Asy'ariyah di Balik Politik Damai Nusantara (bagian 2)

 
Asy'ariyah di Balik Politik Damai Nusantara (bagian 2)
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Abbasiyah di bawah enam orang Khalifah yaitu al-Mu’tamid. al-Mu’tadhid, al-Muktafi, al-Muqtadir, al-Qahir dan al-Radhi dari tahun (257-328/935-940).

Ketika itu Daulah Abbasiyah diliputi banyak masalah politik. Di tengah rivalitas Mu’tazilah dan Ahlu Hadits, ancaman oposisi radikal Khawarij dan Syi’ah serta separatisme para Wali (Gubernur) di berbagai wilayah Daulah Abbasiyah.

Sedangkan internal dinasti Abbasiyah terjadi perebutan kekuasaan yang tidak sehat dengan pembunuhan Khalifah oleh anggota keluarganya sendiri. Kudeta berdarah berulang kali terjadi. Khalifah al-Mutawakkil dibunuh oleh orang suruhan al-Musta’in yang notabene anaknya sendiri. Al-Muhtadi dan al-Mu’tazz turut dibantai oleh pasukannya sendiri.

Sebagaimana umumnya ahlu hadits, Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari menerima Daulah Abbasiyah sebagai institusi politik yang sah. Penerus negara Islam sejak Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq.

Berbeda dengan kaum Syi’ah yang mengunggulkan Ali bin Abi Thalib dibandingkan Abu Bakar, Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa Abu Bakar lebih utama (fadhil). Demikian juga dengan Umar bin Khaththan dan Usman bin Affan.

Tentang Muawiyah, Syaikh Abul Hasan berpendapat, Muawiyah memang bukan sahabat paling utama saat itu (fadhil). Masih banyak sahabat Nabi SAW yang lebih unggul daripada Muawiyah ketika dibai’at jadi Khalifah.

Meskipun demikian, kekhalifahan Muawiyah tetap sah secara mafdhul (diutamakan). Pendapat ini bertentangan dengan kaum Khawarij. Sepanjang kekhalifahan Umayyah sampai Abbasiyah, sah secara syar’i.

Kecenderungan pemikiran politik Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari dipengaruhi oleh teologi yang dianutnya. Khalifah sebagai wakil Tuhan di muka bumi berkuasa penuh terhadap umat. Sejalan dengan pemahamannya bahwa Allah SWT Maha Kuasa berbuat apa saja kepada makhluk-Nya tanpa bisa diminta pertanggungjawabnya serta tidak bisa dinilai dengan rasa keadilan manusia.

Pemikiran politik Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari pro status quo. Penyimpangan Khalifah cukup diluruskan dengan lisan bukan dengan pedang melalui mekanisme amar ma’ruf nahi munkar, nasehat dan mendoakan Khalifah.

Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari menghindari cara-cara kekerasan dalam suksesi kepemimpinan. Bai’at syar’i merupakan metode pengangkatan seorang Khalifah. Sampai pembai’atan Ali bin Abi Thalib, proses bai’at masih ideal yaitu Khalifah dibai’at setelah pemilihan secara suka rela (ridha wal ikhtiar) oleh umat.

Mengingat umat adalah pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Sedangkan Khalifah dipilih umat untuk merealisasi kekuasaan dalam mengurus semua urusan mereka.

Bai’at mulai tidak ideal saat Muawiyah menerima kekuasaan dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai bentuk rekonsiliasi umat setelah bertahun-tahun bertikai. Peristiwa ini dikenal dengan ‘am al-Jama’ah.

Muawiyah memaksa sahabat yang lain untuk membai’atnya. Hak umat dalam memilih Khalifah, hilang. Khalifah bukan lagi wakil umat. Khalifah sekarang berubah menjadi raja.

Bai’at hanya formalitas untuk melegitimasi Khalifah. Begitu seterusnya dengan pengecualian bai’at terhadap Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bai’at yang demikian tetap sah menurut Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari.

Jadi sangat beralasan, jika muslim di Nusantara yang mayoritas menganut aqidah al- Asy’ariyah lebih pro status quo dibandingkan perubahan. Lebih memihak penguasa daripada kelompok oposisi.

Stabilitas politik negara lebih utama ketimbang rusuh karena mengikuti oposisi. Suksesi kepemimpinan politik secara damai tanpa pertumpahan darah lebih baik daripada chaos karena kudeta. Wallahu a’lam bi shawab.

Oleh: Ayik Heriansyah


Editor: Daniel Simatupang