KH. Husein Muhammad: Gus Mus Kyai Besar yang Rendah Hati

 
KH. Husein Muhammad: Gus Mus Kyai Besar yang Rendah Hati
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Usai shalat Jum’at aku melihat bukuku “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus”. Aku membaca lagi bagian awal. Inilah.

Rembang, 30 Maret 2014. Jam 14.30 Ahad, Gus Mus (GM), nama panggilan akrab KH. Mustofa Bisri, menutup dengan berdo’a menandai berakhirnya diskusi buku karya seorang pemikir progresif Mesir, Dr. Ali Mabruk. Dengan begitu Diskusi eksklusif yang berlangsung selama dua hari di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, berakhir sudah.

Dr. Ali Mabruk adalah teman baik Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh kontroversial yang terusir dari negaranya sendiri, Mesir, gara-gara sejumlah pikiranya yang dianggap “nyleneh”. Ali Mabruk meminta beberapa ulama kiyai NU membahas karya terbarunya berjudul, “Al-Syari’ah Baina al-Qur’an wa al-Fiqh wa al-Tarikh” (Syari’ah antara al-Qur’an, Fiqh dan Sejarah). Saya mendapat kehormatan menjadi salah satu orang yang diundang untuk keperluan tersebut, di samping Gus Mus, Dr. Abd al-Ghofur Maemun (putra Kiyai Maemun Zubair, Sarang), Ulil Absar Abdallah (menantu Gus Mus), KH. Sadid Jauhari dan Kiyai Basori Alwi, (keduanya tidak hadir). Diskusi ini disampaikan dalam bahasa Arab.

Forum ilmiyah itu juga dihadiri oleh para peserta yang terdiri dari para kiyai dan santri senior dari sejumlah pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah mereka sekitar 100 orang.

Nah, usai acara tersebut para peserta pamitan untuk kembali ke pesantren atau ke rumahnya masing-masing, yang tersisa hanya Dr. Ali Mabruk, Dr. Islam (teman Ali Mabruk dari Mesir), KH. Fakhr al-Razi (Pengasuh Pondok Pesantren Annur, Bulu Lawang, Malang), Kiyai Yahya Tsaquf (keponakan Gus Mus yang mantan Jubir Presiden Gus Dur itu), dan aku. Mas Ulil Absar sudah pulang duluan. Gus Ghofur, putra Mbah Maimun Zubair sekaligus suami keponakan saya yang cucu Kiyai Ali Maksum Kraapyak, juga pulang. 

Tidak lama sesudah mereka meninggalkan rumah GM, aku juga akhirnya minta pamit, berhubung waktu sudah sore dan harus kembali ke Cirebon dengan bus. Tetapi GM mengajakku untuk bincang-bincang santai. GM yang dimaksud di sini adalah inisial dari Gus Mus, bukan Goenawan Mohammad, lho ya.

“Jangan pulang dulu, waktunya kan masih cukup lama toh?” Aku menganguk, “ya jam 16.00”. “Nah, masih ada waktu satu jam lagi. Kita ngobrol-ngobrol dulu, temu kangen.” Aku melihat jam di HP, lalu menyetujui. Tas ransel dan bingkisan dari GM sebagai oleh-oleh akhirnya aku letakkan kembali di tempat semula.

“Kopi apa teh,” tanya GM kemudian.

“Kopi,” jawabku reflektif saja dan memang ingin menikmati enaknya minum kopi panas, sore-sore. Pasti asyik.

GM segera menuju dapur yang terletak tak jauh dari ruang tamu. Tak lama, dua cangkir berisi air kopi panas dibawa dengan tangannya sendiri. Ia tak meminta siapapun untuk membuatkan minuman bagi tamunya. GM kemudian meletakkannya di hadapan kami; aku dan tamu yang lain. Aku me-nyripit, (mencicipi), menikmati kopi bikinan Kyai besar ini. “Betapa bersahaja dan rendah hatinya kyai besar ini,” GM juga “menyeripit”.

“Kurang manis ya, kyai?” GM memanggilku kyai, meskipun bukan.

Aku mengangguk. GM kembali ke dapur dan datang dengan dua saset gula Slim berwarna kuning itu, lalu menyobek dan menuangkannya ke cangkirku dan cangkirnya. Aku meminta bekas saset untuk jadi pengganti sendok, lalu mengaduknya. GM paham, bahwa ia lupa tak sekalian membawa sendok. Ia bangkit dan kembali ke dapur mengambil sendok lalu mengaduk-aduk kembali cangkir berisi kopiku itu. "Betapa bersahaja dan rendah hatinya kiyai ini," bisik hatiku.

Jumat, 16 Juli 2021

Oleh: KH. Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang