Bolehkah Lelaki Memakai Cincin Emas Saat Tunangan? Ini Penjelasan Gus Mus

 
Bolehkah Lelaki Memakai Cincin Emas Saat Tunangan? Ini Penjelasan Gus Mus

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam buku yang ditulis oleh KH Mustofa Bisri atau Gus Mus berjudul Fikih Keseharian Gus Mus (2005), ada pertanyaan tentang boleh tidaknya laki-laki memakai cincin emas saat tunangan. Berikut penjelasannya dan selamat membaca.

***

Pertanyaan: Pak Mus, perkenankanlah kami mohon penjelasan sedikit. Saya adalah seorang muslim yang ingin berusaha melaksanakan semua ajaran agama dan menghindari larangan-arangannya. Nah, baru-baru ini ada kawan yang menegur saya karena saya memakai cincin emas. saya merasa tidak enak dan ragu-ragu memakainya. Benarkah demikian Pak Mus, lelaki tidak boleh memakai cincin emas? Atas penejalasan Pak Mus saya sampaikan terima kasth sebelum dan sesudahnya. (Sunardi, Semarang Timur)

Jawaban:

Saudara Sunardi, pertanyaan Anda bahwa Anda memang seorang muslim yang benar-benar ingin melaksanakan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah senantiasa menolong dan membimbing Anda.

Memang benar menurut kesepakatan ulama lelaki tidak diperkenankan memakai perhiasan, termasuk cincin dari emas (Baca Ensiklopedi Ijma’, hal. 194).

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Diharamkan penggunaan sutra dan emas bagi lakitaki dari umatku, dan dihalalkan bagi perempuan-perempuan mereka. ”

Hadis dari Abu Musa diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasai dan At-Turmudzi. Menurut At-Turmudzi hadis ini sahih.

Wabadu, Saudara Sunardi, wong cincin saja kok, pakai perak kan cukup baik, bahkan seperti Nabi Saw. yang memakai cincin perak juga. Biar yang emas dipakai kaum wanita, saya kira lebih pantas kan. Wassalam.

***

Sekali Lagi tentang Cincin Emas untuk Laki-Laki

Pertanyaan: Saya ingin tahu lebih jelas tentang cincin emas. Pada jawaban Bapak sebelum ini Bapak katakan, bahwa laki-aki tidak diperbolehkan memakai perhiasan terbuat dari emas. Lalu bagaimana dengan acara "Tukar Cincin/Tunangan “sebelum perkawinan? Umumnya cincin terbuat dari emas. Apalagi pada zaman sekarang ini, laki-laki bebas memakai perhiasan yang terbuat dari emas. Dan kelihatannya kok sudah umum. Mohon penjelasan dari Bapak, sehingga saya dapat mengetahui lebih dalam. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Wassalam.  (Ardia Yusafiana SH Bulumagersari IV/211 Semarang)

Jawaban:

Untuk lebih jelasnya, baiklah terlebih dahulu saya nukilkan secara lengkap apa yang dikatakan Ensiklopedi Ijmak tetang laki-laki memakai perhiasan seperti emas seperti yang pernah saya singgung dalam jawaban saya yang lalu. Ini: “Menurut ijmak ulama, haram bagi para lelaki memakai perhiasan emas; baik dalam hal ini, cincin atau lainnya. Apa yang diriwayatkan sementara orang mengenai diperbolehkannya cincin emas, atau kemakruhannya (saja), adalah tidak benar; sebab bertentangan dengan mak sebelumnya atas keharamannya. (M 4/331, S 8/343, 380 F 10/260/261 (dari Ibnu Dagiqil ‘Id). (M 4/331 artinya: bisa dirujuk ke kitab Al Majmu’ jilid 4 hal.331, sedangkan huruf S adalah kode dari Syarah Muslim, dan huruf F= Fathul Baary).

Lalu bagaimana dengan acara “Tukar Cincin/Tunangan” sebelum perkawinan? Nah, inilah yang saya, terus terang tidak tahu. Saya tidak tahu dari manakah asal-usul tradisi “Tukar Cincin/Tunangan” sebelum perkawinan ini? Rasanya tahu-tahu kok seperti tradisi kita sendiri saja, ya? Memang ada hadis yang menyebut-nyebut tentang cincin; tapi konteksnya adalah maskawin. Kepada seorang shahabat yang (kebetulan orangnya miskin) akan kawin, Nabi Muhammad Saw. menyuruh menyiapkan maskawin. Sabda beliau:

Usahakan cincin meski dari besi!” (Muttafaq ‘Alaih).

Di kitab-kitab fikih, hadis ini digunakan untuk memperkuat perlunya adanya maskawin dalam perkawinan. Tapi memang kok, ya; tidak sedikit tradisi yang (tahu-tahu) kita ikuti atau lakukan tanpa jelas kita ketahui dari mana berasal. Sering kita hanya berpedoman kepada apa yang kita rasa sebagai “umumnya” saja. Umumnya orang begini, ya kita begini; umumnya begitu, ya kita begitu.

Umumnya orang pacaran, kita pun pacaran. Umumnya orang telanjang, kita pun telanjang (maaf, ini ungkapan ekstremnya). Dan seterusnya, dan seterusnya. Seolah-olah untuk mengetahui atau menentukan baik-buruk, pantas-tidak, kita tidak punya pedoman sendiri. Padahal sebagai warga negara kita punya Pancasila, sebagai muslim kita punya Islam.

Islam tidak menentang tradisi, kebiasaan, atau budaya dari mana pun, selama hal itu tidak bertentangan dengan pedoman yang digariskan Islam sendiri.

Nah, di sinilah saudara Ardia, kita -yang masih kalah dalam banyak hal di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi modern inidiuji. Apakah kita akan bersikap dewasa dan modern dengan memilah-milah mana yang boleh dan patut untuk kita, dan mana yang tidak, ataukah kita bersikap kerdil dan terbelakang dengan membiarkan diri kita larut total, terseret apa rasa “umum” saja? Apakah kita dalam keadaan apapun, akan tetap patuh kepada ajaran Allah ataukah ajaran Allah karena “keadaan”, kita rekayasa agar “patuh” kepada kita?

Dari sisi ini, kiranya tak lagi penting apakah yang dipakai lake muslim itu cincin emas, perak, perunggu atau bahkan cincin besi. Karena baginya ada yang jauh lebih penting lagi; sejauh manakah kita menghormati ajaran agamanya sendiri?

Ternyata, seperti bisa Anda rasakan, jawaban saya yang singkat ini sudah melantur tidak hanya pada soal cincin emas saja. Wallahu A’lam wahua Waliyyu at-taufiq!

____________________
Sumber: KH Mustofa Bisri. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista, 2005.