Berkaca pada Kasus Enron: Apa yang Kamu Tanam Itulah yang Kamu Tuai

 
Berkaca pada Kasus Enron: Apa yang Kamu Tanam Itulah yang Kamu Tuai
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversivikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi.

Kasus Enron mulai terungkap pada bulan desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002. Berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global, yang ditandai dengan menurunnya harga saham secara drastis di berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking ketujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS yang jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31,2 milyar.

Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku “Moral Hazard” diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS, padahal perusahaan sedang mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, konon kasus ini ikut melibatkan orang dalam Gedung Putih, termasuk Wakil Presiden Amerika Serikat.

Menurut teori Fraud terdapat tiga komponen utama yang menyebabkan orang melakukan kecurangan, manipulasi, korupsi dan sejenisnya (perilaku tidak etis); opportunity; pressure; dan rationalization. Ketiga hal tersebut akan dapat kita hindari melalui peningkatan moral, akhlak, etika, dan perilaku, karena kita meyakini bahwa tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan publik (public trust).

Praktik bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur, serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak. Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, melainkan para karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan, serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal.

Pihak agent dalam hal manajemen Enron telah bertindak secara tidak rasional demi kepentingan dirinya, dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat. Lalu apa yang dituai oleh Enron dan KAP Andersen dari sebuah ketidakjujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis adalah hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak, disamping proses peradilan dan tuntutan hukum.

Dari kasus tersebut secara kasat mata terlihat pelanggaran terhadap 5 prinsip etika profesi, yaitu:

Pertama, adanya pelanggaran prinsip tanggung jawab. Yaitu pihak Arthue Andersen sebagai sebuah kantor akuntan publik tidak dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap jasa profesional seorang akuntan, dikarenakan mudah tergiur oleh bayaran yang besar dari Enron untuk bersikap menilai secara baik perusahaan Enron yang ternyata dalam kondisi buruk.

Kedua, adanya pelanggaran pada prinsip kepentingan publik. Yaitu perusahaan kurang memegang teguh kepercayaan masyarakat, perusahaan hanya semata-mata bertanggungjawab pada kepentingan klien dan tidak menitikberatkan pada kepentingan publik.

Ketiga, adanya pelanggaran pada prinsip obyektivitas. Seharusnya setiap anggota mampu menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Namun dalam kasus ini terlihat bahwa beberapa elemen perusahaan memiliki doublejob di perusahaan Enron dan di kantor akuntan publik Arthur sehingga banyak terjadi konflik kepentingan. Pun para pemimpin perusahaan CEO, CFO, bendahara dan beberapa pihak lain dalam perusahaan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan manfaat demi kepentingan pribadinya.

Keempat, adanya pelanggaran pada prinsip integritas. Prinsip integritas mengharuskan anggotanya untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Dalam kasus ini Enron pernah menerbitkan laporan keuangan yang bukan hasil aktual yang terjadi, namun laporan keuangan dibuat dan menunjukkan laba yang besar agar terlihat bagus oleh klien dan pasar.

Kelima, adanya pelanggaran prinsip professional. Yaitu pihak perusahaan seharusnya berperilaku konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat menjatuhkan perusahaan. Namun dalam kasus ini bahkan CEO dan CFO perusahaan membiarkan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu terjadi yang di dalamnya, jelas melanggar etika dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa diakses oleh pihak dalam perusahaan.

Kasus Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar kode etik, yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan bagi Enron, tetapi akhirnya malah menjatuhkan kredibilitas bahkan menghancurkan Enron dan KAP Andersen.

Dalam kasus ini, KAP yang seharusnya bisa bersikap independen tidak dilakukan oleh KAP Arthur Andersen. Karena perbuatan mereka inilah, kedua-duanya menuai kehancuran di mana Enron bangkrut dengan meninggalkan hutang milyaran dolar sedangkan KAP Arthur Andersen sendiri kehilangan keindependensiannya dan kepercayaan dari masyarakat terhadap KAP tersebut, juga berdampak pada karyawan yang bekerja di KAP Arthur Andersen di mana mereka menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan akibat kasus ini.

Untuk itulah kode etik profesi harus dibuat untuk menopang praktik yang sehat dan bebas dari kecurangan. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik, dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota profesi, baik dalam berhubungan dengan kolega, klien, publik dan karyawan sendiri. Yang harus menjadi sebuah pelajaran bahwa sesungguhnya suatu praktik atau perilaku yang dilandasi dengan ketidakbaikan maka akhirnya akan menuai ketidakbaikan pula bagi banyak pihak.

Oleh: Nuur Alfiyahtul Nikmah - Mahasiswi UNUSIA


Editor: Daniel Simatupang