Syekh Ibnu Taimiyah dan Logika

 
Syekh Ibnu Taimiyah dan Logika
Sumber Gambar: Ilustrasi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Ibnu Taimiyyah adalah salah satu Ulama mutaakhirin dari pengikut mazhab Hanbali yang mana karya saat ini sangat monumental dikalangan pengikutnya. Ibnu Taimiyyah dianggap representatif bagi kalangan Salafi dalam ijtihad dan metode itsbat ilahiyah yang mana membuat metode trinitas Tauhid yang kita kenal sebagai Uluhiyah, Rububiyya dan Asma was Sifat.

Tentunya, pemikiran Ibnu Taimiyyah sendiri sangat berseberangan dengan para mayoritas ulama yang saat itu dipegang oleh pengaruh Asy’ari (3 Mazhab dari Maliki, Syafii dan Hambali) dan Maturidi (Hanafi).

Ibnu Taimiyah tidak hanya amat menentang orang-orang yang mempraktikkan taqlid dalam masalah-masalah hukum, tetapi juga berinisiatif mengungkapkan apa yang dianggapnya sebagai kepercayaan-kepercayaan ortodoks dan praktik-praktik para Sufi, terutama pemikiran metafisika Ibnu Arabi.

Dia juga menyerang wacana filosofis dan spekulatif Al-Farabi, Ibnu Sina, Fakhruddin Ar-Razi, Al-Syahrastani, dan bahkan mempertanyakan aspek-aspek dari sejumlah pandangan teologis Al-Ghazali.

Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah sangat menolak pandangan-pandangan Kristen mengenai Yesus. Dia juga secara sistematis membantah kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik beragam kelompok keagamaan dan sekte lainnya. Kecemerlangan intelektual yang ia miliki – ditambah pengetahuan luasnya dalam bidang pemikiran Islam, filsafat, logika, dan perbandingan agama – memungkinkannya menganalisis dan mengevaluasi kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik dari semua kelompok ini dari sudut pandang Al-Quran dan sunnah Rasulullah.

Setelah itu, dia mengumumkan keputusan-keputusannya secara terbuka. Inilah yang membuatnya mendapatkan murka dari para elite yang berkuasa dan difatwakan oleh empat Qadi yang saat itu mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Al Qadhi al-Mufassir Badr ad-din Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Jama’ah asy-Syafi’i (W 733 H).

2. Al Qadhi Muhammad ibnu al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.

3. Al Qadhi Muhammad ibnu Abu Bakar al-Maliki.

4. Al Qadhi Ahmad ibnu ‘Umar al-Maqdisi al-Hanbali.

Dengan fatwa empat Qadhi (hakim agung) dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 726 H. Peristiwa ini diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh karya Ibnu Syakir al-Kutubi dan Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi karya ibnu al-Mu’allim al-Qurasyi.

Tapi, ada hal menarik dari Ibnu Taimiyyah dalam wacana pengetahuan dan ilmu aqidah yaitu Ibnu Taimiyyah dianggap menolak prinsip ilmu mantiq atau aqli sebagai metode istinbath ilmu kalam. Karena menurutnya, ilmu kalam pada kurun ke 300, 400 dan 500 hijriah adalah percampuran antara filsafat yunani dan wahyu. Dari sini klaim pengikut salafi menandakan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah haram sebagai tertuang dalam kitab Ibnu Tamiyahh sendiri yang berjudul الرد على المنطقيين (Ar-Radd Ala Mantiqiyyin).

Hanya saja konteks kitab ini ialah Ibnu Taimiyyah menolak mantiq dan logika sebagai asas paling utama daripada wahyu, yaitu mereka memakai logika para filsuf yunani sebagai metode kalam pada saat itu, tapi secara esensi Ibnu Taimiyyah tidak menolak logika dan mantiq.

Sebab Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa tanpa metode filsafat yunani pun, orang Islam dapat dimungkinkan untuk melakukan rekonstruksi pemikiran kalamnya sendiri, yaitu dengan merombak tradisi konservatif yang terlalu baku dengan taqlid atau dikenal dengan membuka ruang ijtihad bagi siapa saja yang mampu melakukannya.

Itu di buktikan dalam karya yang satu ini درء تعارض العقل والنقل (Dar'a Taarudh Al-Aqli wa An-Naql). Bagi saya menarik, sebab di satu sisi Ibnu Taimiyyah dianggap antromorphosis dalam mengistinbath aqidah, tapi di sisi lain beliau masih mengatakan bahwa Ilmu aqli dan logika dapat dimungkinkan menjadi salah satu metode Istinbath kalam bagi para Mujtahid selama itu bukan dari metode filsafat yunani dan lain lain. Sekian.

Oleh: Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, LC


Editor: Daniel Simatupang