Jihad Bukan Terorisme

 
Jihad Bukan Terorisme
Sumber Gambar: Dok. New Malang Post

LADUNI.ID, Malang - Ketika mengikuti training program manajemen pendidikan di kampus MIHE; Markfield Institute of Higher Education, Leicester Inggris tahun 2003 yang diselenggarakan atas kerja sama PBNU dengan British Council, saya berkesempatan mengikuti dialog khusus dengan Prof. Richard Bonney; seorang Pendeta dan Profesor Sejarah Modern di Universitas Leicester, dia adalah peneliti utama Religious pluralisme yang menulis beberapa buku terkenal diantaranya; Jihad from Qur'an to Bin Laden, The Clash of Civilizations and the Global War against Terrorism , dan The Nazi War on Christianity.

Kita berdiskusi tentang jihad dan terorisme di dampingi oleh Dr. Fareed El Shayyal, dosen Islamic Studies berkebangsaan Mesir dari MIHE Leicester. Kebetulan saat itu Prof Richard sedang dalam proses menulis buku tentang Jihad pascatragedi serangan bom World Trade Center (WTC) New York 11 September 2001, dia seorang orientalis non-muslim yang mampu berbahasa Arab, pernah tinggal di Lebanon dan mempunyai spesialisasi kajian timur tengah, dia memaparkan kajiannya tentang Jihad dari kitab-kitab hadits dan menelusuri evolusinya sebagai ide dalam sejarah tradisi Islam di seluruh dunia, serta menganalisis bagaimana konsep Jihad telah disalahgunakan oleh teroris Islam modern dan pelaku bom bunuh diri.

Dalam diskusi itulah kami mencoba memberikan gambaran yang benar dan seimbang tentang sejarah dan konsep Jihad dalam Islam serta pandangan kaum Nahdliyyin di Indonesia sebagai arus utama kelompok Islam moderat abad ini tentang konsep jihad dari Alquran dan hadist dari zaman dahulu hingga abad kedua puluh satu, bahwa tidak ada kaitan antara dalil-dalil jihad dengan terorisme jika difahami dengan benar.

Kami di pesantren mempelajari berbagai kitab hadis, sejarah dan fiqh tentang jihad dan terbukti tidak ada seorangpun dari santri pesantren NU yang terpancing melakukan terorisme, kita di Indonesia sejak lama bisa hidup bersama berbagai ummat beragama lain dengan damai dan toleran, dan telah terjadi akulturasi budaya secara unik, bahkan di beberapa daerah terdapat gereja dan masjid berdampingan, juga beberapa pesantren termasuk pesantren kami di malang berdiri berhadapan dengan gereja namun tetap bisa harmoni dan aman, karena makna jihad difahami di kalangan ulama pesantren secara utuh dan kontekstual, Jihad bertujuan untuk mewujudkan kebaikan, sedangkan terorisme tindakan merusak dan tidak berprikemanusiaan.

Jihad dari bahasa Arab dalam ajaran Islam memiliki makna baik, sementara terorisme berasal dari bahasa Latin (Eropa) yang bermakna mengancam, menakutkan, dan tercela. Namun dalam wacana politik, pemaknaan dan gerakan terkadang dapat disalah artikan, terletak dari siapa atau kelompok mana yang menafsirkan dan berkepentingan.

Jihad memiliki arti “mengerahkan mengerahkan segenap tenaga, usaha dan semua potensi diri atau rela bersusah payah "dalam artian yang luas, sedangkan dalam artian kecil bisa bermakna perang di jalan Allah, karena itulah perang disebut jihad Asghar (kecil). Dalam sebuah hadis, dijelaskan bahwa suatu ketika, sepulang dari medan perang Nabi Muhammad SAW bersabda kepada para sahabatnya:

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

“Kalian telah pulang dari suatu jihad kecil menuju jihad besar.” Sahabat pun bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Jihad melawan hawa nafsu,” (HR Baihaqi).

Kata jihad dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 41 kali dalam Al Quran yang tidak semuanya berkonotasi mengenai “peperangan”, istilah jihad juga diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai sebuah upaya pengendalian diri dari hawa nafsu. Al Quran dan hadits lebih sering menyebut peperangan dengan Al-Qitaal, al Harb, dan al Ma’rakah.

Ayat-ayat jihad jelas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat saat itu. Pada periode Mekkah misalnya, ayat-ayat yang turun tentang jihad lebih memiliki makna spiritual daripada makna fisik. Jihad yang secara prinsip lebih bermakna bersungguh-sungguh dan berjuang, berarti tetap menjaga iman, bersabar, dan menahan diri dari cercaan dan hinaan kaum musyrikin Mekkah. QS. An-Nahl ayat 126 misalnya memberikan makna sabar sebagai pilihan solusi yang lebih baik daripada membalas serangan kaum musyrikin.

