Riwayat Syaikh Nasidan bin Aidan, Sang Wali dari Panongan

 
Riwayat Syaikh Nasidan bin Aidan, Sang Wali dari Panongan
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Hamdan Suhaemi

Laduni.ID, Jakarta – Bermula dari peristiwa dua tahun lalu yang dialami oleh Abi KH. Haifs Gunawan, pengasuh pesantren Miftahul Khaer Curug, Tangerang. Mimpinya dituntun untuk mengenali leluluhrnya yang ternyata dimakamkan tidak jauh dari tempat tinggalnya, di Kampung Kebon Pasiripis Desa Ranca Iyuh, masih kecamatan Panongan, Tangerang. Sekitar 150 meter dari pesantren Miftahul Khaer II yang beliau bina.

Situasi kebatinan yang dirasakan Abi Hafis terkait petunjuk untuk membabat lahan yang masih alas dan penuh semak belukar, ular-ular tanah yang puluhan jumlahnya itu rupanya menumbuhkan kesadaran untuk kemudian menggali lebih detil lahan yang diduga adalah kuburan Uyut Icang, nama panggilan dari Syaikh Nasidan bin Aidan.

Area tanah yang rapat oleh pepohonan dan semak belukar, menjadi terbuka ketika telah diketahui betul makam yang dicari tersebut. Adapun proses penggalian jejak makam memakan waktu berbulan-bulan. Suatu pengalaman hidup yang berharga tentu bagi pengasuh pesantren Miftahul Khaer Curug (KH. Hafis Gunawan) yang kebetulan beliau adalah cicit sang Uyut dari jalur ayahnya, putra dari H. Rame Sumiardja bin Ki Nelo bin Ki Markisan (sering dipanggil Icang) bin Syaikh Nasidan.  Proses itu kemudian diteruskan untuk membangun suatu bangunan berbentuk pasarean (tempat penziarahan).

Jejak yang paling utama adalah batu nisan, hal yang perlu ada penelitian khusus terkait itu, karena ada relief (semacam goresan muka kepala) dalam batu nisan. Sekilas relief itu mirip dengan nisan-nisan dari raja-raja Majapahit. Anehnya batu nisan tersebut mengeluarkan aroma wangi yang tidak hilang-hilang. Wanginya yang khas, seperti misik.

Setelah usainya pembukaan lahan makam keramat Uyut Icang, oleh Abi Hafis kemudian batu nisan tersebut dibawa ke Habib Maulana Luthfi di Pekalongan, dengan didampingi Habib Muhdor Assegaf Pemalang Atas "penalaran langit". Abah Habib Luthfi telah menduga dan memastikan bahwa nisan itu menunjukan jasad yang terpendam ratusan tahun silam, Abah Habib menyebut, bahwa Uyut Icang atau Syaikh Nasidan bin Aidan wafat pada 13 Jumadil Akhir 1305 Hijriah, bertepatan dengan Hari Jumat tanggal 25 Februari 1888.

Pada Ahad, 21 Juni 2020 bertepatan 29 Syawal 1441 H dimulainya pengukuran tanah oleh BPN, disusul pembersihan makam. Sedangkan pada Rabu, 24 Juni 2020 dimulainya pembangunan pendopo. Di hari Kamis, 9 Juli 2020 penyerahan Surat Akta Ikrar Wakaf oleh kepala KUA Panongan yaitu H. M. Rumli.  Saat Jum'at, 24 Juli 2020 telah pula ditemukannya batu nisan Syaikh Nasidan bin Aidan (Uyut Icang) oleh saudara Jamin pada jam 15.00 setelah penggalian tanah dua Jengkal di bawah tunggul pohon bungur.

Riwayat Hidup

Menurut penelitian dan informasi dari Habib Umar bin Salim Al Haddad Pasuruan, bahwa Syaikh Nasidan bin Aidan atau masyhur dipanggil Ki Buyut Icang hidupnya di abad 19 M dalam usia 75 tahun. Ini artinya ketika meninggal di awal 1888 sudah memasuki usia tujuh puluhan.

