Tasbih, Pena dan Pergerakan

 
Tasbih, Pena dan Pergerakan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Tasbih, jika diartikan adalah membaca kalimat subahanallah, satu kalimat dzikir yang kedudukannya sama dengan tahlil, tahmid dan takbir. Kalimat-kalimat tersebut biasa diwirid oleh umat Islam ba’da shalat Maghrib dan Subuh, dan lebih indah jika bersama-sama. Bahkan tasbih ini juga identik dengan nama shalat sunnah, yang bacaannya semua tasbih dari berdiri, ruku', hingga sujud. Shalat itu dikerjakan bakda shalat Jum'at. Banyak keutamaan-keutamaanya mengerjakan shalat sunnah tasbih tersebut. Sisi lain dari luasnya ajaran Islam.

Tapi umumnya kita dengar kata tasbih, identiknya dengan tasbeh alat untuk menghitung jumlah dzikir atau wiridan. Dua kata yang sama penyebutan tapi arti yang berbeda. Jika kita fokus pada tasbeh sebagai alat dzikir, tentu ini yang saya maksud dalam tulisan sederhana ini. Sebab tasbeh, menjadi alat dzikir dari semua bacaan dzikir yang biasa didawamkan (rutin), baik selepas ibadah shalat maupun sambil menunggu datang waktu shalat, bahkan bisa jadi alat dzikir yang menenami orang selama berdzikir di tengah malam. 

Makna magis dari tasbeh, adalah ketika tasbih tetap terpegang di tangan, kemudian sering dipakai membacakan hizib, sholawat atau dzikir yang sarat akan nilai. Bahkan makna hikmah dari tasbih yang menjadi penghitung dzikir atau yang lainnya adalah kemampuan keistiqomahan, di mana posisi Istiqomah melebihi makna spritualitas karomah.

Sekali lagi, tasbih atau tasbeh tidak boleh jauh dari tangan kita. Sebab kita muslim selalu berupaya untuk menaiki maqomat keimanan kita. Dengan tasbeh, bisa Istiqomah melakukan dzikir. Tidak perlu menuntut pada Tuhan tentang terkabulkannya anugerah, haibah, kemuliaan, kekayaan atau kekuasaan. Dengan tasbeh kita selalu berkeinginan mendekati Tuhan.

Pena, ini pun adalah alat tulis bagi tradisi pesantren tradisional untuk digunakan dalam menulis makna kitab kuning (makna petuk), sekali lagi pena adalah pegangan ulama, habaib dan kaum intelektual dalam memaknai sesuatu, dalam mengurai sesuatu.

Dengan pena lah, produktivitas gagasan, ide dan pemikiran bisa tercatat rapih sebagai suatu kenangan hidup dunia. Istimewa ketika beranjaknya orang menuju keabadian.

Pergerakan ini dimaksud, bahwa setiap kita (kalangan NU) adalah kewajiban menjaga NKRI hingga tetes darah penghabisan. Menggerakkan kecintaan atas Nusantara, menjaga dan merawatnya dengan baik. Harokah lebih dipahami sebagai sikap dan gerakan, terutama himayatul al-daulah (menjaga kedaulatan negara) dan himayatu al- Din.

Menjaga kerukunan antar umat beragama, membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan kedamaian, memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjaga keutuhan negeri jauh lebih didahulukan daripada menjaga agama, sebab watak agama selalu ikhtilaf, tapi justeru dengan ikhtilaf terselip rahmat. Mendahulukan menjaga keutuhan negari, justeru di dalamnya terdapat menjaga kekhusyukan beragama.

Dalam pergerakan (harokah) yang jadi musuh abadinya adalah kemalasan. Kemalasan adalah kemunduran. Dengan harokah kita menjaga negara, dengan harokah pula kita menjaga agama dari kekeliruan. 

Serang, 20 Agustus 2021

Oleh: Hamdan Suhaemi – Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua Rijalul PW GP Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang