Taliban Berkuasa, Ini Catatan Cendikiawan NU

 
Taliban Berkuasa, Ini Catatan Cendikiawan NU
Sumber Gambar: Cendikiawan NU, Gus Ulil Abshar Abdalla (Foto: FB)

Laduni.ID, Jakarta - Cendikiawan Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla atau akrab disapa Gus Ulil menekankan pentingnya melihat secara objektif situasi di Afganistan setelah Taliban berhasil menduduki Kabul sebagai sentrum pemerintahan. Ia mengamini bahwa persoalan teologi yang melatari dinamika antar kelompok agama “garis keras” yang berkembang di Afganistan sebagai satu di antara faktor pemicunya. Tetapi, Gus Ulil juga mengajak untuk melihat dari perspektif lain guna memahami secara utuh dinamika kelompok Islam bersenjata di Afganistan.

“Yang jarang dilihat orang ketika mau memahami Taliban, al-Qaedah, ISIS, dll, adalah: kenapa kelompok ini muncul pertama kali. Tentu saja ada faktor teologi. Itu ndak bisa disangkal. Tetapi faktor lain juga penting dilihat. Pertama: ISIS dan akan muncul di Irak kalau negeri ini tidak diinvasi secara membabi-buta oleh AS, dengan alasan yang ternyata bohong (ingat dakwaan "senjata pemusnah massal" yang ternyata bohong?). Tumbangnya Saddam meninggalkan kekososongan politik. Ini yang diisi oleh ISIS,” tulis Gus Ulil dalam utasannya, Senin 16 Agustus 2021.

Dengan kata lain, Gus Ulil menyebut operasi militer AS di Irak itulah yang memicu perlawanan ISIS di kemudian hari. “Kalau ndak ada serangan AS terhadap Irak, dapat dipastikan ISIS tak muncul. Invasi ini telah memfasilitasi kelompok ini muncul ke permukaan. Kalaupun muncul, ISIS hanya akan jadi "kelompok sempalan kecil" seperti Jamaah Takfir wal Hijrah di Mesir yang ndak bisa berkembang besar,” sebut Gus Ulil.

Berikutnya, Gus Ulil melanjutkan, kelompok lain seperti Al-Qaedah merupakan kelompok perlawanan milisi terhadap pendudukan Soviet di Afganistan Menurut Gus Ulil, mulanya, Al-Qaedah mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) yang berkepentingan untuk menghadang ekspansi ideologi komunis di kawasan Asia Tengah yang kala itu disponsori oleh Sovyet.

“Sekarang al-Qaedah. Kelompok ini kan muasalnya adalah dari unit-unit pejuang untuk melawan pendudukan Uni Soviet atas Afghan. Pada awalnya, mereka dibantu oleh Amerika untuk melawan gerak laju komunisme di wilayah Asia Tengah itu. Tulisan tentang ini sudah banyak sekali. Negeri Afghanistan itu, kalau di pikir-pikir, kasihan sekali. Sejak tahun 1979, negeri ini menjadi sasaran pendudukan militer asing, nyaris tanpa berkeputusan. Situasi pendudukan jelas memicu idelogi radikal untuk muncul ke permukaan. Harus dipahami konteks pendudukan ini. Afghanistan di masa lampau, adalah bagian dari kawasan peradaban besar yang di era Islam dulu disebut Provinsi Khurasan. Para sufi-sufi yang mengislamkan Nusantara, ajaran-ajarannya, pertama-pertama berkembang di kawasan ini, menyebar ke Gujarat, terus ke Nusantara. Sekarang ini, hancur lebur,” ulas Gus Ulil.

Melihat kembalinya Taliban ke puncak kekuasaan, menurut Gus Ulil jangan terjebak oleh narasi kebangkitan kelompok mujahid garis keras, terlebih mengkapitalisasi isu Taliban untuk kepentingan tertentu.

“Saya ingin mengajak publik di Indonesia untuk melihat soal kembalinya Taliban ke kekuasaan di Afghan saat ini bukan dengan bias "perang melawan terorisme". Itu bisa menipu. Apalagi mengeksploitasi isu Taliban yang sedang "menang" ini untuk menakut-nakuti publik di sini. Sudah tentu, saya sama sekali tidak suka dengan model ke-Islaman yang dipeluk oleh pengikut Taliban. Tetapi itu soal lain. Taliban sudah pasti akan menerapkan hukum Islam yang "keras" di negeri itu. Tetapi ini tidak berarti mengesahkan intervensi negara asing seperti kemarin-kemarin,” terang Gus Ulil.

Ia meyakini bahwa bila proses politik yang terjadi Afganistan berlangsung secara alamiah atau tanpa intervensi negara lain, secara bertahap akan menuju kesetimbangan politik baru. “Saat berkuasa nanti, Taliban pasti akan melakukan sejumlah kompromi. Seperti apa corak negeri Afghanistan di masa depan, itu urusan masyarakat negeri itu sendiri. Pasti akan ada proses negosiasi antar-faksi dalam tahun-tahun mendatang. Melalui negosiasi ini, negeri itu akan pelan-pelan mencapai semacam “new political equilibrium”. Yang tidak saya suka adalah: semua negara sepertinya mau dipaksa mengikuti model Barat. Itu yang problematis. Semua negara mau dinilai dengan standar universal. Ndak bisa hal itu dilakukan untuk masa-masa mendatang. Apalagi sekarang Barat sudah mulai kehilangan "moral hegemony"-nya,” urai Gus Ulil.

Alumnus Universitas Boston, AS itu juga memprediksi bahwa konsep negara Islam ala Taliban akan sulit diterima di komunitas Islam dunia. Menurutnya, jalan terbaik adalah kompromi di antara faksi kelompok di Afganistan.

“Model Islam Taliban sudah pasti susah diterapkan secara konsisten oleh Taliban di masa-masa mendatang. Kalau dia mau melakukan itu, pasti akan dikucilkan oleh komunitas global, selain dikritik oleh sesama negeri Muslim sendiri. Yang bisa dilakukan adalah ya kompromi. Sebagian aspirasi teologis Taliban sudah pasti akan berjalan di Afghan, tapi hanya hingga batas tertentu. Sementara, rakyat Afghan juga ndak bisa dipaksa mengikuti model dan standar negara Barat. Yang paling mungkin: jalan tengah,” tukas Gus Ulil.

Sebagai penutup, Gus Ulil menegaskan, sepatutnya kita tidak gegabah dalam menilai dinamika yang terjadi di Afganistan. “Yang saya kurang setuju adalah sikap panik seolah-olah Taliban ini akan membawa kekacauan di negeri itu, maupun menciptakan instabilitas regional. Elit Taliban, jika mau berkuasa beneran, harus mau bersikap pragmatis dan mencari sahabat di kawasan. Ini keniscayaan politik. Sekian,” tutup Gus Ulil.

Editor : Ali Ramadhan