Syaikh Nasidan bin Aidan, atau Uyut Icang adalah seorang ulama, wara'i, zuhud, sekaligus guru (mursyid) tarekat, satu tipikal ulama yang lengkap. Masih menurut pitutur, bahwa Uyut Icang itu sufi yang bertarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Jika benar demikian berarti ada hubungannya dengan Syaikh Abdul Karim Tanara, seorang Khalifah tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Sebab era itu posisi sentral dari jaringan tarekat di tanah air selalu dihubungkan dengan beliau.

Pada masanya, Syaikh Nasidan bin Aidan telah menyaksikan sekaligus ikut terlibat aktif dalam berbagai peristiwa yang dilatari prinsip nasionalisme dan hubbul wathon. Pemberontakan petani Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda terjadi dalam beberapa tahap, yaitu pada 1850, 1888, dan 1926.

Bagi pandangan Kolonial Belanda bahwa Ulama yang berpengaruh atau kaum intelektual lainnya dianggap musuh, meski tidak melakukan kekerasan. Akibatnya muncul kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang dianggap telah melakukan kekejian dan kesewenang-wenangan terhadap para ulama selaku anutan mereka.

Sementara bagi pandangan beberapa sejarawan bahwa perlawanan yang paling besar adalah pemberontakan petani Banten pada 9 Juli 1888, atau disebut dengan Geger Cilegon 1888 yang diinisiasi dari Mekkah dan diperjuangkan oleh kiai-kiai alumni Mekkah yang sudah menetap di Banten. Geger Cilegon adalah anti klimaks dari perlawanan kaum ulama dari perjalanan panjangnya melawan hegemoni kolonialisme Belanda di tanah air.

Jelang Geger Cilegon 1888, dimulai pada bulan Februari hingga April 1888, para ulama dari Serang, Banten, dan Tangerang telah mengadakan pertemuan. Mereka adalah Kiai Marjuki, Kiai Asnawi, Kiai Iskak, Kiai Wasid, dan Kiai Ismail.

Kuat dugaan, Syaikh Nasidan atau Uyut Icang ikut juga dalam andilnya peperangan Geger Cilegon yang pecah di pertengahan tahun 1888 berdasarkan petunjuk tahun hidupnya, meski secara geografis terlalu jauh untuk dikaitkan karena kehidupannya di Panongan, Tangerang. Tetapi jejaring tarekat itulah indikasi ada peran Uyut Icang dalam perjuangan para ulama dalam melawan penjajah Belanda di seluruh wilayah karesidenan Banten.

Keramat dan Istimewa

Ki Uyut Icang, adalah seorang sufi, kiai besar di zaman nya dan berkeramat. Beberapa penjelasan atas itu diucapkan pula olehnya ketika menemui cicitnya dalam mimpi (Abi Hafis). Tergambar bahwa Ki Uyut Icang pernah berjalan di atas Air, mempersingkat jarak tempuh dengan cukup berjalan kaki atau masyhur disebut ilmu lipet bumi

Kelebihan-kelebihan yang tampak di pribadi Uyut Icang adalah buah dari lelaku spiritualitasnya sebagai seorang sufi, keramatnya pun semakin dirasakan belakangan ini meski sudah terkubur ratusan tahun silam.

Makamnya, kini ramai diziarahi banyak orang dari berbagai daerah bukan hanya daerah Tangerang tetapi juga daerah lain di provinsi Banten, bahkan ulama dan Habaib dari Lebanon, Palestina pernah menziarahi makam tersebut. Suatu keistimewaan tersendiri tentunya.

Beberapa kejadian mistis di seputar makam Syaikh Nasidan bin Aidan yang dialami oleh para peziarah selalu berbeda-beda, dan itu artinya ada hubungannya dengan persoalan dan niatan masing-masing para peziarah.

Wa Allahu a'lam.

Sumber foto: FB Hamdan Suhaemi

Oleh: Hamdan Suhaemi – Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten


editor: Daniel Simatupang