Menggali Kemuliaan Makna Hidup

 
Menggali Kemuliaan Makna Hidup
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Manusia itu makhluk hidup. Ia bergerak, walaupun terkadang maju dan mundur. Memiliki sifat dinamis, kreatif bahkan inovatif. Pergerakan hidup akan membuat tubuh manusia menjadi sehat, aktif bermasyarakat membuat manusia bermanfaat, dan aktif beribadah pun akan melejitkan spiritualitas diri.

Sebaliknya, manusia itu mati apabila kehilangan semangat hidup, bila ia berpangku tangan, malas dan suka menganggur. Pikiran menjadi beku, batinya terasa gersang, badan pun letih, lesu, lemah dan loyo. Akhirnya badan pun dihinggapi banyak penyakit.

Kawan, semangat hidup itu ada dalam gerak langkah yang mantap dan meyakinkan. Visi hidup kita akan menentukan arah akselerasi manusia untuk bergerak maju, sebab dalam perjalanan itu ada misi yang patut diperjuangkan.

Kawan, semangat hidup akan menjadi kekuatan besar untuk menghantarkan diri menjadi orang besar. Apakah itu ilmuwan, karir, jabatan, kekayaan atau pun kemuliaan lainnya.

Sebaik-baik semangat hidup pastinya adalah Lillahi Ta'ala. Karena itu, di dalam Doa Iftitah dinyatakan dengan tegas.

اِنَّ الصَّلَاةِ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

"Sesungguhnya shalatku, ibadah, hidup dan matiku karna Allah Tuhan semesta alam."

Pernyataan Lillahi Ta'ala menunjukkan tauhid sebagai semangat hidup yang membahagiakan. Tauhid yang akan menyatukan diri kita dalam setiap relung kehidupan.

Di antaranya saya istilahkan dengan tauhid rezeki, tauhid sosial, tauhid moral, tauhid ibadah, tauhid dalam jabatan dan lainnya.

Jika tauhid yang dijadikan landasan semangat hidup, maka kehidupan manusia akan selalu indah.

Kawan, semangat hidup itu penting!

Dan yang penting dijadikan semangat hidup, adalah tauhid, Lillahi Ta'ala. Dengan tauhid, maka hidup kita akan diliputi semangat yang dahsyat dan bernilai ibadah. Dan tentunya, akan mengantarkan kita dalam kehidupan mulia.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Oktober 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Rakimin Al-Jawiy (Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Editor: Hakim