Wajah Idul Fitri di Indonesia

 
Wajah Idul Fitri di Indonesia
Sumber Gambar: Tribun Jatim

Laduni.ID, Jakarta - Merayakan hari raya Idul Fitri erat dikaitkan dengan adanya acara Halal bi Halal yang sudah mengakar kuat menjadi tradisi di Indonesia. Menurut tinjauan linguistik halal bi halal berasal dari kata Halla atau Hallala. Sehingga memiliki beberapa maknanya yakni menyelesaikan masalah ataupun kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, melepaskan ikatan yang membelenggu. Sedangkan makna halal bi halal menurut tinjauan hukum yaitu membuat sikap yang haram menjadi halal dan tidak berdosa. Dan itu harus didorong dengan adanya sikap saling memaafkan dan saling lapang dada. Oleh karena itu, makna halal bi halal yang sebenarnya adalah menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan. Pentingnya halal bi halal yakni menjaga silaturrahim dan saling bermaaf-maafan. Sehingga dengan halal bi halal seorang muslim akan menemukan hakikat dari Idul Fitri itu sendiri.

Selain itu dalam hari raya Idul Fitri juga terdapat makanan khas yakni kupat dan lepet yang terbungkus dari janur berwarna kuning. Makanan ini biasa disajikan di saat-saat berkumpul bersama keluarga. Namun di balik itu terdapat filosofi menarik dari kuliner khas tersebut.

Pertama adalah kupat yang berarti "ngaku lepat" (mengaku salah). Dalam bahasa arab disebut dengan i'tirof yang bermakna bahwa seseorang harus mengakui kesalahannya kepada orang yang dizalimi. Setelah ia mengaku dan meminta maaf, maka yang kedua adalah lepet yang berarti "disilep seng rapet" (disimpan rapat). Maknanya adalah pihak yang dimintai maaf ini harus menyimpan secara rapat kesalahan dalam hati dan jangan diungkit-ungkit kembali. Kemudian lepet itu wajib dari beras ketan. Ketan itu ada maknanya yaitu harus raket-raketan (saling mendekatkan). Artinya dengan saling maaf dan memaafkan, maka akan terbangun jalinan tali silaturrahim dan mempererat ikatan persaudaraan. Dan lepet itu janurnya berwarna kuning yang bermakna "Jan jane seduluran iku bening” (harusnya persaudaraan itu suci).

Terdapat sebuah kisah di salah satu madrasah yang pada waktu itu mendapat guru bantuan asli dari negeri Mesir pada tahun 1994 M. Beliau adalah seorang Syekh yang bertugas di Indonesia lebih tepatnya di daerah Kudus. Beliau bernama Syeikh Sholahuddin Ad-Dzahiri Al-Azhari. Saat itu salah seorang dari perwakilan madrasah mendapat amanat untuk menyerahkan surat undangan perihal acara halal bi halal. Ketika diserahkan, beliau sempat bertanya kepada perwakilan tersebut;

"Ini undangan apa?" Tanya beliau.

"Ini undangan dari pengurus madrasah wahai Syekh." Sahutnya.

"Dalam rangka apa?" Tanya beliau lagi.

"Acara halal bi halal." Jawabnya.

Seketika itu raut muka beliau yang awalnya tersenyum langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi merah padam, marah, dan surat pun dilempar ke meja. Akhirnya perwakilan tersebut kaget dan bingung. Setelah sedikit reda, mereka memberanikan diri untuk bertanya.

"Wahai Syeikh, mengapa engkau marah kepada kami?" Tanyanya.

"Ini acara sampah." Jawab beliau.

"Wahai Syeikh, apa yang engkau pahami dari acara halal bi halal?"  Tanya utusan madrasah tersebut.

Beliau langsung menjawab, "Halal bi halal sebagaimana yang aku pahami adalah ‘Halilati halalun lak, wa halilatuka halalun li’ yang artinya Istriku halal bagimu, dan istrimu halal bagiku."

Akhirnya perwakilan tersebut menjelaskan secara detail bahwa acara tersebut bukanlah seperti yang beliau artikan dan pahami.

Jika ditelisik, sebenarnya istilah halal bi halal hanya ditemukan di Indonesia, dan tidak ditemukan istilah tersebut di Arab, namun kata itu diambil dari bahasa Arab. Dan istilah ini merupakan pengejawentahan dari bentuk silaturahmi yang sudah mengakar menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Jadi halal bi halal tidak hanya sekedar saling memaafkan saja, namun juga menciptakan kondisi persatuan. Halal bi halal bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tapi juga merupakan tradisi kemanusiaan dan kebangsaan yang baik. Sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut;

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِینَ

Artinya: "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raf:199)

Lafadz urf’ pada ayat diatas oleh beberapa ulama diartikan dengan tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam karyanya Ushul al-Fiqh al-Islami mengutarakan bahwa, “Secara realitas, yang dimaksud dari urf’ dalam ayat ialah makna secara etimologi (bahasa), yaitu tradisi baik yang telah dikenal oleh masyarakat.”  Sedangkan Imam Al-Nasafi dalam karyanya Tafsir Al-Nasafi mengatakan; "Suruhlah orang untuk mengerjakan sesuatu dengan urf, yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” Jadi secara tinjauan Al-Quran, tradisi halal bi halal merupakan suatu adat yang baik dan sudah dikenal serta mengakar di masyarakat yang sangat dianjurkan. Sebab kegiatan tersebut dapat mempererat hubungan silaturrahim dan tali persaudaraan. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah SWT:

وَٱلَّذِینَ یَصِلُونَ مَاۤ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦۤ أَن یُوصَلَ وَیَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ وَیَخَافُونَ سُوۤءَ ٱلۡحِسَابِ

Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du: 21)

 

Jepara, Jumat 21 Mei 2021 M/ 09 Syawal 1442 H.

Oleh: Safdinar M. Annur – FP PP. MUS Sarang (https://www.facebook.com/226615864196720/posts/1714711682053790/?app=fbl)