Apakah Nama dan Sifat yang Disandarkan pada Allah SWT Sesuai Ajaran-Nya?

 
Apakah Nama dan Sifat yang Disandarkan pada Allah SWT Sesuai Ajaran-Nya?

LADUNI.ID, Jakarta – Apakah nama-nama dan sifat-sifat yang diterapkan pada Allah Swt. didasarkan pada ajaran Allah[1] atau dibolehkan berdasarkan akal?

Yang lebih disukai Qadhi Abubakar[2] adalah mengizinkan digunakannya akal kecuali di mana wahyu melarangnya atau di mana pengertian suatu ungkapan akan mengandung sesuatu yang mustahil bagi Allah Swt. Adapun apa yang tidak mengandung unsur yang melarang, maka dibolehkan. Namun Al-Asy’ari[3] berpendapat bahwa itu didasarkan pada ajaran Allah, sehingga tidak dibolehxan menerapkan pada Allah Ta’ala apa pun yang bersandar pada makna-makna yang dinisbahkan kepada-Nya, kecuali bila disahkan. Adapun kami, posisi yang kami anggap lebih baik adalah mengenali dan mengatakan: apa pun yang bertalian dengan nama-nama maka itu didasarkan pada otorisasi, sedangkan apa pun yang bertalian dengan sifat-sifat maka itu tidak didasarkan pada otorisasi. Namun yang otentik dapat diterima, sedangkan yang palsu tidak. Ini tidak akan dimengerti sebelum dipahami perbedaan antara nama dan sifat.

Kami katakan bahwa nama adalah ucapan yang dilakukan untuk menunjukkan sesuatu yang dinamai.[4] Ambil contoh Zayd. Namanya adalah Zayd, namun sesungguhnya dia itu rupawan dan tinggi. Nah jika seseorang mengatakan kepadanya: ‘Wahai tinggi! Wahai rupawan! maka dia memanggilnya dengan apa yang dinisbahkan kepadanya dan ini benar. Namun itu akan terlebih dahulu menggunakan namanya, karena namanya adalah Zayd dan bukan yang tinggi dan juga bukan yang rupawan.[5] Karena tinggi dan rupawan artinya bukanlah bahwa ‘tinggi’ adalah namanya. Kalau kita menamai seorang anak lelaki dengan nama Qasim atau Jami’, maka ini tidaklah berarti bahwa dia dapat digambarkan dengan makna dari nama-nama ini.[6] Tetapi namanama ini, sekalipun bila nama-nama ini kebetulan mengandung suatu makna, hanyalah menunjukkan seperti yang ditunjukkan Zayd, ‘Isa dan nama-nama lain yang tidak membawa makna sama sekali.[7] Meskipun kita menamakan dia ‘Abd Al-Malik, yang kita maksud bukanlah [193] bahwa dia adalah hamba raja. Dan karena itulah kita perlakukan ‘Abd Al-Malik sebagai satu istilah tunggal, seperti ‘Isa dan Zayd, sedangkan jika digunakan sebagai gambaran maka itu akan merupakan suatu istilah ga bungan. Begitu pula dengan ‘Abdullah (hamba Allah), di mana kita membentuk jamaknya dengan sebuah kata ’Abadila bukannya dengan dua kata ‘Ibad Allah.[8]

Bila Anda memahami apa nama itu, maka Anda akan tahy bahwa nama setiap individu adalah apa yang digunakannya untuk menamakan dirinya, atau apa yang digunakan seseorang yang berkuasa atas dirinya, seperti ayahnya atau walinya, untuk menamainya. Jadi, penamaan, yaitu memberi nama, mengandung arti pemberian bebas terhadap seseorang yang dinamai, dan itu memerlukan kekuasaan. Seseorang berkuasa atas dirinya, abdinya, atau anaknya. Dengan demikian penamaan terbatas pada hal-hal ini. Seandainya orang memberi nama kepada orang lain, maka orang yang dinamai itu akan menolak nama itu dan menjadi marah karenanya. Jadi, jika tidak terserah kita untuk memberi nama seorang manusia, yaitu memberi nama padanya, mana mungkin kita memberikan nama-nama kepada Allah Ta’ala? Nama Rasulullah Saw. juga banyak. Beliau menyebutkan ketika berkata: ‘Aku memiliki nama-nama: Ahmad, Muhammad, Al-Muttagi, Al-Mahi, Al-’Agib, Nabi At-Tawbah, Nabi Ar-Rahmah, Nabi Al-Malhamah’.[9] Bukan terserah kita untuk menambahnya sejauh menyangkut pemberian nama kepada beliau. Namun sejauh menyangkut menyebut sifat-sifat beliau, dibolehkan kita mengatakan bahwa beliau itu alim, pembimbing sejati, tajam pikirannya, dan seterusnya, persis seperti yang kita katakan mengenai Zayd bahwa dia rupawan dan tinggi-bukan sebagai cara menamakan dia, namun sebagai cara mengungkapkan sifat-sifatnya. Ringkasnya, inilah masalah figih, karena ini menyelidiki apakah suatu ungkapan itu dibolehkan atau dilarang.

Kami katakan: bukti bahwa dilarang memberikan namanama kepada Allah Swt. [194] adalah bahwa dilarang memberikan nama-nama kepada Rasulullah Saw., kecuali untuk namanama yang beliau berikan untuk diri beliau sendiri atau yang diberikan kepada beliau oleh Tuhan beliau atau ayah beliau. Kalau terhadap Rasulullah Saw. saja dilarang, atau bahkan terhadap makhluk apa pun, tentu saja dilarang memberikan nama-nama kepada Allah. Inilah analogi yuridis yang menjadi dasar bagi penilaian mengenai hukum Allah.[10]

Bukti bahwa sifat-sifat dibolehkan adalah bahwa sifat merupakan predikat dari sesuatu. Predikat dibagi menjadi benar dan palsu. Wahyu sudah menunjukkan bahwa apa saja yang palsu dilarang, kecuali dalam keadaan luar biasa.[11] Wahyu juga menunjukkan bahwa predikat yang benar dibolehkan, sehingga apa saja yang benar dibolehkan, kecuali dalam keadaan luar biasa. Jika kita dibolehkan berkata bahwa Zayd ada, maka begitu pula dengan Allah Ta’ala, apakah wahyu menyebutkannya atau tidak. Kami katakan bahwa Dia azali, bahkan seandainya kita beranggapan bahwa wahyu tidak menyebutkannya. Kita tidak mengatakan bahwa Zayd tinggi dan berkulit terang, karena hal itu dapat mencapai Zayd dan dia merasa terhina karenanya karena ini menunjukkan kecacatan, kita juga tidak mengatakan tentang Allah sesuatu yang dapat menunjukkan ketidaksempurnaan. Nah, apa saja yang tidak menunjukkan ketidaksempurnaan atau apa Saja yang membawa pujian maka dapat diterapkan dan dibolehkan, menurut pemikiran yang menghalalkan apa saja yang benar sejauh tidak ada keadaan yang melarangnya.

Jadi, satu ungkapan bisa saja dilarang, dan bisa juga dibolehkan kalau saja ada satu keadaan yang berkaitan dengannya. Dengan demikian, tidaklah boleh berkata kepada Allah Swt.: ’"Wahai Penabur’ atau ‘Wahai Penanam’, sementara dibolehkan mengatakan: ‘yang meratakan dan yang menabur bukanlah yang menanam, namun Allah Ta’ala adalah penanamnya’, atau “yang menaburkan benih bukanlah penaburnya, namun Allah Sendiri yang menaburkan’. Jadi yang [195] melempar bukanlah pelemparnya, namun Allah Sendiri yang melemparkan, seperti firman Allah Ta’ala : ‘bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah yang melempar’.[12] Kita tidak mengatakan kepada Allah Swt.: "Wahai Yang Menghinakan’, tetapi kita katakan: ’Wahai Yang Memuliakan, Wahai Yang Menghinakan’. Karena bila keduanya disatukan maka merupakan sifat terpuji, karena menunjukkan bahwa ujung-ujung segala sesuatu ada di tangan-Nya.[13]

Begitu pula dengan doa: kita berdoa kepada Allah Swt. dengan nama-nama indah-Nya seperti perintah-Nya kepada kita, dan di luar nama-nama ini kita berdoa kepada-Nya dengan sifatsifat terpuji dan mulia. Jadi kita tidak mengatakan: ‘Wahai Yang Ada’, tetapi kita katakan ‘Wahai Pemberi Rahmat’, Wahai Yang Memudahkan segala kesulitan, dan sebagainya. Persis seperti kita menyapa seseorang, kita memanggilnya dengan namanya atau dengan salah satu sifat terpuji. Maka kita katakan: 'Wahai yang mulia’, Wahai yang berilmu’,[14] meskipun kita tidak mengatakan ’Wahai yang tinggi’, Wahai yang rupawan’, kecuali kita bermaksud meremehkannya. Kalau kita ingin mengetahui ciricirinya, maka akan dikatakan kepada kita bahwa dia rupawan wajahnya dan hitam rambutnya; namun tidak ada yang akan disebutkan kalau dia tidak akan menyukainya jika itu sampai didengarnya. Kalau itu benar, dia tidak akan membencinya; hanya apa yang dianggap cacat saja yang tidak disukai.