Dalam mengkaji makna suatu teks seharusnya dilakukan secara utuh, tidak boleh bersikap apriori terhadap konteks yang melingkupinya. Jika mengkaji al-Qur’an dan Hadis tidak boleh sepotong-sepotong, apalagi mengutip beberapa bagian tertentu kemudian dijadikan legitimasi/ pembenaran terhadap ideologi atau pendapatnya sendiri, hal ini sangat dilarang dan berpotensi untuk menjadi pemecah belah ummat Islam dan menimbulkan kekacauan.

Kita juga hidup sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berkarakter ramah , selalu menghargai dan menghormati satu sama lain tak terkecuali dalam ranah teologi. Definisi jihad yang dipersempit dalam artian hanya berperang secara fisik, baku tembak, hingga meregang nyawa harusnya dihindari , karena masih banyak makna frasa lain yang lebih sejuk untuk memaknai jihad.

Dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW bersabda:

أفضلُ الْمُؤْمِنينَ إسْلاماً مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسانِهِ وَيَدِه وأفْضَلُ المُؤْمِنينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً وأفْضَلُ المُهاجِرِينَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهى اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ وأفضلُ الجهادِ منْ جاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذاتِ اللَّهِ عزّ وجَل

Mukmin yang paling utama keislamannya adalah orang Islam yang membuat selamat (menjaga) orang Islam lainnya dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah, (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud).

Hadits “jihad” paling utama adalah berjuang melawan nafsu di atas berstatus shahih, Imam  Hussein bin Abdillah al-Thaibi. Dalam kitab al-Kasyif ‘an Haqaiq al-Sunan Syarh Misykat al-Mashabih jilid 2 hal 481 mengomentari hadits tersebut dan mengatakan,

يعنى المجاهد ليس من قاتل الكفار فقط، بل المجاهد من حارب نفسه وحملها وأكرهها على طاعة الله تعالى؛ لأن نفس الرجل أشد عداوة معه من الكفار؛ لأن الكفار أبعد منه، ولا يتفق التلاحق والتقابل معهم إلا حينا بعد حين، وأما نفسه فأبدا تلازمه، وتمنعه من الخير والطاعة، ولا شك أن القتال مع العدو الذي يلازم الرجل أهم من القتال مع العدو الذي هو بغيد منه،

“Mujahid bukan orang yang berperang dengan orang-orang kafir musuh saja. Tetapi, mujahid yang sejati adalah orang yang memerangi nafsunya, mendorongnya dan memaksanya agar taat kepada Allah. Hal itu karena nafsu seseorang adalah musuh yang lebih kuat dibanding kaum kafir yang memusuhi. Karena, orang kafir yang memusuhi berada pada posisi yang jauh. Tidak akan bertemu dan berhadapan-hadapan dengan mereka kecuali jika ada kondisi tertentu. Sedang nafsu seseorang, maka ia akan selamanya bertemu dengannya, nafsu akan menghalangi orang melakukan kebaikan dan ketaatan. Tidak diragukan lagi, berperang dengan musuh dekat lebih penting dibanding berperang dengan musuh jauh.”

Imam Al Munawi dalam kitab Faydlul Qadir juga menjelaskan bahwa Memerangi hawa nafsu lebih utama dibanding memerangi orang-orang kafir, munafik, dan penjahat. Hal itu karena sesuatu hal dapat menjadi utama dan bernilai tinggi dengan melihat dampaknya. Dampak memerangi nafsu adalah diperolehnya hidayah. Allah berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh menaati kami akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju kami”. Dengan pernyataan ayat tersebut, sudah cukup jelas kemuliaan memerangi nafsu. Allah memerintahkan memerangi nafsu:

“وجاهدوا في الله حق جهاده

"dan berjuanglah dalam ketaatan kepada Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan,” (Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, jilid 2, hal. 173).

Demikianlah kaum santri memaknai jihad dan marilah kita bersama-sama berjuang menjaga situasi aman kondusif di tanah air tercinta, dengan memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang makna jihad yang sesungguhnya sesuai tuntunan agama Islam, agar terus  dapat hidup rukun saling menghormati dan menghargai sesama warga bangsa , berjuang memperluas kesejahteraan bagi segenap masyarakat, serta mencegah kedzaliman dan ketidak adilan yang bisa menjadi salah satu sumber tindakan nekat oknum pelaku terorisme dan kekerasan.(*)

***

Penulis: Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi, Pengasuh Pondok pesantren Annur 1 Bululawang Malang, wakil ketua PWNU Jatim.