dan para tamunya. Tiba-tiba ada seorang teman yang tertarik dan memuji keindahan cincin yang dipakainya. Mata sang Raja lalu menatap cincin, dan lagi-lagi, terbaca: This too shall pass. “pesta kegembiraan ini pun tak lama lagi pasti berlalu,” gumamnya. Tak ada yang abadi. Panta rei. Semuanya mengalir bagaikan arus sungai.

Demikianlah, gara-gara sebaris kalimat yang terukir di cincin itu, suasana hati, pikiran, dan sikap Raja menjadi berubah. Dia memahami dan berterima kasih kepada tukang emas istana yang hidupnya terlihat tenang dan dihormati banyak orang. Bahkan lebih bahagia daripada dirinya. Karena selalu berada dalam keseimbangan, tukang emas itu mampu mengendalikan emosi dan pikirannya, baik di kala suka maupun duka. Dia selalu meyakini bahwa suka dan duka adalah satu paket dalam kehidupan yang mesti disikapi dengan bijak dan tenang.

Sadar bahwa hidup tidak abadi, jabatan raja pun tak lama akan berlalu, dia lalu berubah total menjadi raja yanga adil, pemurah, dan penolong bagi rakyatnya.

“Sebelum jatah umur ini pun berlalu,” kata Raja kepada dirinya sendiri, “aku mesti meninggalkan warisan buat rakyat yang membuat akan dikenang sebagai raja yang baik dan selalu melayani dan membela rakyatku dari impitan kebodohan, kemiskinan, dan ancaman kerajaan lain. Apa yang kumiliki adalah apa yang kuberikan kepada rakyatku. Apa yang akan kubawa mati adalah apa yang kuwariskan untuk rakyatku.”

***

Bukan sok iyes tapi ini adalah bagian dari saya latihan mengetik  di laptop dengan jari banyak (lebih dari dua, belum bisa jari sepuluh) demikianlah hasilnya. Menyalin dari prolog buku Life's Journey (2014) karya Prof. Komaruddin Hidayat. (Source: fb Neyla Hamadah)