Begitu pula, jika kita hendak mengetahui Dia yang menggerakkan segala sesuatu, mendiamkan mereka, menjadikan mereka hitam atau putih, kita akan berkata: Dialah Allah Swt. Kita tidak membatasi tindakan atau sifat yang berkaitan dengan-Nya hanya pada sifat-sifat atau tindakan-tindakan yang secara khusus telah dibenarkan, karena pembenaran diberikan oleh wahyu untuk apa saja yang benar, kecuali karena keadaan-keadaan yang luar biasa. Jadi Allah Ta’ala itu ada dan sekaligus yang memulai, yang memanifestasikan dan yang menyembunyikan, yang membawa kebahagian dan kesedihan, yang memelihara dan yang menghancurkan-dan dibolehkan untuk menerapkan semua ini kepada-Nya, sekalipun hal-hal itu tidak disebutkan dalam ajaran Ilahi. [196]

Kalau dikatakan: kenapa tidak dibolehkan mengatakan bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui (Al-’Arif), Yang Maha Berakal (Al-’Agil), Yang Mahapandai (Al-Fathin), Yang Mahapintar (Adz-Dzaki), dan seterusnya, akan kita katakan: apa yang melarang ini semua dan lainnya yang seperti ini adalah adanya petunjuk (tentang ketidaksempurnaan) yang berkaitan dengan ini semua. Apa pun yang mengandung petunjuk seperti itu dibolehkan hanya bila sudah dibenarkan; sebagaimana yang terjadi pada Yang Mahasabar (Ash-Shabur), Yang Maha Penyantun (AlHalim), dan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahim). Meskipun ini semua mengandung petunjuk (tentang ketidaksempurnaan), namun secara jelas dibenarkan, sedangkan yang lainnya tidak. Petunjuk (mengenai ketidaksempurnaan) dalam ‘Yang Maha Berakal’ (AlAgil) adalah bahwa pengetahuan-Nya mengikat-Nya-yaitu me nahan-Nya, karena dikatakan: ‘akalnya mengikatnya’[15]

Selain itu, ‘pandai’ dan ‘pintar’ mengandung kecepatan memperseps! apa yang tersembunyi dari pihak yang mempersepsi, sedangkan ‘tahu’ mengandung arti sebelumnya tidak tahu. Namun tidak ada yang melarang kita menerapkan istilah-istilah (nama-nama) ini kepada Allah, kecuali apa yang telah kami sebutkan (yaitu kalau nama itu mengandung ketidaksempurnaan). Jadi bila suatu ungkapan yang tidak menunjukkan (ketidaksempurnaan) sama sekali di antara yang memiliki pengertian yang sama maka dipandang berlaku untuk Allah, dan bila wahyu tidak melarangnya dengan tegas, maka kita bebas membolehkannya diterapkan pada Allah. Dan Allah mengetahui apa yang benar dalam masalah-masalah seperti itu. Dia adalah sumber tempat kita semua kembali.(*)

 

