Hukum Jima di Bulan Ramadhan

 
Hukum Jima di Bulan Ramadhan
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID, Jakarta - Bagaimana hukum jima di bulan Ramadhan pada siang hari apakah membatalkan puasa atau tidak? Kyai Ahmad Bahauddin Nursalim atau populer disapa Gus Baha mengatakan bahwa melakukan jima di siang hari dapat membatalkan puasa dan berdosa besar. Bila itu dilakukan, maka yang bersangkutan harus merdekakan budak atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan kaum pada sebanyak 60 orang.

Baca Juga: Hikmah dan Efek Berjimak dalam Islam

“Pertama orang yang membatalkan puasanya dengan jimak maka harus memerdekakan hamba sahaya atau budak perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Melihat hari ini sudah tidak ada lagi budak maka bisa dilakukan kafarah berikutnya,” terang Gus Baha, sebagaimana tayangan Online Berbagi yang berjudul: ‘Ustadz juga tergoda. Godaan Terberat Saat Puasa Ramadhan.’ Tayangan itu ditayangkan melalui platform Youtube yang diupload pada Kamis, 15 April 2021.

Masih kata Gus Baha, yang kedua adalah denda atau kafarahnya dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Lalu yang ketiga, jika tidak mampu lagi, yang bersangkutan harus memberi makanan kepada 60 orang fakir, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter) atau sekali makan.

Menurut Imam Syafi’i, Gus Baha melanjutkan, bahwa pelanggaran dengan sanksi seberat itu adalah hanya untuk orang yang melakukan jima di siang hari di bulan Ramadhan berbeda jika puasanya batal lewat makan, maka tidak akan mendapatkan hukuman seberat itu. Walaupun jima bagi hubungan suami istri halal. Tetapi tindakan itu merupakan hal yang tidak terpuji dan dapat membatalkan puasa.

Baca Juga: Orang Shaleh Suka Berjimak dan Poligami, Benarkah?

“Mengapa hukumannya seberat itu? Menurut imam Maliki, karena melecehkan Ramadhan dan tidak menghormati harkat bulan Ramadhan dengan tanpa uzur yang sah, sehingga kalau kamu makan mie atau makan nasi tanpa uzur sarah maka hukumannya sama karena juga dianggap melecehkan Ramadhan tanpa uzur sar’i,” terang Gus Baha.

Terakhir Gus Baha berharap kepada orang-orang yang berilmu untuk melihat dan menafsirkan persoalan tidak terjerumus dan tidak terjebak oleh teks semata. (Latif)