Mesu Batin: Manjemen Batin untuk Menyelami "Keilahian" di Dalam Diri

 
Mesu Batin: Manjemen Batin untuk Menyelami
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta - Para Sufi Jawa, para leluhur Jawa yang ahli 'mesu batin' (melatih batin) dulu pernah memberi wejangan Ketuhanan yang begitu 'sinengker':

"Munggaha langit sap pitu, amblêsa bumi sap pitu, Gusti nora bisa sira têmoni. Anane mung ing têlênging ati. Gumawang tanpa canthelan, ginulung sa-mrica jinumput, ginêlar ngêbaki jagat."

(Naiklah ke langit tingkat tujuh, masuklah ke bumi tingkat tujuh, Tuhan tidak bakal engkau temui. Keberadaan-Nya ada di pusat hati. Di sana memancar tanpa sandaran apapun, jika digulung hanya sebesar biji merica yang bisa dijumput, jika digelar akan memenuhi semesta)

Dan dengan bahasa kalimat yang lain namun senada, Guru saya dulu juga pernah memberikan wejangan yang begitu 'nancep nandhes' dalam ingatan dan batin saya sampai saat ini:

“Meskipun semua agama dan kitab suci telah njenengan pelajari, selama njenengan belum menyelaminya sepenuh hati maka njenengan akan tetap haus kebenaran. Njenengan lupa bahwa kebenaran sejati tersimpan rapat dalam diri njenengan pribadi, bukan di luar diri njenengan.”

“Carilah Hak itu sampai keliling bumi sekalipun, njenengan tidak akan pernah menemukannya sebelum njenengan 'jumeneng ing telenge manah' (berdiri diam di kedalaman batin).”

“Temukanlah hal itu dalam sepi njenengan hingga njenengan dalam suatu keadaan dimana njenengan tidak berada dimana-mana, segala sesuatu telah sirna kecuali njenengan. Tidak ada keadaan yang mutlak kecuali keadaan njenengan.”

“Temukan hal itu, maka njenengan akan merasakan nikmatnya 'suwung'. Keadaan nir waktu, keadaan di mana njenengan belum dilahirkan sebagai sesosok manusia. Keadaan dimana 'kekosongan' sebenarnya adalah 'isi yang mutlak'. Keadaan yang nikmat melebihi senggama dengan seorang wanita.”

“Jika njenengan mampu berada dalam keadaan tersebut njenengan akan berkata ‘i'm the alpha and the omega.”’

Mengingat wejangan kebatinan leluhur Jawa dan dari Guru saya itu, dan kini saya membandingkan dengan melihat di tengah jaya-jayanya pembangunan wajah peradaban abad 21 ini, baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, keagamaan, infrastruktur, teknologi, serta media informasi dan komunikasi semua hanya fokus pada hal-hal eksternal, dan bahkan peta kemanusiaan secara umum juga terpengaruh lebih berfokus pada pembangunan aspek eksternal dan material.

Rasa-rasanya minat spiritual dan jalan kebatinan para leluhur Jawa itu sudah benar-benar ditinggalkan, tidak lagi menjadi "ruh" yang mengiringi pembangunan peradaban bangsa ini.

Maka akibatnya sudah pasti kapitalisme yang materialis-empiristik juga menjadi ideologi mahadewa bangsa kita di abad gersang ini, segenap dahaga batin dan pencarian spiritual kita secara kolektif berusaha dipuaskan hanya dengan bungkaman placebo kebahagiaan eksternal, ibadah-ibadah pencitraan yang eksternal, serta pesta hura-hura dan keramaian sosial menjadi ritual yang paling digemari dan satu-satunya minat spiritual yang bisa dikenal.

Jangkauan keluasan relasi sosial dalam komunitas hura-hura atau di sisi lain ibadah-ibadah keagamaaan yang tampak di muka sosial menjadi 'parameter mainstream' kebahagiaan, kesalehan spiritual, dan penghormatan terhadap seseorang.