[1] Kami menerjemahkan tawqif sebagai ‘perintah Ilahi’, yang menunjukkan ajaran yang berasal dari Al-Quran maupun hadis-Lihat Gimaret, 42-6. Kami secara tetap akan membedakan syar’ dari syari’ah dengan menerjemahkan syar’ wahyu karena perujukan utamanya adalah Al-Quran; sedangkan syari’ah diterjemahkan ‘hukum Ilahi’, karena ia mencakup penilaian-penilaian yang berasal dari Al-Quran untuk mengarahkan umat.
[2] Qadhi Abu Bakr (minggal 1013), yang juga dikenal sebagai Al-Baqillani, adalah seorang figure utama dalam mensistematisasikan Asy’arisme.
[3] Abu Hasan Al-Asy’ari (873-936) adalah pendiri madzhab pemikiran Islam yang memakai namanya, dan yang telah menggantikan mazhab Mu’tazilah sebagai madzhab kalam yang dominan sebelum Al-Ghazali, meskipun dukungan kuat Al-Ghazali terhadap madzhab ini membantu memperkukuh status otoritatifnya.
[4] Istilah Arab ism memiliki arti yang sama dengan istilah Latin nomen secara tata bahasa, yaitu ‘kata benda’, dan secara semantik (arti kata) yaitu ‘nama’, dan juga selanjutnya kedua istilah itu sama-sama ambigu sehingga ‘kata benda’ dapat pula berarti ‘verbal noun’ atau ‘kata sifat’. Kami akan menerjemahkan ism sesuai dengan tuntutan konteksnya.
[5] Kami menerjemahkan baydh (harfiahnya, putih) sebagai ‘rupawan’ agar bagian ini lebih setia dengan konotasi-konotasi baydh dalam konteks ini. Untuk dapat menangkap maksud ibarat Al-Ghazali di sini, perlu kita pikirkan nama-nama panggilan yang diberikan seseorang menurut ciri-ciri fisik mereka, seperti ‘jangkauan tangan’.
[6] Qasim artinya adalah ‘orang yang membagi’, dan Jami’ adalah ‘orang yang menyatukan’.
[7] Pada umumnya kami menerjemahkan dall sebagai ‘menunjukkan’, tetapi di sini kelihatannya tepat kalau digunakan ungkapan yang lebih modern ‘merujuk’, tanpa menganggap adanya perbedaan modern antara sense dan reference. Orang-orang pada abad pertengahan menggunakan varian ‘mengandung arti’ (signify) untuk menyampaikan keduanya, maka Al-Ghazali harus menjadikan penggunaannya akan dall tepat dalam konteks ini.
[8] Yang disebut susunan-susunan kata idhafah dalam bahasa Arab membuat orang dapat menjajarkan dua kata benda sehingga yang satu memodifikasi yang lain, seperti dalam ‘abdi raja’, dan terdapat aturan-aturan tata bahasa yang khas untuk membentuk bentuk jamak dari susunan kata itu, seperti dalam ‘mertua perempuan’. Lihat J. A. Haywood dan H. M. Nahmad, A New Arabic Grammar (London: Lund Humphries, 1965) Bab 8.
[9] Dua nama pertama menyinggung Nabi sebagai orang yang sungguh patut dipuji, sedangkan yang lainnya dapat disebut: yang takwa (al-muttagi), yang pemaaf (al-mahi), yang terakhir (al-‘agib), Nabinya tobat (nabi at-tawbah), Nabinya rahmat (nabi ar-rahmah), Nabinya perang (nabi al-mathamah). Kutipan-kutipan ini berasal dari Tir., Adab 67; Muslim, Fadha’‘il 4.
[10] Menggunakan kasus-kasus yang sejalan untuk menjelaskan ruang lingkup dan makna syari/‘ah merupakan prosedur baku dalam figih, yang dikenal sebagai qiyas-tihat Shorter Encyclopedia of Islam, 266-67.
[11] Kami menerjemahkan ‘kecuali secara kebetulan’ dengan ‘keadaan yang meringankan (atau luar biasa)’, karena dalam konteks penerapan hukum, peraturan umum harus ierbuka terhadap kekecualian mengingat keadaan yang tak terduga.
[12] Surah 8:17. Untuk konteknya, lihat W. M. Watt (catatan 35 dari Bagian Satu).
[13] Sebuah ibarat mengenai jangkauan kuasa Tuhan, seperti orang yang dapat merujukkan hal-hal yang bertentangan.
[14] Terjemahan terbaik faqih adalah ahli figih (orang yang ahli dalam hukum, namun penghematan bahasa Inggris menuntut yang lebih sederhana ‘Wahai yang alim’. Mengenai kekhawatiran Al-Ghazali mengenai meremehkan seseorang, lihat catatan 21.
[15] Al-Ghazali mengeksploitasi ambiguitas kata kerja ‘agal, yang salah satu artinya adalah ‘mengikat’ dan khususnya ‘mengikat kaki’ seekor unta; dan dia mendapad ambiguitas ini terpaparkan dalam ucapan yang menjadi pepatah.


Sumber: Al-Ghazali. Al-Maqshad Al-Asna fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, penj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.