Oleh sebab itu lelaku-lelaku mesu batin, perjalanan spiritual menyelami diri sendiri sampai-sampai hampir tidak dikenal lagi, terlebih di kalangan anak-anak muda milenial yang begitu mudah terseret arus zaman yang cenderung berpola sekuler dan materialis-empiristik.

Bahkan orang-orang yang tekun mesu batin atau orang-orang introvert yang berkepribadian hening, yang sudah pasti kalah dalam jumlah relasi sosial dan tidak suka menampakkan ritual-ritual eksternal keagamaannya secara sosial, akan mudah dipandang nyleneh, aneh, dan tidak normal.

Tetapi jika kita bisa 'lantip' (cerdas) merenungkan wejangan kebatinan para Sufi Jawa tadi, sesungguhnya itu merupakan tuntunan atau kompas spiritual untuk kita lebih mengenal diri kita, batin kita, dan pada puncaknya adalah untuk mengenali (me-makrifati) Tuhan itu sendiri.

Selama ini kebanyakan dari kita lebih banyak terseret oleh 'arus liar batin' yang terjebak melekati kenangan-kenangan tertentu di masa lalu, ataupun terseret pada arus angan-angan berlebihan pada banyak hal di masa depan.

Semua itu tidak lain wujud dari 'keliaran batin' yang selalu menengok hal-hal eksternal di luar diri, kita menjadi lupa momen berpijak "di sini dan saat ini" (di momen sekarang, di situasi yang kini sedang kita jalani), akibatnya kita percaya bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan bercokol dan bergantung akan banyak hal seperti di "masa lalu" ataupun seperti yang dibayangkan di "masa depan".

Kesadaran batin kita menjadi 'terpelanting' jauh untuk bisa mendekap momen-momen kebahagian batiniah di "saat ini".

Akibat kepercayaan yang rapuh ini, kita pontang panting mengejar hal-hal material di luar "diri" dan di luar tempo "masa kini", sehingga akhirnya kita juga sibuk sana sini mencari sandaran sosial ke komunitas ini itu demi satu kata, kebahagiaan!

Lantas apakah kebahagiaan otomatis didapatkan? Belum tentu, paling banter adalah kebahagiaan temporal yang begitu dangkal.

Sementara antitesis, perlawanan dari semua itu adalah jika kita mampu mesu batin, sejenak menyepi bermeditasi meski hidup di atas kemegahan peradaban materialis (namun secara batiniah kering kerontang) ini.

Mesu batin atau bermeditasi adalah menyesapi aroma waktu masa kini, diam hening menikmati detik-detik masa kini, tidak menggubris lagi kenangan masa lalu yang sudah sirna ataupun angan-angan masa depan yang belum nyata.

Mesu batin adalah hamparan 'sajadah panjang' untuk penjernihan mental, dimana kita mengubah kiblat batiniah yang selama ini selalu terobsesi akan perjalanan-perjalanan jauh di luar diri menjadi menikmati detik-detik mistikal perjalanan ke dalam diri, berupaya sepenuhnya menyelami kemegahan internal batin.

Singkatnya mesu batin adalah tentang manajemen batin untuk bisa menyelami keilahian di dalam diri.

Ketika kesadaran mencapai hal itu, bukan kita yang akan dikendalikan lagi oleh keliaran batin tapi kita yang akan menjadi raja pengendali dari gerakan batin.

Bukan pula kita yang akan diintai oleh keliaran batin, melainkan kita yang mengintai setiap gerak-gerik liar dari batin.

Di kesadaran ini, peta kita akan kebahagiaan akan menjadi lebih sederhana, ketika menenggok kenangan masa lalu atau gambaran masa depan pun kesadaran kita akan tetap jernih dan tidak sampai dijerat letupan emosi yang berlebihan.

Kesadaran mencapai maqam yang rileks dan tenang, segala ketegangan mental telah berhasil tereduksi.

Kegiatan meditasi sederhana dengan mengamati keluar dan masuknya nafas sambil berdzikir seperti metode Tarekat Syattariyah atau kegiatan meditasi berjalan pelan dengan menyadari langkah kaki seperti metode Meditasi Buddha pun akan seperti kata Guru saya; menjadi orgasme kebahagiaan eksistensial yang melebihi kebahagiaan karena senggama.

Sungguh semua itu bukan narasi muluk-muluk hiperbolis dari etalase pengetahuan langit, melainkan hal konkret dan sederhana yang dapat kita semua cercap dan alami.

Dan 'pithukon lelakone' atau syarat mutlaknya adalah ketika kita dapat beranjak dari perjalanan ke luar diri menuju perjalanan ke dalam diri, dari kesenangan keramaian sosial menuju kontemplasi keheningan internal, dari digerakkan keliaran batin menjadi pengendali ulung dari setiap gerak batin.

Mengingat luar biasanya manfaat lelaku mesu batin atau kontemplasi hening ini, menurut saya mesu batin tidak hanya cocok dan urgen untuk dijalankan orang ekstrovert yang "berkepribadian ramai", namun mesu batin juga cocok dan urgen dijalankan mereka yang sudah sejak dini "berkepribadian hening" atau introvert.

Meskipun seseorang adalah pendiam dan hening karena bawaan alami sifat introvert, belum tentu batinnya juga diam tidak banyak bergejolak dan sudah hening. Malah bisa jadi ruang batinnya bergemuruh sangat kacau, karena memendam banyak sampah batin yang gagal untuk diletupkan. Altar batinnya bisa saja malah penuh sesak oleh semesta kata-kata.

Dan sebaliknya, bisa jadi orang-orang ekstrovert akut yang seringkali rem mulutnya blong, bisa saja altar pikirannya lebih jernih dan hening.

Sejenak mesu batin, meditasi, kontemplasi di zaman yang sudah tidak seimbang aspek material dan aspek spiritualnya ini saya kira sangat penting.

Mesu batin adalah untuk menyeimbangkan sisi spiritualitas kita ditengah dominannya aspek material empiris di zaman ini. Untuk itu tentunya sejenak mesu batin akan sangat bermanfaat untuk orang dengan jenis kepribadian apapun.

Bagi yang berkepribadian ekstrovert tentunya lebih untuk mengenalkan batin mereka pada "keindahan keheningan", sedang bagi yang berkepribadian introvert bisa lebih untuk "penjernihan dan pembersihan ruang-ruang mental yang berdebu di kedalaman batin".

Di luar hal itu, banyak penelitian juga yang mengungkapkan jika efek mesu batin atau meditasi secara fisik bisa memberi imunitas yang lebih pada badan. Dan selain itu, banyak para praktisi dan guru spiritual yang juga mengungkapkan, jika efek meditasi bisa memberi imunitas spiritual yang kuat kepada hati dan pikiran.

Sehingga ketika menghadapi gonjang-ganjing dunia, batin mereka tetap bisa rileks dan tenang.

Bahkan ketika di hadapan pintu kematian bisa berefek mempunyai wajah batin yang begitu ikhlas, tenang, dan berwibawa.

Mesu batin, meditasi, sejenak menyepi, sejenak berjarak dengan keramaian dalam tradisi dan agama apapun selalu dipuji sebagai kawah penempaan candradimuka bagi tumbuhnya segala keutamaan.

Asal bukan terus menerus melekati kawah candradimuka itu, pada saatnya kelak juga harus keluar turun gunung 'memayu hayuning bawono', berbagi pencerahannya pada dunia luar.

Sebagaimana juga yang dialami oleh Kanjeng Nabi Muhammad, setelah beliau mesu batin dan menyepi sekian lama akhirnya juga turun gunung berbagi pencerahannya sebagai nabi ke segala penjuru umat. Karena seperti 'unen-unen' leluhur Jawa; "Urip iku urup" yang artinya hidup itu harus bernyala atau memberi manfaat kepada sekitar kita.

Karena bagaimanapun puncak dari mesu batin, dari tapa brata adalah "tapa ngrame", yakni bertapa di jagat keramaian.

Ngawi, 06 Juli 2021

Oleh: Alvian Fachrurrozi


Editor: Daniel Simatupang